Bab 19 : Pasang Surut

2 0 0
                                    

Sebut saja Aluna plin-plan, dia memang paling hebat menarik uluran perasaannya.

Baru beberapa minggu ia bersikap dingin dan cuek pada Aidan. Dan setelah mendapat lampu hijau dari sang ayah, Aluna bertekad untuk mengembalikan semuanya ketatanan awal. Aluna ingin memulai semuanya lagi.

Hal yang paling pertama Aluna lakukan adalah, memberi dukungan pada Aidan yang akan mengikuti pertandingan pencak silat lagi.

Sebenarnya, Aluna sangat lega sekaligus tenang ketika mendengar cedera Aidan membaik. Tapi, jujur ia masih khawatir dengan laki-laki itu.

Sedari pagi, gadis berambut pendek yang menyukai warna biru itu, tampak sibuk membuat poster berisi dukungan pada Aidan. Ia ingin memberikan kejutan yang tidak terduga pada saat pertandingan nanti.

Senyum Aluna merekah, ia tidak pernah se-effort ini sebelumnya. Poster berwarna biru yang ia buat telah selesai, tiga jam penuh waktu yang ia habiskan untuk menyelesaikan semuanya.

Suara ketukan pintu membuat Aluna buru-buru membukakan pintu kamar pada sahabatnya, Cantika.

Kemarin, setelah kembali dari makan bundanya. Aluna menghubungi Cantika dan meminta sahabatnya itu untuk datang ke rumah.

"Tumben banget kamu ngajak aku bertamu, ada apa ini?" Cantika menerobos masuk, meletakan pantatnya dengan nyaman di ujung tempat tidur. "Aku tebak pasti soal Aidan, kan?!"

Aluna berdecak kesal. "Bisa nggak kamu jangan sotoy, Tik."

Cantika tertawa kecil. "Haha, nggak bisa! Jadi, apa yang mau kamu bicarain?"

"Aku udah suruh Aidan menjauh, Tik."

"Iya, aku tahu. Terus, kenapa?" tanya Tika, kedua tangannya terlipat di dada.

"Aku menyesal. Sebenarnya, aku masih mau dekat sama Aidan, Tik." Aluna memberanikan jujur di hadapan sahabatnya itu.

"Kamu, sih, terlalu cepat mengambil keputusan!" balas Tika sudah tidak paham lagi dengan sikap Aluna.

"Ya, maaf. Aku 'kan, nggak tahu, Tik. Kamu ada saran, nggak?!"

Cantika tampak berpikir keras.

"Ya, kamu langsung jujur aja ke Aidan. Karena dari yang aku dengar dari Andre, Aidan bukan tipe orang pendendam. Jadi, sudah pasti dia memaklumi sikapmu yang plin-plan itu!"

"Kamu, yakin, Tik?"

"Yakin, sih, aku 'kan percaya sama Andre."

Aluna bangkit dari posisinya, mengambil poster yang sebelumnya telah ia buat. Dengan perasaan deg-degan Aluna memperlihatkan hasil karyanya itu pada Cantika.

"Woahh, seorang Aluna bisa bucin juga ternyata!" Cantika bertepuk tangan, tampak kagum.

"Gimana menurut kamu? Apa terlalu norak?"

Cantika dengan cepat menggeleng. "Nggak, lah! Bagus, kok!" Ia mengacungkan jempol. "Aidan pasti suka," lanjut Cantika.

"Kamu mau 'kan, Tik. Temenin aku nonton pertandingan Aidan?"

"Iya iya, boleh."

"Selain poster ini, menurut kamu apa lagi yang harus aku lakukan?"

"Daripada kamu bingung sendiri, mending langsung aja kamu confess perasaanmu sama Aidan."

"Masa cewek confess duluan, sih!"

"Kenapa nggak, sekarang ini zamannya udah emansipasi. Jadi, nggak mesti harus cowok duluan atau cewek yang nunggu ... emang ada aturan tertulisnya gitu?"

"Ya, nggak ada, sih! Tapi, tetap aja, sih ... gengsi kalau begitu."

Meski menolak usulan Cantika, tapi diam-diam Aluna sebenarnya mempertimbangkan hal tersebut dalam benaknya.

Ibaratnya, lain di mulut lain di hati.

•••

"Aku nggak nyangka kamu bakalan ngajak aku ketemuan lebih dulu."

"Jangan kepedean!"

"Terus, mau kamu apa?"

"Aku datang untuk memperingatimu!"

"Untuk apa? Nyalimu besar juga ternyata."

"Jangan sampai aku melihat lagi kecurangan yang kamu lakukan!"

"Apa maksudmu? Kecurangan seperti apa?

"Kamu orang yang mencelakai Aidan, aku tahu itu."

Mendengar hal itu, Liam tertawa nyaring. Ini pertama kalinya ia dituduh sebagai tersangka.

"Aku? Kamu punya buktinya?"

"Bagus sekali pertanyaanmu!"

Aluna memgeluarkan flashdisk dari dalam tas selempang yang ia kenakan. Meletakanbenda kecil dan pipih itu di atas meja.

"Aku punya bukti video, kalau kamu orang dibalik cedera yang dialami oleh Aidan. Berkat itu, kamu yang naik di posisi teratas."

"Tentunya, teratas karena kecuranganmu itu!"

Liam gelagapan, ia buru-buru mengantongi flashdisk itu.

"Jangan bicara omong kosong, kamu!"

"Kita lihat, siapa yang bicara omong kosong kamu atau aku. Jadi, jangan berani macam-macam pada Aidan lagi, karena sekarang Aidan punya aku. Aku akan melindungi dia, jadi jangan sampai mimpinya rusak dan patah lagi karena kamu. Ingat itu!"

•••

Di sekolah, Aluna sempat berpapasan dengan Aidan. Tapi, nyatanya berbaikan dengan laki-laki itu tidak semudah yang ia bayangkan.

"Aidan."

"Aluna."

Mereka berdua kompak memanggil nama satu sama lain.

"Aku bakal ikut petandingan nanti, jika kamu luang. Aku berhatap kamu menonton pertandinganku."

Lidah Aluna begitu kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Ia tersenyum kecil lalu mengangguk.

Setelah mengucapkan hal itu, Aidan pergi begitu saja dari hadapannya.

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariWhere stories live. Discover now