Bab 15 : Pasti Bisa

5 1 0
                                    

sudah seminggu Aidan dan Aluna tidak bertemu, bahkan bersisian di jalan pun tidak. mereka saling menghindar, demi kebaikan masing masing. tapi aidan tahu, Aluna ada di aula ini, sedang menontonnya. Bahkan tanpa melihat sekalipun, Aidan yakin akan hal itu.

Aidan berdiri di sudut gelanggang yang berwarna biru, warna yang sama dengan kain yang melingkar pada bagian terluar body protector, menandakan bahwa dirinya berada di sudut biru. Di sudut yang berlawanan, ada Liam yang berdiri, hampir sama persis seperti Aidan, hanya saja warnanya kain itu adalah merah.

Pada sore ini, Aidan dan Liam akan melakukan seleksi. Untuk apa?

Beberapa waktu yang lalu, saat Aidan mengalami kecelakaan sehingga kakinya robek, Liam maju sebagai kandidat paling kuat untuk menggantikan Aidan ke nasional. Beruntung, Aidan bisa pulih lebih cepat daripada yang dibayangkan.

Ini berkat keluarga, teman, dan tentu saja Aluna juga memiliki peran penting dalam kesembuhannya, sehingga Aidan bisa mengajukan seleksi kepada panitia, tim pengawasa dan pelatih. Beruntung permintaan Aidan diterima.

"Pesilat!" seorang wasit pertandingan* berdiri di tengah lapangan.

Meski ini hanya seleksi dalam skala kecil, yang di mana pesertanya hanya Aidan dan Liam, mereka tetap melakukanya dengan profesional agar hasil akhir yang didapat pada pertandingan ini bisa didapatkan dengan adil, sehingga tidak merugikan pihak manapun.

Aidan dan Liam berlari kecil dalam waktu yang bersamaan, dan tiba pada sisi wasit pertandingan dalam waktu bersamaan pula.

Kini Aidan dan Liam berdiri saling berhadapan sebagai lawan.


Aidan tidak ingat sejak kapan hubunganya dan Liam memburuk. Padahal mereka sudah berteman sejak masih kanak kanak.

Delapan tahun yang lalu, saat Aidan pertama kali bergabung dengan dunia pencak silat, Liam adalah orang pertama yang menjadi temannya. Mungkin karena mereka susia.

Aidan senang, dia memiliki teman yang bisa memacunya untuk berkembang lebih baik karena mereka berusaha saling mengejar dan berusaha melampaui.

Pada awalnya semua baik baik saja, mereka bersaing secara sportif, saling mendukung. Lalu, pada satu waktu Liam terlihat lebih pendiam dan secara perlahan menjauhi Aidan. Puncaknya adalah ketika memasuki SMA.

Sejak Sekolah dasar, hingga sekolah menengah pertama, Aidan dan Liam berada di sekolah yang sama. Mereka selalu bersama dan sangat lengket bahkan sempat di ledek belok karena mereka terlalu akrab. Mereka tidak peduli, pertemanan mereka adalah yang terpenting, dan Aidan pikir mereka akan selalu menjadi teman.

Asyangnya saat Sma, Liam memilih bersekoah di luar kota, tak jauh memang jaraknya,hanya sekitar setengah jam dari kota Aidan, sehingga mereka masih bertemu saat Latihan. Tapi sayangnya, Liam tidak mau berteman denganku, lagi.

Mari bertemu di provinsi, dengan begitu kita bisa menunjukkan kualitas sebenarnya- begitu kata Liam kepada Aidan sebagai penutup hubungan pertemanan mereka yang sudah terjalin selama enam tahun.

Aidan menghela nafasnya, menyadarkan kembali dirinya dari lamunannya tentang masa kecilnya bersama Liam. Itu menyenangkan, tapi mengecewakan di waktu yang bersamaan.

"Sudut Biru, siap?" wasit pertandingan memanggil, karena sebelumnya telah memanggil Aidan dengan pelan namun Aidan tidak merespon.

Aidan mengangguk.

Sang wasit memberikan instruksi untuk bersalaman, lalu secara natural mereka berpelukan. Ritual yang selalu dilakukan oleh para pesilat sebelum bertanding.

Setelah pelukan mereka terurai, wasit mendorong kedua pesilat menjauh, lalu sang wasit berdiri di tengah dengan satu tangannya terulur di depan. Sang wasit melihat kearah Aidan dan Liam secara bergantian, setelah melihat para pesilat yang sudah siap dengan kuda kudanya, kemudian sang wasit berseru.

"Mulai!"

Suara gong menandakan pertandingan telah dimulai.

Keduanya melakukan variasi langkah kuda kuda, mengambil posisi. Pada detik ke lima, Liam yang pertama kali melayangkan tendangan sabit, itu mengenai Aidan, namun sayangnya, Liam tidak cukup beruntung, karena Aidan menangkap kakinya, lalu membanting tubuh Liam ke matras.

"Jatuhan sah pada sudut Biru," Kata operator setelah wasit pertandingan memberikan jempol terbalik ke sudut merah, alias Liam, yang menandakan bahwa bantingan Aidan diterima dan mendapatkan poin.

Dalam pertandingan pencak silat, siapa yang menyentuh matras lebih dahulu, entah itu dengan bantingan, kehilangan keseimbangan, atau guntingan, maka mereka akan mendapatkan jempol kebawah. Seperti Liam saat ini.

Wasit kembali ke posisi awal, dengan tangan di antara Aidan Liam, menunggu waktu yang tepat, sebelum mengangkat tanganya kembali dan berkata. "Mulai!"

Pertandingan sengit berlanjut. Mereka melancarkan taktik terbaik mereka, berusaha menjatuhkan lawan terlebih dahulu, berusaha meraup poin sebanyak banyaknya, pada tiga babak pertandingan.

"Henti!" suara sang wasit menggelegar menghentikan pertarungan saat suara gong terdengar, mengakhiri pertandingan.

Seseorang berlari menuju wasit juri, terdapat tiga orang wasit juri pada kegiatan kali ini, yang mana mereka bertugas mencatat setiap serangan yang masuk dari peserta, dan terkadang terdapat nilai yang berselisihan, meskipun tak jauh.

Setelah kertas penilaian para wasit juri di kumpulkan, sang wasit berdiri di antara Liam dan Aidan. Tangan kiri wasit memegang Aidan, sedangkan tangan kanannya memegang tangan Liam. Mereka berdiri berjejer menantikan operator membacakan hasil pertandingan.

Operator mengangkat kepala, menoleh kearah para wasit juri yang telah bersiap dengan bendera di tanganku. Para wasit juri akan mengangkat bendera yang menang, apakah biru atau merah, semua itu akan segera diketahui.

"Pertandingan kali ini, dimenangkan oleh sudut Biru, dengan perolehan tiga-kosong," kata sang operator membacakan hasil pertandingan.

Pada detik itu juga, bendera biru diangkat oleh juri wasit, dan tangan Aidan diangkat menandakan bahwa dia adalah pemenang dalam pertandingan ini.

Tepuk tangan dari beberapa orang yang menjadi penonton terdengar, menyambut kemenangan Aidan. Memberikan perasaan senang dan membuat hati Aidan merasa membuncah. Tidak sia sia usahanya untuk segera pulih.

"Selamat Aidan ...."

"Aidan ... kamu sudah berusaha dengan baik ...."

Pujian dia dapatkan dari teman temannya yang menontong, tapi ada satu sosok yang melangkah menjauh dari kerumunan penonton. Itu sedikit mengganggu Aidan, tapi dia tidak menghiraukannya karena dia tidak tahu siapa orang itu, mungkin saja dia hanya orang yang tertarik untuk melihat sekilas. Mungkin.

Aidan mendekati Liam yang sedang melepaskan body protector, lalu Aidan mengulurkan tangannya kepada Liam.

"Sampai jumpa di pertandingan berikutnya. Mari bertanding dengan sportif tanpa mencederai," ucap Aidan tenang tanpa ada nada menghina sedikitpun.

Liam mengacuhkan Aidan, tanpa membalas uluran tangan Aidan, dia berlalu pergi meninggalkan ruangan latihan, menuju toilet.

"Bahkan setelah seperti ini, setelah semua yang aku lakukan, selalu berakhir dengan gagal. Selalu saja Aidan, Aidan, dan Aidan. Arghhh ..."

Liam memukul wastafel, berusaha meredam kekecewaan. Pada detik berikutnya Liam meneteskan air matanya.

"Aku juga ingin diakui oleh, Ayah dan Ibu," gumamnya samar.

Liam benar benar merasa marah pada dirinya sendiri yang selalu gagal memenuhi ekspektasi orang tuanya. Liam ingin di akui oleh orang tuanya, ingin dipuji atas semua pencapaiannya sekecil apapun. Namun sayangnya dia tidak mendapatkan itu dari orang tuanya.

Karena itulah, Liam begitu terobsesi untuk menjadi pemenang, dan menghalalkan segala cara. Semuanya hanya untuk mendapatkan pengakuan. Meski pada akhirnya tetap saja gagal.

Di sisi lain, di saat Liam sedang menangisi kegagalannya, Aidan tersenyum atas keberhasilannya. Bersama teman temanya yang selalu menjadi support system.

Aidan menoleh ke arah pintu, ada seorang gadis yang juga mendukungnya beberapa bulan terakhir. Aidan mengepalkan tangannya, kemudian berteriak. "Aluna ... semangat!"

Setelahnya gadis itu pergi. Aluna sudah membulatkan tekadnya, dia harus menyelesaikan semua masalah di antara dirinya dan sang ayah. Harus hari ini.

Sedangkan Aidan, dia berharap dengan sungguh sungguh, semoga Aluna berhasil mendobrak batasan yang tercipta, dan membangun kembali hubungan harmonis ayah dan anak. Karena pada dasarnya, setiap ayah hanya ingin melakukan yang terbaik untuk anaknya.

"Semuanya akan baik baik saja. Ya, pasti begitu."

***

*wasit pertandingan : orang yang mengontrol pertandingan, berada di dalam lingkaran lapangan, atau gelanggang bersama pesilat yang sedang bertarung.

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang