Bab 11 : First Time

4 0 0
                                    

Ini adalah kali pertama Aidan menjemput seorang gadis untuk pergi bersama ke sekolah!

Satu malam penuh Aidan memikirkan Aluna. Bagaimana senyum dan tingkah Aluna mengacaukan konsentrasinya, bagaimana perhatian Aluna yang mengasosiasikan bahwa gadis itu benar-benar peduli kepadanya, bagaimana cara gadis itu bertutur, seakan Aluna yang marah-marah di UKS waktu itu dengan Aluna yang sekarang bukan orang yang sama. Aidan hanya ingin mengucapkan terima kasih pada Aluna dengan caranya, yaitu menjemput gadis itu di persimpangan jalan, berjarak satu kilometer dari komplek perumahan Aluna. Alih-alih sudah mempersiapkan diri jika saja tawarannya ditolak, Aidan sontak meninju angin ketika Aluna menerimanya.

Refleks, karena Aidan sangat senang.

Aluna juga meminta satu hal; Aidan harus menjemputnya di suatu tempat alias tidak di dekat komplek perumahannya. Aidan pun tahu apa yang akan terjadi jika dia menjemput Aluna persis di depan rumah gadis itu. Ada buldozer Aluna yang sangat protektif. Ya, untuk sekarang Aidan ingin menjuluki ayah Aluna sebagai salah satu jenis anjing yang galak.

"Aidan?"

Aidan terkejut ketika bahunya ditoel oleh seseorang dan ketika dia berbalik, tampaklah Aluna berdiri dengan senyum kecil, kedua tangan memegang tali ransel. Aidan menatap Aluna dari atas sampai bawah, dan lagi, dadanya berdentum keras.

"Aluna, kamu-" cantik banget hari ini! Aidan membatin. "Sudah siap?"

Aluna mengangguk, tapi tatapannya ragu ketika melihat Aidan ternyata membawa Supra bututnya lagi. "Kamu bawa ini lagi?"

Aidan tersenyum. "Iya, tapi tenang aja. Sparepart-nya udah aku ganti dengan yang baru. Kamu nggak usah khawatir akan mogok di jalan lagi!"

Aluna terkekeh. "Oke kalau begitu. Aku percaya sama ucapan kamu."

"Ya sudah, nih helm-nya." Aidan memberikan satu helm kepada Aluna. Ketika dia melihat Aluna kesusahan, Aidan berinisiatif untuk memasangkannya.

Dengan jarak yang sangat dekat hingga aroma sampo Aluna dapat tercium jelas ini, membuat Aidan menelan salivanya sendiri. Dia mendadak gugup. Setelah selesai, Aidan menghidupkan motor lalu menyuruh Aluna duduk di kursi penumpang.

Setelahnya, mereka berdua menyusuri jalan raya dengan tenang. Aidan tidak pernah bisa membuka percakapan. Dia sekaku kanebo kering. Dia tidak pernah dekat dengan perempuan asing seperti ini. Aidan berharap Aluna memecahkan situasi ini dan mengajaknya berbicara.

"Aidan," panggil Aluna dan itu membuat Aidan tersenyum sendiri.

"Iya?"

"Nanti pulang sekolah senggang nggak?"

Aidan tampak berpikir. "Sepertinya iya, tapi belum bisa dipastikan. Emangnya ada apa?"

"Bisa temani aku ke toko buku? Ada buku yang harus aku beli."

"Kalau itu bisa!" seru Aidan dengan semangat. "Oke, nanti kabari aja aku lagi. Kayaknya aku juga mau beli novel untuk Alya."

"Alya juga suka baca novel?"

Aidan mengangguk. "Iya, dia selalu suka sama tokoh nakal, baik itu di dalam novel atau pun drama Korea."

Tawa Aluna menyembur. "Abisnya, melihat cowok ganteng bisa bikin otak cerah, Dan. Udah ada penelitiannya. Cewek yang suka melihat cowok ganteng apa pun pekerjaan yang sebelumnya malas dikerjakan jadi berubah penuh semangat."

"Kamu juga begitu?"

"Iya," jawab Aluna.

"Kalau sekarang gimana?"

"Apanya yang gimana?"

"Otak kamu cerah nggak karena sedang dibonceng sama cowok ganteng?"

Mendengarnya, refleks Aluna tertawa. Aidan ini ternyata juga narsistik, tidak seperti dugaannya dulu yang selalu kaku. Ada banyak beberapa hal yang Aluna tangkap setelah menyelami jauh kehidupan cowok itu. Selain karena Aidan memiliki keluarga yang hangat, Aidan juga mampu mengubah kesedihan di hatinya, seolah masalah yang sedang dia hadapi terangkat hanya karena mendengar Aidan berbicara. Dan untuk itu Aluna sangat bersyukur.

Aluna bahkan tidak meminta persetujuan terlebih dahulu untuk memeluk pinggang Aidan setelahnya. Itu karena Aluna telah menaruh kepercayaannya kepada Aidan.

Tentu saja, melihat ada tangan melingkar di pinggangnya membuat darah di jantung Aidan kembali memompa dengan cepat.

***

"Bagaimana kaki kamu?" tanya Aluna saat mereka telah berjalan di koridor, mengabaikan desas-desus murid lain yang tengah membicarakan mereka.

"Baik," jawab Aidan cepat. "Kalau kamu gimana? Sehat nggak hari ini?"

"Menurutmu gimana?"

Aidan terkekeh. "Sangat baik."

Aluna tiba-tiba teringat sesuatu. Dia menyuruh Aidan berhenti karena ada sesuatu yang ingin dia ambil dari dalam tasnya. Adalah sekotak Tupperware dikeluarkan Aluna dan langsung disodorkannya kepada Aidan.

Aidan menaikkan satu alisnya. "Ini apa?"

"Itu apple pie. Aku bikin sendiri kemarin malam."

Aidan tergugu. "Lalu, dalam rangka apa kamu memberikan kue ini kepadaku sekarang? Padahal aku belum ulangtahun."

"Itu sebagai ucapan terima kasihku karena kamu telah menyimpan notebooks milikku dengan sangat baik." Alasan lain sebenarnya tidak hanya itu. Aluna membuat kue untuk Aidan karena semalaman dia juga tidak bisa fokus berkutat dengan buku pelajaran. Dia selalu teringat Aidan, jadi dia melipir ke dapur, memakai apron lalu mulai membuat adonannya setelah bahan-bahan lengkap.

Aidan menggaruk tengkuknya. "Terima kasih ya, Aluna."

"Sama-sama."

Mereka kembali berjalan dengan canggung. Tidak lama kemudian mereka tiba di depan kelas Aluna. Itulah permintaan Aidan tadi. Dia juga ingin mengantar gadis itu ke kelasnya.

"Aluna," panggil Aidan saat Aluna telah berada di ambang pintu kelasnya.

"Apa?"

"Aku bisa kok menemani kamu nanti ke toko buku."

Aluna tersenyum. "Oke, Aidan. Nanti aku kabari lagi."

Aidan mengangguk lalu tersenyum. Dia melihat Aluna benar-benar telah duduk di bangku sebelum melangkah ke kelasnya dengan perasaan yang benar-benar membuatnya merasa dihargai.

***

"Astaga, aku lupa ngerjain PR!" seru Miko setelah dia baru masuk ke dalam kelas, sementara Andre sedang sibuk mengerjakan PR sendiri. "Bagi-bagi dong jawabannya, Ndre."

"Apalah kau ni? Aku belum selesai! Otakku juga buntu sekarang!"

Miko lantas melihat Aidan yang sedang senyum-senyum sendiri. "Aidan kerasukan setan apa tuh? Lagaknya kayak udah ngerjain PR aja, padahal-"

"Dia sudah mengerjakan PR. Tapi seperti biasa, dia pelit. Mana pernah seumur hidup dia mau memberikan jawabannya kepada kita, Mik?"

"Oh, iya. Baru ingat aku."

Sebuah buku tiba-tiba mendarat ke atas meja Andre dan Miko. Sahabatnya itu, Aidan, baru saja melemparnya.

"Conteklah jawabanku, tapi kalau salah aku tidak mau bertanggungjawab."

"Dih, tumben banget?" tanya Miko heran. Sementara Andre tertawa kecil.

"Dia sedang bahagia, Mik. Dia baru saja pergi sekolah bareng Aluna!"

"Lagi?!" tanya Miko sambil nyengir.

Andre mengangguk. "Kayaknya bocah satu itu serius dengan Aluna! Kemarin ketauan makan es krim bareng, dan sekarang ke sekolah bareng pula!"

Aidan hanya terkekeh. Dia berdiri, lalu memilih duduk di salah satu kursi dekat Miko dan Andre.

"Mengapa kamu ke sini?"

"Iya, awas, Dan! Ini mejanya jadi sempit!"

"Aku cuma ingin bertanya sesuatu pada kalian," ucap Aidan dengan tatapan tegas.

"Apa?"

"Nanya aja, Dan, jangan pakai pembukaan segala!"

"Kalian pernah punya pacar, 'kan? Bagaimana cara mengutarakan perasaan kepada seseorang yang kita sukai?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Nico dan Andre saling tatap seolah mengatakan, "Aidan sekarang tidak secupu seperti dulu lagi!"

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariWhere stories live. Discover now