Bab 06 : Inside

4 2 0
                                    

Setelah dipikir-pikir, Aidan merasa luka-lukanya tidak pantas disembunyikan kepada keluarganya. Cepat atau lambat mereka akan tahu. Lagipula, Aidan tidak mungkin selalu memakai celana panjang di rumah untuk menutupi perban yang melingkar di kakinya.

Aidan bahkan menitikkan air mata saat berada di dalam kamar mandi, tidak kuat dengan nyeri yang menjalar sepanjang dia berjalan. Aidan bermenung lama di dalam kamar mandi, sampai suara Harto yang baru datang dari luar—membawa ubi, pisang, dan semangka, membuat Aidan mengepalkan jemari untuk menguatkan dirinya. Harto itu petani, jadi dia sering membereskan ladang atau kebun orang lain untuk mendapatkan uang. Suara berisik Alya yang menyerukan nama-nama buah itu membuat Aidan sadar betapa jahatnya dia karena telah berbohong kepada tempat pulangnya.

"Ini enak dibikin kolak, Yah!" seru Alya di dapur, sementara Aidan kembali mengikat perbannya, memakai celana panjang, lalu berusaha agar seperti tadi.

Dia membuka pintu kamar mandi. Di saat itulah dia berpandangan dengan Harto. Ayahnya itu tidak kuasa untuk tidak menangis bangga.

"Aidan!"

"Iya, Yah." Aidan berjalan hanya untuk memeluk Harto yang beraroma matahari. Aidan tidak peduli juga baju Harto kotor.

"Kamu makin kuat aja kelihatannya, Dan. Apalagi badan kamu, makin jelas kotak-kotaknya." Harto menepuk bahu Aidan berkali-kali. Bangga dia memiliki anak yang jago bermain silat.

Alya sedang memakan pisang yang dibawa Harto sambil menggumam, "Bagusan juga badan kotak-kotaknya orang Korea."

Aidan berdecih. "Otak kamu nonton drakor terus ya, Al?"

Alya bersungut ketika Aidan mengetuk kepalanya dengan telunjuk. "Sesekali doang, Bang! Lagian nilai-nilaiku naik semua, wle!" Alya beranjak untuk mengambil nasi dari dalam penanak. "Udahlah, cepet pakai baju Abang! Kata ibu kita harus makan sebelum datang waktu Maghrib!"

"Iya," jawab Aidan sembari beranjak, tapi Harto tiba-tiba menyusulnya ketika dia datang di ambang pintu. Ada uang selembar 50 ribu yang diselipkan ke dalam saku celana Aidan. "Ini hadiah untuk kamu, Dan."

"Eh, Ayah?"

Harto segera menahan tangan Aidan yang ingin mengeluarkan uang itu kembali. "Ayah habis gajian hari ini. Sudahlah, terima saja. Sudah lama juga ayah tidak memberimu uang jajan, 'kan?"

Aidan menelan salivanya, mengangguk. "Terima kasih banyak, Yah."

Setelah masuk kamar, Aidan jadi lebih yakin untuk jujur kepada keluarganya tentang apa terjadi pada kakinya.

***

Lusi itu penjual gorengan. Dia selalu mengantarkan jualannya keliling kampung menggunakan satu keranjang dan nampan bulat besar yang dijunjung di kepala. Banyak yang Lusi jual, termasuk kue-kue basah.

Aidan keluar dari kamar ke ruang tamu. Di atas tikar anyaman bambu semua makanan yang Aidan sukai ada. Aidan jadi teringat hari-hari di bulan puasa. Keluarganya selalu royal terhadap makanan, sebab menurut mereka hanya makanan yang bisa membuat kita tenang dari masalah apa pun alias perut kenyang hati senang.

Semua mata itu memandang ke arahnya, tapi hanya Alya yang berdecak kesal.

"Abang lama banget sih? Nambah ganteng juga nggak, Bang."

"Heh, Abang kamu itu ganteng, Al. Ibu saja masih sering bertemu penggemarnya di jalan, menanyakan gimana kabar Abangmu, lalu nggak jarang pula mereka nitip salam buat Abang kamu ini. Belum lagi waktu SMP, ada dua gadis yang taruhan mendapatkan hati Abangmu, tapi ujung-ujungnya ditolak," cetus Lusi, membela seakan ucapan Alya betul-betul salah.

Aidan terkekeh. Kejadian memalukan itu memang pernah terjadi. Aidan juga sering dikasih surat, tapi Aidan selalu membuangnya ke tong sampah. Bukan apa-apa, untuk sekarang Aidan merasa harus fokus kepada mimpinya. Aidan tidak punya waktu untuk berpacaran seperti temannya yang lain.

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariWhere stories live. Discover now