Bab 14 : Orang Asing

6 1 0
                                    

Senyum Aluna terbentang lebar, pencariannya tidak sia-sia sejak pagi hari. Ia menemukan Aidan berada di kantin saat jam istirahat kedua, bersama dengan Andre juga di sana.

"Aidan, aku mau bicara!" Aluna berjalan cepat menghampiri meja yang ditempati oleh Aidan dan Andre.

Aidan yang sedang menikmati mie kuahnya, mendongak menatap Aluna sebentar lalu melanjutkan makanannya seolah tidak terjadi apapun.

Merasa diabaikan, Aluna menarik kursi di samping Aidan. Ia duduk menyamping menghadap ke arah laki-laki itu.

Sebenarnya, Aluna merasa sangat bersalah atas kejadian tempo hari. Ia tidak mengerti apa pikiran Gazali hingga bertindak seperti itu.

Terlebih pada Aidan? Jelas-jelas semua yang terjadi adalah pilihan dan keputusannya.

Tapi, kenapa sang ayah malah menyalahkan Aidan atas hal tersebut.

"Aidan, bisa kita bicara sebentar?" Sekali lagi, Aluna berkata.

Aluna tidak bodoh, ia tahu jika Aidan sedang menghindarinya sekarang. Sejak kemarin, Aluna mencoba menghubungi Aidan namun diabaikan.

Hari ini pun begitu, Aluna mengerahkan banyak tenaga dan waktu untuk menemui Aidan. Tapi, sikap dingin Aidan yang menyambutnya.

Menarik napas dalam-dalam, Aluna menjadi lebih sabar. "Aidan kamu dengerin aku nggak, sih?!" protes Aluna sambil memukul meja.

Aidan tampak tenang, sedangkan Andre dibuat kaget karenanya.

Beruntung, kantin tidak seramai pada saat jam istirahat pertama.

Sadar diri akan posisi canggungnya, Andre bangkit dan beranjak hendak pergi.

"Ndre, kamu mau ke mana, tungguin gue!"

Seolah tidak terlihat, Aidan ikut bangkit menyusul Andre meninggalkan Aluna seorang diri di kantin.

Tapi, Aluna tidak menyerah dengan mudah. Ia langsung mengejar Aidan ketika laki-laki itu ke luar dari kantin.

Kedua tangan Aluna terbentang di hadapan Aidan dan Andre. Ia berhasil mencegat mereka berdua setelah berlari, deru napasnya masih terdengar tidak beraturan.

"Aku nggak akan pergi, sebelum kita bicara, Aidan!!"

"Apa lagi yang mau kamu bicarakan?"

"Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu!"

Aidan diam di tempatnya, langkahnya bergerak dengan ringan mengikuti Aluna ketika gadis itu menarik paksa lengannya.

Ketika sampai di taman sekolah, Aidan langsung menepis kasar tangan Aluna. Membuang muka, agar tidak memandangi wajah cantik itu.

Aidan sebenarnya tidak tega, tapi apa yang dikatakan Gazali juga sebenarnya tidak salah. Level mereka berbeda. Karena sejak awal, harusnya Aidan sadar diri, tahu akan posisi dan latar belakangnya. Jika, demikian ... maka Aidan tidak akan pernah berharap sedikitpun soal Aluna.

"Maafin aku, Aidan," kata Aluna tulus.

"Kamu nggak salah, jadi nggak perlu minta maaf." Aidan membalas dengan ekspresi datar.

Aluna mengepalkan tangan, rasa kesalnya sudah memuncak sampai ubun-ubun. Ia tidak pernah merasa sekesal ini hanya karena diabaikan.

"Tapi, tetap saja ... ayah aki udah bikin kamu ---" Tangan Aluna bergerak ingin meraba pipi Aidan yang dipukul Gazali tempo hari.

"Nggak usah sok peduli!" potong Aidan, sekali lagi ia menepis kasar tangan Aluna. "Dan kamu, lebih baik berhenti muncul di hadapan aku!!"

"Aku bukan sok peduli, tapi aku beneran peduli sama kamu, Aidan!" ralat Aluna. Ia menatap Aidan nanar. "Aku tahu, kamu pasti masih marah padaku dan perkataan kasar dan kejam yang dilontarkan Ayahku tempo hari. Aku akan, menjelaskan sama Ayah kalau kamu bukan orang yang seperti itu ---"

Belum selesai Aluna bicara. Aidan lebih dulu mencelanya. "Apa yang dikatakan ayah kamu benar, Aluna! Bahwa, orang seperti kamu tidak pantas bergaul denganku. Aku hanya orang rendahan, yang tidak akan bisa memberi kamu kesuksesan."

"Tidak, kamu salah Aidan! Kamu yang menilai dirimu terlalu rendah, sementara kamu sendiri tidak tahu seberapa berharga dirimu. Jika, orang lain memandangmu seperti demikian, itu hak mereka. Tapi, kamu pasti selalu punya kesempatan untuk membuktikan ucapan mereka itu salah! Bahwa, kamu tidak seperti yang mereka pikirkan."

"Tahu apa kamu, Aluna? Orang yang lahir dengan sendok emas sepertimu tidak akan tahu bagaimana ---"

"Aku belum selesai! Setidaknya hidup kamu lebih baik Aidan, karena bergelimang kasih sayang orang tua. Dan, aku cemburu dengan itu." Aluna merenung, sebenarnya ia malas sekali menceritakan hal ini pada siapapun.

"Itu saja yang ingin kamu katakan, kan?"

Seolah, tidak ada rasa simpati. Aidan mengabaikan Aluna, meski ia tahu mata gadis itu tengah berkaca-kaca sekarang.

"Aku tidak mau kita begini, Aidan! Tapi, jika ini yang kamu mau. Apa boleh, buat? Aku tidak bisa melakukan apapun untuk membujuk dan menyembuhkan luka yang sudah ditorehkan ayahku padamu. Aku sangat merasa bersalah dan aku minta maaf. Kamu bisa anggap aku tidak tahu diri karena meminta hal ini padamu. Aku cuman mau, kamu tidak berhenti menekuni pencak silat. Aku akan berdoa dan mendukungmu dari jauh, aku percaya kamu pasti bisa menjadi altet nasional."

Setelah menyelesaikan kalimat panjang lebar itu, Aluna meneteskan beberapa bulir air mata. Dengan cepat, ia membalikkan badan, Aidan tidak boleh melihatnya secengeng ini.

Pertemuan mereka hari itulah, menjadi pertemuan terakhir mereka berbincang. Selama beberapa hari ini, baik Aidan maupun Aluna sama-sama menjaga jarak.

***

Aluna tidak bisa bilang, dia lupa sepenuhnya pada Aidan. Meski, sekarang ia sudah kembali ke rutinitas normalnya yang membosankan.

Setelah diantarkan Pak Jamal sepulang sekolah ke akademi lesnya, Aluna berdiri di depan jalan menunggu mobil Pak Jamal menghilang dari radarnya.

Setelah itu, ia langsung berlari ke depan jalan utama untuk menemukan taksi yang bisa membawanya ke tempat Aidan latihan sore.

Aluna sempat menguping percakapan Cantika dan Andre sebelumnya, bahwa Aidan juga akan datang latihan.

Tidak butuh lama, setelah turun dari taksi Aluna bergegas untuk menonton atau lebih tepatnya mengintip Aidan secara sembunyi-sembunyi.

Namun, bukannya bertemu dengan Aidan. Aluna malah dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang menangkap basah dirinya.

"Hai!"

Aluna mendongak, menatap tajam pada sosok bernama Liam dari atas hingga bawah.

"Jangan sokab, deh!"

"Aku Liam," kekeh Liam memperkenalkan dirinya, ia juga menyodorkan tangan ke hadapan Aluna. "Aluna, kan? Itu aku lihat di tag name kamu."

Mendengar hal itu, Aluna buru-buru menutupi tag name di seragam yang ia kenakan. Ia sungguh kesal dengan Liam.

"Sepertinya, kamu dan Aidan putus. Apa kamu mau jalan sama aku atau sebaiknya kita pacaran aja?"

Plak!

Aluna tidak ragu untuk melayangkan tamparan ke pipi laki-laki kurang ajar itu. Kebetulan ia juga sedang kesal, ditambah bertemu dengan Liam. Rasanya puas sekali.

"Wow, tamparan kamu kuat juga, Aluna."

"Aku bisa nampar kamu dua kali!"

Saat Aluna hendak melayangkan tangannya lagi, Liam berhasil menangkap tangan Aluna dan menahannya kuat.

"Kamu lebih cocok denganku daripada laki-laki lemah dan miskin itu, Aluna!"

"Jangan mimpi!"

Pupil mata Aluna melebar, ketika Liam secara tiba-tiba menarik paksa dirinya masuk ke dalam pelukan pria gila itu.

Liam tersenyum puas, ia berhasil memeluk Aluna begitu melihat Aidan dan Andre lewat di depan matanya.

Aidan juga melihat bahwa sosok yang dipeluk Aidan itu adalah Aluna. Seolah, tidak peduli Aidan berjalan terus ... mengabaikan Liam.

Atau, mungkin Aluna?

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariWhere stories live. Discover now