Rain Sound

98 3 0
                                    

Thank U buat kalian yang udah mampir.
Hope you enjoy reading^^

Tadi malam Seongho memaksa untuk tinggal di rumah. Tentu saja aku menolaknya tapi dia mengancam dengan kebiasaan sleep walking nya. Dia mempunyai kebiasaan itu sebagai efek jadwal tidurnya yang berantakan. Jangan tanyakan padaku kenapa karna aku juga tidak tahu jawabannya.

Terakhir kali dia pernah jatuh dari tangga ketika gangguan itu menyerangnya. Dan setelah itu dia menyalahkan ku karena tidak mau membangunkannya. Aku tahu dia terkadang bisa sangat menyebalkan.

"Mulai sekarang aku akan tidur disini."

"Apa maksudmu?"

"Seperti yang kukatakan. Aku akan tidur disini."

"Bukan-" Aku bahkan kehabisa kata kata. "Maksudku, lalu apa gunanya rumahmu kalau kamu selalu pulang ke sini?"

"Oh ayolah aku hanya akan tidur. Aku janji tidak akan membuat berantakan."

"Seongho-"

"Kumohon..." Dia mulai mengatupkan telapak tangannya.

"Tidak." Aku bersikukuh.

"Nuna...." Oh tidak. Dia sekarang mulai menatapku dengan puppy eyes-nya.

Kuembuskan nafas berat. "Baiklah. Tapi hanya malam ini."

Aku menyerah. Aku tahu aku tidak akan pernah bisa mengalahkannya.

Dan seperti itulah akhirnya dia memaksaku menyiapkan sarapan untuknya.

"Nuna"

Seongho memanggilku. Dengan mulut penuh roti yang belum di telan dia menatapku menuntut jawaban.

"Telan dulu. Suaramu aneh."

"Bisa antar ke akademi?" Katanya segera setelah menelan yang ada di mulutnya dengan paksa.

"Tidak."

"A... Kenapa?"

Jangan tanya apa yang sedang dilakukannya saat ini. Tanpa melihat pun aku sudah tahu dia pasti bersikap aneh dengan mukanya. Meskipun kata orang mungkin itu adalah imut tapi sama sekali tidak untukku. Bukan tidak menyukainya, tapi lebih pada tidak bisa terbiasa.

Suaranya yang mencicit. Mulut yang mencebik. Dan juga mata menyipit seolah tersenyum yang justru semakin menelan matanya. Seongho mengatakan padaku itu adalah jurus jitu untuk memukul telak lawan bicaranya. Cara jitu untuk mendapatkan keinginannya tanpa perlu bersusah mengeluarkan usaha keras. Mungkin hanya perlu menelan sedikit rasa malunya.

"Hentikan itu. Aku jijik melihatnya."

"Ey.. nuna selalu serius. Kau tahu Nuna, hanya Nuna yg kebal dengan ini."

"Harusnya aku tahu kalau Nuna tidak pernah mempan dengan aegyo."

Kudengar dia bergumam. Lucu. Tanpa sepengetahuannya aku tersenyum. Dibandingkan dengan aegyo yang tidak tulus aku lebih tersentuh dengan gumam tak terimanya itu.

"Baiklah. Aku tidak memaksa lagi pula aku bisa berangkat sendiri." Susulnya.

"Seongho-ssi kamu sudah bukan siswa SMA lagi. Berhenti mengomel."

Aku tahu Seongho paling tidak suka kalau aku menyebut namanya secara formal. Dia mengatakan padaku kalau itu menyebalkan. Bukan penghormatan tapi dia malah menganggapnya sebagai kata ancaman. Entahlah.

"Nuna sama Hyung sama saja. Dulu Hyung juga tidak pernah memanjakan ku. Dia malah selalu memukulku ketika aku membuat aegyo untuknya."

Aku tersenyum. Hyung. Sepertinya sosok itu takkan pernah bisa dibencinya. Meskipun dia selalu menolak untuk bercerita tentangnya. Dia hanya pernah sekali menceritakannya. Sebatas berkata bahwa dialah yang mengawasinya selama satu bulan setelah kepergian kedua orang tuanya.

"Nuna kalau nanti Nuna punya pacar Nuna harus memperkenalkannya padaku."

"Hm?" Tanyaku.

"Aku tidak akan setuju kalau Nuna menemui laki laki seperti Hyung."

Aku tertawa. "Kenapa?"

"Dia selalu serius. Tidak pernah tertawa. Ah, aku bisa membayangkan kalau orang seperti itu menjadi suami Nuna pasti kehidupan kalian sangat membosankan."

"Kamu terlalu berkhayal." Sahutku.

Mendengar Seongho berkata seperti itu justru memancing rasa penasaranku pada sosok Hyung yang selalu di oloknya itu. Kurasa bukan karena terlalu serius, mungkin sosok Hyung itu adalah seseorang yang tidak pandai mengekspresikan perasaannya. Bukankah Seongho pernah mengatakan kalau dia sangat menyukai hyungnya itu?

_______

Langit mendung di luar. Kulihat jam di ponselku menunjukkan lima belas menit berlalu dari jam biasanya Seongho pulang, tapi sekarang dia belum menghubungiku. Biasanya dia akan menelfon atau setidaknya mengirimkan pesan singkat ketika pulang terlambat. Dia memang tidak selalu pulang ke rumah bagaimanapun dia punya rumahnya sendiri. Tapi dia tidak pernah lupa mengirimiku kabar.

Perasaan kalut mulai menguasai ku. Apakah disana hujan? Dia tadi membawa payung atau tidak? Ah, sepertinya tidak. Dia terlalu mengandalkan ku untuk menjemputnya daripada membawa payung yang sebenarnya tidak seberapa berat itu.

Dia tidak menyukai hujan. Tapi anehnya dia malah menyukai suara hujan yang jatuh membuat basah. Semakin deras hujan semakin keras suaranya dan Seongho semakin menyukainya. Biasanya dia akan mengungguku menjemputnya di depan akademi sembari mendengarkan suara hujan yang di sukainya. Jangan lupakan dia yang menjauh sejauh mungkin supaya tidak tersentuh cipratan hujan. Dia terlalu menyukai kebersihan dan baju basah tidak terlalu bersih baginya.

'Seongho kamu dimana?'

Aku mengirim pesan teks padanya. Tidak ada jawaban. Dia tidak membacanya.

'Disana hujan kah?'

Masih tidak ada jawaban. Lima menit berlalu sejak aku mengiriminya pesan dan masih belum ada perubahan pada angka kecil disamping tulisanku. Belum dia baca.
Kuangkat ponselku ke samping telinga. Dia juga tidak mengangkat telfon ku. Dimanakah dia? Kucoba lagi dan masih sama. Hanya ada dengung menyebalkan disana.

'Seongho telfon aku kalau kau membaca ini.'

Ku ambil payung dan berjalan keluar rumah.



Kuharap kalian suka ceritanya.
Kalau suka boleh dong minta bantu dukungan votenya.
Love ya.
See ya😘

I love You, I'm SorryWhere stories live. Discover now