Bab 12 : Why?

6 1 0
                                    

***

Aidan tidak henti-hentinya melakukan sujud syukur ketika dokter mengatakan bahwa cederanya mulai kembali pulih. Perhatian keluarga memang sangat penting di saat pemulihan. Aidan tidak lagi merasa dingin seperti sebelum dia jujur kepada mereka. Semuanya hangat, ditambah kehadiran gadis berambut pendek itu membuat Aidan jadi buru-buru ingin membuktikan bahwa dia akan kembali berada di titik awal.

Kaki Aidan sudah bisa dibawa jalan secara normal, bahkan untuk berlari Aidan juga sudah bisa—meski sakit sedikit, tapi bagi Aidan itu sebuah kemajuan. Dia bangga, terlebih hari ini dia dipanggil ke gelanggang untuk persiapan seleksi kelayakan tepat setelah bel sekolah berbunyi.

Aidan dengan cepat mengambil ranselnya kemudian pergi ke arah loker, mengambil pakaian yang sudah lama tidak dia pakai. Saking semangatnya, Aidan jadi tidak sempat menjawab pertanyaan Nico dan Andre saat melewati mereka yang sepertinya ingin pergi ke lapangan indoor. Aidan cuma mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi.

"Permisi," jawab Aidan sewaktu masuk ke gelanggang.

"Aidan? Cepat kali kamu datang, padahal saya minta bertemu jam dua, Dan."

Aidan mengusap kepalanya sambil nyengir. "Saya sudah kangen dengan Bapak, aroma koyo, dan menendang samsak lagi."

Effendi terkekeh. "Itu baru namanya Aidan. Kamu itu harapan sekolah, Dan. Saya tidak bisa membayangkan jika silat sekolah ini dihilangkan, pasti banyak yang menjadi preman—karena kekuatan yang dimiliki tidak mengandung nilai-nilai kemanusiaan."

"Iya, Pak. Saya juga berpikir demikian. Akan seperti apa ya kalau saya tidak pernah bermain silat? Pasti perut saya sudah besar seperti pria-pria tambun di gedung pemerintahan sana."

Pak Effendi tertawa. "Sudah-sudah, sembari menunggu lebih baik kamu lakukan pemanasan. Sungguh tidak baik menyinggung mereka yang suka memakan uang rakyat."

Aidan terpingkal sembari melangkah meletakkan ranselnya ke tempat yang telah disediakan. Dia mengganti seragam dengan pakaian silat di ruang ganti, kemudian keluar, berdiri di depan samsak gantung. Setelahnya, dia melakukan pemanasan seperti static stretching, dinamic stretching, diakhiri dengan jumping jack.

Tidak terasa setengah jam kemudian, semua peserta silat berbondong-bondong masuk ke gelanggang. Aidan tidak akan merasa khawatir jika saja salah satunya tidak ada Liam. Cowok necis itu pasti akan kembali membuat rusuh seperti sebelumnya.

"Wah, rupanya tupai kita balik lagi ke gelanggang!" seru Liam membuat peserta lain tertawa. Langkahnya mendekati Aidan. "Gimana kabarnya? Itu cedera udah sembuh?"

Aidan mengepalkan tangan, berusaha untuk tidak terpengaruh. Melihat Liam tersenyum miring benar-benar membuat Aidan ingin segera menendang bibir itu. Namun, tentu saja Aidan tidak akan menggunakan kekuatannya untuk melakukan hal yang sia-sia.

"Menurut kamu gimana? Masih punya mata, 'kan?"

Liam menggertak Aidan dengan kakinya dan Aidan refleks membuat gerakan pelindung. Kedua tangan dan kakinya tertekuk, tapi hal itu malah membuat orang-orang tertawa. Liam justru senang meledek Aidan seperti itu.

"Kau sungguh ingin bertanding di nasional di saat kau saja penakut seperti ini?"

Aidan sepertinya mulai terpancing. Matanya membulat penuh api amarah. Gerahamnya mengatup rapat. Effendi juga sedang keluar, tidak bisa mencegah perbuatan Liam yang sok berani. Jika saja Liam sendiri, tentu Aidan akan mengajak cowok itu sparring, tapi Aidan tahu peserta lain—seperti Xavier, Wisnu, Kelvin dan yang lainnya itu telah dibayar oleh Liam untuk menjadi pengikutnya.

Ketika untuk kali kedua Liam menggertak Aidan, tidak ada lagi kesempatan untuk Aidan berdiam. Dia segera menendang perut Liam dengan sangat keras sampai Liam terlempar jauh.

Perbuatan Aidan tersebut membuat orang-orang terkejut, termasuk Aluna yang baru saja datang dan berdiri di depan pintu dengan mata membelo. Gadis itu sontak saja berlari mencegat Aidan untuk berlaku anarkis lebih dari itu.

"Cukup, Aidan! Kamu kenapa berbuat seperti itu?!" tanya Aluna sambil menyentuh wajah Aidan.

"Dia yang salah duluan, Aluna."

"Salah kenapa?"

"Anak anjing!" seru Liam setelah batuknya selesai. Liam akan berlari untuk membalas Aidan, tapi mereka yang ada di sana menahannya dan bertepatan dengan itu Effendi datang. Segeralah Effendi tahu apa yang sedang terjadi.

"Saya sungguh kecewa melihat tingkah kalian semua! Silat itu pada umumnya melindungi diri dan tidak melupakan nilai-nilai kesucian dari setiap gerakannya, bukan malah adu kekuatan seperti tadi! Apalagi kamu," ucap Effendi sembari menunjuk Liam. "Sudah berapa kali kamu saya peringati untuk tidak bertutur kasar?"

Liam hanya tertunduk lesu. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya kesal."

Effendi menghela napas. Dia tidak berbicara apa pun pada Aidan. Setelahnya, kerumunan bubar. Latihan segera dimulai.

"Aku akan nunggu kamu sampai selesai, oke?" bisik Aluna ke telinga Aidan. "Ada sesuatu yang ingin aku kasih ke kamu."

Aidan mengangguk, tersenyum tipis. "Baiklah. Duduk saja di kursi dekat pintu, ya?"

Aluna mengangguk, memberikan gerakan hormat seperti kepada bendera merah putih. Dan itu membuat Aidan terkekeh. Aluna yang menggemaskan tidak pernah absen sehari pun dan jika boleh jujur, Aidan ingin rasanya mengutarakan perasaannya nanti setelah dilema panjang dua bulan lamanya.

Sepanjang latihan Effendi menilai semua peserta sehingga bisa ditarik apakah Aidan layak untuk kembali ke gelanggang. Aluna memperhatikan Aidan dengan seksama. Bagaimana mata tajam cowok itu menatap lawan dan juga gerakannya yang cepat. Namun, belum saja peserta semua itu selesai latihan, seorang pria paruh baya mendadak masuk ke dalam kemudian menghampiri Aidan yang sedang berlatih dengan peserta lain, membelakangi pintu masuk.

Aidan menoleh dan di saat yang sama pukulan sang pria paruh baya melayang ke wajah Aidan hingga membuat Aidan terlempar ke atas matras.

"Ayah!" seru Aluna sembari mengejar sang ayah. "Ada masalah apa, Yah?"

"Kamu semenjak dekat sama lelaki ini sudah sering sekali bohong pada saya, Aluna!" seru Gazali pada Aluna. Tatapannya menusuk pada wajah Aidan yang ternyata sudut bibir cowok itu terluka bekas tamparannya tadi. "Sedangkan kau, anak miskin sialan, tidak pernah sadar diri! Kau pikir, keparat, karena kau anak saya berubah! Dia jadi pembangkang! Tidak adakah didikan dari orangtua kau yang miskin itu? Hah?!"

Aidan hanya bisa terpaku, menatap matras dengan nelangsa.

"Jawab saya, anak sialan!"

Effendi langsung menengahi. "Sudahlah, Pak. Untuk urusan ini bisa dibicarakan baik-baik."

Mata Gazali membulat, akan menendang Aidan, tapi Aluna dengan cepat memeluk tubuh sang ayah. "Maafkan aku, Yah. Maaf ...." Air mata Aluna menetes juga ke pipi. "Cukup, Yah. Jangan lukai siapapun. Aku janji, setelah ini aku akan jadi anak yang baik untuk Ayah."

Gazali menunjuk wajah Aidan. "Awas saja kau, ketahuan tampak oleh saya sekali saja berdua dengan Aluna, saya tidak akan segan-segan membuat hidup kau hancur berkeping-keping! Camkan itu!"

Setelah mengatakan itu dan menarik tangan Aluna keluar dengan paksa, ruangan itu senyap seketika.

Liam yang berdiri dekat loker tersenyum miring. "Sepertinya situasi ini bisa aku manfaatkan. Lihat saja pembalasanku, Aidan!"

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariWhere stories live. Discover now