Bab 02 : Insiden UKS

25 6 1
                                    

Pikiran Aidan bercabang. Dia tidak fokus. Sejak masuk kelas perkataan Effendi terus bergelayut di kepalanya. Kenapa pula dia harus mengalah hanya karena luka yang akan sembuh ini? Padahal dia telah menantikan kejuaraan nasional ini sejak lama. Sama sekali dia tidak ingin ada orang lain yang menggantikannya, terlebih orang itu Liam.

"Aidan!" Bu Sukma yang melihat Aidan tengah termenung, menatap Aidan garang setelah memanggil Aidan dengan intonasi tinggi. "Coba jelaskan apa itu rantai makanan!"

Aidan tersentak, dia membulatkan mata sembari menatap sekeliling. Teman sekelasnya menatap seolah mengatakan, "Ho ho tak patut."

Dengan cepat Aidan membuka bukunya dan saat itulah Aidan yakin dia akan diberi hukuman karena tidak fokus di dalam pelajaran Bu Sukma. "Maaf, Bu, saya -"

"Aduh, Aidan, Aidan ... kenapa kamu melamum di jam pelajaran saya? Apa karena luka-luka kamu basah lagi? Ada masalah keluarga? Atau kamu terlilit pinjol?"

Semua orang serentak tertawa. Aidan kini sepenuhnya merasa bersalah. Dia hanya bisa terpekur ke atas meja.

"Maaf, Bu, lain kali saya akan fokus ke pelajaran Ibu. Kepala saya pusing, Bu."

Bu Sukma menghela napas. "Sekarang begini saja, apakah kamu masih ingin berada di kelas dan mendengar semua penjelasan saya?"

Aidan mengangguk cepat. "Masih, Bu!"

"Kalau masih, cucilah muka kamu terlebih dahulu. Lalu minta obat ke UKS. Saya akan memberimu waktu lima belas menit dari sekarang."

Aidan tidak percaya Bu Sukma akan sebaik ini kepadanya, sebab Bu Sukma terkenal sebagai guru killer di sekolah. Lantas, tanpa membuang waktu, Aidan segera beranjak untuk memenuhi permintaan Bu Sukma. Lagipula, sakit kepalanya ini pasti akan sembuh hanya dengan meminum obat pereda nyeri.

Toilet saat itu sedang sepi. Aidan masuk ke sana dengan pandangan yang berkunang-kunang. Dia segera menghadap ke cermin di wastafel, membasuh muka, lalu menatap bayangannya sendiri. "Kamu tidak boleh lemah, Aidan. Kamu harus selalu menjadi pemenang!" serunya sendiri dengan buku-buku jemari yang memutih.

Setelah berjanji pada dirinya sendiri, Aidan kembali keluar. Tujuan langkahnya sekarang adalah UKS, yang terletak di ujung lantai dua. Aidan mengabaikan tatapan orang yang melihatnya dengan kesedihan-sebab satu kakinya bisa berjalan karena diseret. Tatapannya juga hampa. Aidan persis seperti zombie.

Setiba di UKS Aidan sontak berjalan masuk, menghidupkan lampu, kemudian mencari obat pereda nyeri kepala. Di dalam UKS terdapat satu lemari yang isinya obat-obatan. Setiap jenis obat ada namanya tertempel di bagian luar. Ketika dia membaca paracetamol, Aidan segera berjinjit-karena letaknya berada paling atas-untuk membuka lemari itu. Namun, Aidan tidak sadar bahwa di atas lemari ada sebuah botol obat steril dan infus yang terbuat dari kaca hingga tanpa sengaja lemari terguncang pelan membuat botol-botol itu berjatuhan ke lantai. Aidan hanya bisa melongo. Cairan putih dan merah mewarnai lantai seketika.

Satu-satunya barang yang Aidan selamatkan malah sebuah notes kecil yang ikut terjatuh dengan botol-botol. Sebagian notes telah basah terkena cairan steril. Dia tahu itu milik seseorang, tapi dia buru-buru menyembunyikannya ke saku belakang seragam. Dia janji, dia akan mencari siapa pemilik notes itu setelah dibersihkan.

Seorang gadis tiba-tiba masuk ke dalam UKS. Aidan melihat gadis itu sedang membuka mulut dengan mata membesar, berdiri tegang di ambang pintu. Saat dia berjalan, barulah tampak jelas bagaimana raut wajah itu. Mata belo, hidung mancung, rambut sebahu, bibirnya tipis. Aidan yakin, jika gadis itu tidak sedang marah, mungkin Aidan akan memuji kecantikannya.

"Aku cuma mau ngambil Paracetamol, tapi aku nggak sengaja mecahin-"

"Kamu punya mata, nggak?!"

"Punya," jawab Aidan polos. "Tapi, aku nggak lihat ada botol di atas lemari. Lagian kenapa botol kaca ditaruh di atas lemari? Kenapa nggak di dalamnya aja kayak obat yang lain?"

Gadis yang bernama Aluna Mei Ariatma-terbaca di nametag baju gadis itu, menghadapkan tinjunya yang mungil ke depan wajah Aidan. Seakan mampu melenyapkan Aidan sekarang juga. "Hebat banget ya kamu, udah tau salah, malah cari-cari kesalahan orang lain! Bukannya bertanggung-jawab! Ih, sumpah ya aku kesel banget sama kamu!"

Aidan paham kekesalan Aluna. Maka dari itu, dia tetap bergumam, "Maaf."

"Pokoknya aku nggak mau tahu, beresin semuanya sampai bersih sebelum waktu pelajaran selesai!"

"Tapi kepala aku sakit," ucap Aidan jujur. "Bisa nggak, tunggu sampai kepala aku stabil?

"Apa? Di saat seperti ini pun kamu berani bernegosiasi denganku?" Aluna tersenyum kecut. "Atau ini cara kamu lari dari tanggungjawab?!"

Aidan menggeleng. "Sumpah, aku bukannya lari dari-"

"Halah, sudahlah! Muak aku sama drama kamu! Sekarang buruan ambil obat yang kamu mau! Cepat!" Aluna misuh-misuh sembari mencari pel dan alat sekop sampah di sekitar ruangan, tapi ternyata tidak ada. Buru-buru dia keluar untuk mencarinya.

Setelah Aluna hilang di balik tembok, Aidan langsung mengambil paracetamol, berjalan ke arah meja yang di atasnya ada sebuah gelas dan galon air, terletak di ujung kiri UKS. Aidan menghela napas, meratapi kesialannya hari ini sebelum memilih duduk untuk meminumnya, karena dia ingat selalu kata Ibu bahwa di setiap situasi apa pun, makan atau minum kita harus duduk.

Pikiran Aidan makin bercabang. Dia kasihan dengan Aluna, karena yang dia bersihkan itu cairan dan pecahan kaca. Bagaimana jika nanti tangan Aluna terluka?

Seolah umur Aluna panjang umur, gadis itu datang. Ada satu kain pel dan sekop sampah di kedua tangannya. Tanpa banyak berbicara, gadis itu mulai membersihkannya.

"Hati-hati, tangan kamu bisa luka." Walaupun Aluna telah memakai sarung tangan plastik, tetap saja serpihan kaca akan melukainya.

Aidan tetap saja memperhatikan Aluna sampai kecanggungan memekat di antara mereka. Sungguh terasa risi, Aluna menatap Aidan kembali dengan tatapan tajamnya.

"Ngapain masih di sini?"

"Aku ingin memastikan kamu."

"Aku bukan anak kecil!" Aluna berdecak. "Sekarang kamu balik sana ke kelas! Buang-buang waktu aja di sini!"

"Nggak. Aku akan di sini lihatin kamu."

"Kamu keras kepala banget, sih?!" omel Aluna dengan pergerakan tangan yang memasukkan serpihan kaca ke dalam tempat sampah.

"Iya, aku keras kepala," jawab Aidan lagi. "Ibuku nggak pernah ngajarin aku untuk lari dari masalah." Kemudian dia mulai mendekati Aluna, berjongkok, membantu mengelap cairan menggunakan kanebo yang terletak di tepi ranjang UKS.

Aluna sempat tertegun sejenak. Dia tidak menyangka ucapan Aidan itu benar-benar dilakukan. Bagaimana tangan kokoh itu membersihkan lantai dan bagaimana mata cowok itu menatap tajam membuat Aluna jadi tidak fokus.

"Udah bersih, sekarang kamu mending keluar!"

"Kamu udah nggak marah, 'kan?"

"Masih!" seru Aluna. "Karena pasti aku akan diminta ganti rugi atas kejadian ini."

Aidan berdehem. "Sekarang, boleh aku minta nomor ponselmu?"

Sumpah, demi apa? Nggak nyambung banget tiba-tiba minta nomor ponsel! batin Aluna. 

Mata Aluna melotot. "Kamu apaan banget sih?"

"Kamu bisa kasih tau aku berapa uang ganti ruginya. Aku pasti akan bayar saat itu juga."

"Nggak. Nomor itu privasi."

"Terus gimana?" Aidan tampak berpikir. "Atau besok aku temui kamu ke kelas?"

Aluna meraup oksigen sekuat mungkin karena dia baru menyadari bahwa jarak mereka sangat dekat. "Ya udah, terserah! Sekarang kamu boleh keluar!"

"Beneran?"

"Iya. Lain kali, mata di digunakan, bukan dijadikan pajangan aja!"

Aidan tersenyum lebar sebelum mengangguk, lalu berdiri. "Terima kasih ya," ucapnya kepada Aluna.

Aluna hanya mendesis, malas sekali menjawabnya. Ketika Aidan keluar UKS dan sadar bahwa jalannya terseret-seret, Aluna merasa sedih seketika.

"Apa aku terlalu keras kepadanya?"

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariWhere stories live. Discover now