Awalnya

106 3 0
                                    

“Hyung selalu berusaha menyelamatkanku.”

Lalu kemana Hyungnya pergi selama ini? Dua tahun membiarkan adiknya disini sendiri dengan perasaan bersalah yang masih belum bisa diatasinya.

“Dia sama frustasinya sepertiku.”

“Dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja karena terus mengawasiku. Dia melanggar peraturan berat di tempatnya bekerja entah apa yang sepertinya karenaku.”

“Lalu, satu bulan kemudian aku tahu kalau Hyung sudah tidak bisa menahan depresi yang terus menekannya. Dia memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Menyusul orang tua kami yang sudah lebih dulu pergi.”

Satu-satunya tempatnya bersandar juga pergi meninggalkannya. Rasa bersalah yang masih belum bisa disembuhkannya menjadi semakin besar. Dia kembali melakukan usahanya untuk menghentikan nafasnya.

Tapi secara tiba-tiba dia mendatangi rumahku waktu itu. Di malam hari yang gelap dengan hujan lebat yang membuatnya basah kuyup. Dia tersenyum padaku. Seyuman tulus yang terakhir kalinya kulihat sebelum kemudian dia pingsan karena kedinginan.

“Cuma Nuna yang tersisa. Jangan tinggalkan aku seperti mereka meninggalkanku.”

Kata pertama yang diucapkannya setelah dia terbangun dari pingsannya. Perkataan itu masih tertinggal nyata dalam ingatanku. Seolah dia baru saja mengatakannya. Dia tidak mengatakannya dengan air mata yang melinang membasahi pipi seperti dalam film menyebalkan. Dia mengatakannya dengan tatapan kosong yang terarah padaku.

Ketakutan. Perasaan menyesal dan bersalah. Keinginan untuk mengulang apa yang telah terjadi. Salah satu diantara pilihan itu pastilah ada pada pikirannya. Entah itu yang mana, yang pasti aku hanya perlu mendengarkannya. Memberinya bahu untuk bersandar saat ia membutuhkannya untuk menangis.

Tetapi satu yang aku salut padanya. Meskipun dia pernah berusaha untuk mengakhiri hidupnya. Ia pernah kabur dari sekolah dengan hanya meninggalkan lembaran kertas tanda perpisahan yang menyedihkan, tidak lagi. Dia tetap mau berangkat ke sekolah meskipun keadaannya yang jauh dari kata baik.

Dia sudah berjanji padaku untuk belajar melupakan keinginannya untuk mati dengan mengalihkan perhatiannya dengan sekolah yang dulu pernah sangat dibanggakannya. Aku tahu dia tidak akan pernah mengingkari janji. Kepada siapapun dia berjanji, dia akan selalu berusaha menepatinya.

Seperti itulah semuanya berlanjut. Dia memutuskan untuk pindah rumah ke tempat yang lebih dekat dengan sekolah. Sebuah rumah kecil yang dulu menjadi rumah kedua baginya dan juga kakaknya.

“Aku akan buktikan pada Nuna kalau aku bisa bertahan untuk tahun-tahun kedepan.”

Aku tidak tahu kalau setelah dua tahun berlalu dia akan kembali memikirkan kematian. Sebelumnya dia hanya akan terus menyalahkan dirinya sendiri tentang kenangan buruk masa lalu. Menyesalkan kematian orang-orang yang sangat berharga untuknya. Tapi, kenapa sekarang?

“Aku sudah berusaha bertahan selama dua tahun ini. Nuna tahu dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Dan selama itu aku terus hidup dengan penyesalanku.”

“Mereka akan kecewa padamu.”

“Aku yang lebih kecewa pada mereka. Mereka meninggalkanku tanpa mengatakannya dulu padaku. Bukankah mereka lebih egois?”

Apa yang harus kulakukan? Lagi-lagi aku bertanya pada diri sendiri. Namun semua sia-sia. Otakku yang tidak bisa berfikir hanya menemukan jalan buntu menyedihkan. Aku ingin melindunginya. Mengatakan padanya kalau bertahan hidup jauh lebih baik daripada mengakhirinya. Tapi, aku tidak tahu cara mengatakannya.

Kata-kata yang seharusnya kukatan padanya hanya bisa kutulis pada lembar buku diariku yang semakin penuh. Berharap suatu hari nanti dia akan membuka dan membacanya. Dengan begitu aku akan bisa mengatakan padanya kalau usahanya untuk tetap bertahan tidak akan sia-sia. Dia akan kembali memikirkan masa depan cerah yang jauh lebih membahagiakan dibanding mengakhiri kenyataan dengan penyesalan dan rasa bersalah.

“Aku tidak ingin banyak darimu. Tetap bertahan untukmu sendiri sudah sangat cukup untukku. Bukan untukku. Bukan untuk keluargamu. Hanya untukmu sendiri. Katakan pada mereka kalau kamu jauh lebih baik dengan menghadapinya daripada menghindarinya.”

“Bertahan untukku sendiri.” Dia diam sejenak. “Sepertinya akan sulit.”

“Ingatan ketika kamu merasa sangat bangga pada dirimu sendiri. Aku yakin kamu pasti memilikinya.”

“Ketika kamu merasa sangat beruntung karena telah dilahirkan di dunia ini. Telah diijinkan untuk merasakan semua keindahan hidup. Kesempurnaan yang orang lain tidak memilikinya. Hanya kamu satu-satunya. Bukan orang lain.”

I love You, I'm SorryWhere stories live. Discover now