Romantis Tipis-tipis

52 3 0
                                    

Thank U buat kalian yang udah mampir.
Hope you enjoy reading^^


"Nuna. Apa maksudmu aku melarang Nuna menjadi istrinya manusia itu?"

Setelah Seungbo pergi ke kamarnya Seongho menodongku dengan pertanyaan yang sedari tadi dia tahan. Tadi setelah aku mengatakan itu tidak ada lagi percakapan yang tersisa. Seketika suasana menjadi sangat canggung.

Seungbo yang merasa sebagai penyebab melarikan diri ke kamar. Dia hanya bilang akan mengambil handuk. Aku tadi tidak terlalu peduli dengan alasannya tapi sekarang setelah dia menghilang aku baru sadar kalau alasannya sangat tidak masuk akal. Kalau dia akan mandi di kamar mandi sudah ada handuk. Kenapa dia harus mengambil lagi dari kamar?

Dan sekarang ketika aku juga hendak pergi menuju kamarku Seongho menahan lengan bajuku. Dia menuntut jawaban dariku.

"Kau kan pernah bilang seperti itu padaku."

"Kapan?"

Seongho menggaruk kepalanya yang tidak gatal, aku yakin itu. Dia pasti sedang mengingat kapan dia pernah mengatakan kata seperti itu padaku.

"Dulu. Sebelum Hyungmu pulang. Kau bilang 'Aku tidak akan setuju kalau Nuna menemui laki laki seperti Hyung' kau juga bilang kalau hidupku akan sangat membosankan kalau Seungbo menjadi suamiku."

Seongho menatapku tidak yakin. Dia belum mengingatnya ternyata. Terserahlah lagipula itu kan dulu. Seungbo yang di katakan Seongho dengan Seungbo yang sekarang sangatlah berbeda. Seungbo tidak se serius seperti yang pernah Seongho katakan.

"Nuna yakin aku bilang seperti itu?"

"Kau tidak mengingatnya?" Seongho menggeleng.

"Sudahlah. Itu tidak penting."

"Apa maksud Nuna tidak penting?" Seongho kembali menarik lengan bajuku.

"Seperti yang kubilang. Tidak penting. Lagipula Seungbo orang yang baik. Kurasa aku mulai menyukainya."

"Nuna, Nuna yakin menyukainya? Nuna tidak sedang salah mengira dia sebagai pria lain kan?"

Seongho masih terus menghujaniku dengan pertanyaan tentang Hyungnya yang adalah orang baik. Kubiarkan dia berargumen sendiri. Kakiku sudah lebih dulu melangkah masuk kamar. Menjemput selimut tebal yang sudah ku rindukan.

Tapi ternyata tidak semudah yang ku bayangkan. Mataku menolak terpejam. Otakku terus saja memutar lamaran Seungbo yang sangat mendadak di ruang tengah tadi. Seolah dia sedang mempermainkan ku. Ucapannya terdengar tulus memang tapi situasinya sangat tidak meyakinkan.

Dia baru pulang kerja. Masih dengan wajah lelahnya. Dan aku dengan piyama tidurku. Dan lagi tangan kananku yang di bebat perban terlihat sangat minus untuk acara lamaran.

Normalnya pria melamar wanita yang di cintainya selalu dengan acara yang romantis. Kalau mengajak kencan dia akan menawarkan bunga mawar. Sedangkan ketika melamar untuk menikah seorang pria akan menawarkan cincin berlian pada sang wanita.

Sedang Seungbo? Dia tidak menawarkan apapun padaku. Bahkan ketika dia mengatakan suka padaku justru sambil marah.

Tunggu. Kenapa aku memikirkan semua ini? Apa benar aku wanita yang di inginkan Seungbo? Dia tidak sedang berlatih untuk melamar wanita yang kapan hari di temuinya itu kan?

"Akh!!!"

Kubenamkan wajahku pada bantal. Berteriak keras kemudian. Aku tidak yakin suaraku akan bisa teredam sepenuhnya. Tapi sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Kenapa aku terus memikirkannya?"

Tubuhku terus saja berguling kesana kemari. Selimutku sudah terdampar di lantai karena aku menendangnya tadi. Satu bantal juga menghilang entah kemana. Tinggal satu bantal yang masih kudekap erat untukku berteriak tadi. Sepertinya aku sudah gila. Benar, aku memang sudah gila.

Suara ketukan pintu menghentikan ku dari acara berperan sebagai orang kesurupan. Seseorang mengetuk pintu kamarku. Tak lama kudengar suara Seungbo memanggil namaku. Dia bertanya apakah aku baik-baik saja.

"Tidak sama sekali." Gumamku.

Aku sedang sekarat karena pertanyaan yang terus berputar di otakku. Seolah malaikat baik dan malaikat buruk sedang beradu argumen untuk menentukan keputusanku pada Seungbo nanti. Satu sisi menyuruhku untuk menuruti kata hati sedang sisi lainnya bertahan dengan berpusat pada otak.

"Ada yang tidak nyaman?" Suara Seungbo kembali terdengar.

"Akal sehatku sedang pingsan." Gumamku lagi.

"Bolehkah aku masuk?"

"Jangan!"

Secepat kilat aku bangun dari tempat tidur berlari menuju pintu. Menahannya agar tidak terbuka kalau saja Seungbo menerobos seperti ketika dia menyeretku untuk mengikutinya ke pantai kapan hari.

"Kau baik-baik saja kan?"

"Ya, ya, aku baik-baik saja. Kau tidak usah khawatir."

Kubuka pintu kamar sekadar menampakkan wajahku. Seungbo akan terus berdiri di depan pintu sebelum melihatku dengan mata kepalanya sendiri. Kulihat Seungbo yang menatapku khawatir. Rambutnya masih basah. Apakah dia belum sempat mengeringkannya?

"Ada apa dengan kamarmu? Kenapa berantakan sekali?"

Seungbo mencuri pandang kedalam kamarku yang bagai kapal pecah. Aku lupa kalau dia lebih tinggi dariku. Tentu saja aku tidak akan bisa menyembunyikan kekacauan kamarku dari matanya yang bahkan lebih tinggi dari ujung kepalaku.

"Lihatlah rambutmu yang berantakan. Kenapa bisa seperti ini?"

Seungbo merapikan rambutku yang sudah sangat kusut. Sama seperti ketika dia merapikan rambutku ketika di pantai waktu itu di mataku gerakannya bagaikan di perlambat supaya aku bisa lebih lama mengamati wajah tampannya.

Tangannya mengelus rambutku lembut sedang bibirnya tersenyum. Senyum pemikat yang membuatku mengikutinya tersenyum. Seungbo mendorong pintu membukanya lebih lebar. Merengkuh bahuku menuntunku keluar dari kamar.

Aku menurutinya. Aku sendiri juga bingung kenapa tubuhku tidak mau menuruti perintah otakku. Berulang kali otakku berbisik untuk cepat berlari kembali masuk ke kamar dan menguncinya tapi tubuhku dengan tanpa perlawanan menurut pada Seungbo.

"Kamu harus menghapus riasanmu dulu sebelum tidur."

Seungbo menuntunku ke kamar mandi. Pintunya di biarkan terbuka. Dia tahu kalau aku tidak menyukai berada di tempat tertutup bersama seorang pria. Kecuali elevator tentunya.

"Aku tidak dandan. Lagian untuk apa aku dandan. Aku dandan kalau keluar rumah."

Seolah tidak mendengarku dia terus mengusapkan kapas yang telah di basahi dengan pembersih pada wajahku. Satu tangannya menahan tengkukku. Mungkin dia takut kalau aku akan terjatuh. Ada-ada saja dia. Yang sakit tanganku bukan kakiku.

"Siapa yang tahu."

Kalimat itu terdengar sangat ambigu. Aku tidak akan mengatakan kenapa kalimat itu menjadi ambigu. Bibir Seungbo yang tersenyum mengatakan semuanya padaku. Tatapannya yang teduh mempertegas maksudnya.

Aku masih diam ketika Seungbo selesai 'mendandaniku' dengan sebuah produk yang biasa kupakai untuk tidur. Dia melakukan semua itu tanpa bertanya terlebih dulu padaku. Rasanya aku berubah menjadi manekin sekarang. Dia bisa memperlakukanku semaunya dan aku tidak menolaknya. Otak dan tubuhku sepertinya sedang bermusuhan. Mereka tidak kompak sedikitpun.

"Kenapa?"

Seungbo menatapku. Senyumnya kembali merekah. Sangat indah.

"Menunggu goodnight kiss?"

"O a t-tidak. Siapa yang menunggu."

Aku tergagap menjawab pertanyaannya yang sangat terbuka itu. Apakah aku sangat terlihat seperti itu? Bisa kurasakan pipiku yang memanas. Cepat-cepat aku berlari kembali ke kamar meninggalkan Seungbo yang masih tertawa kecil melihat tingkahku.



Kuharap kalian suka ceritanya.
Kalau suka boleh dong minta bantu dukungan votenya.
Yang mau komen juga silahkan sebisa mungkin bakal aku jawab^^
Love ya.
See ya😘

I love You, I'm SorryWhere stories live. Discover now