Bab 13 : The Problem

5 1 0
                                    

Sesi latihan yang awalnya berjalan lancar, seketika di hentikan oleh sang pelatih. Effendi.

Effendi memanggil Aidan, kemudian mereka berdiri berhadapan. Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat, hingga akhirnya Aidan membuka suara. "Maaf pak, saya—"

Kalimat Aidan terhenti saat sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Sang pelatih, Effendi baru saja menamparnya.

Itu tidak keras, tidak lebih keras dari pukulan yang dilayangkan oleh Ghazali sebelumnya, tapi itu terasa lebih menyakitkan dan lebih memalukan.

Ini pertama kalinya dalam 8 tahun Aidan berlatih di bawah bimbingan effendi, Aidan mendapatkan tamparan seperti ini.

"Kamu mengecewakan saya, Aidan," kata Effendi dengan suara pelan, tapi jelas tekanan yang dirasakan oleh Aidan tidak main main.

Aidan tidak membantah. Dia hanya menundukkan kepalanya karena dia sadar ini adalah kesalahannya. Bagaimanapun dia mencoba membela dirinya, di mata orang lain dia tetap melakukan sebuah kesalahan.

"Berhenti berhubungan dengan gadis itu, atau kamu akan menghancurkan segalanya," ucap Effendi lagi.
"Tapi pak —"
"Kamu baru saja di hajar sepihak oleh ayah gadis itu, kamu beruntung karena berada di ruangan ini, bagaimana jika di luar? Kamu bisa mati Aidan!" Effendi Berusaha menjelaskan kepada anak didiknya untuk memahami situasi.

Dia tidak bisa menyalahkan fitrah manusia yang jatuh cinta, tapi setidaknya Manusia masih bisa menilai mana yang baik dan mana yang tidak. Jika sesuatu sudah terlihat merugikan Bukankah sebaiknya ditinggalkan?

Aidan kembali terdiam, perkataan sang pelatih adalah benar. Bagaimana jika kejadian kali ini terjadi di luaran sana di saat tidak ada orang yang bisa membantu Aidan, atau bayangkan bagaimana jika tadi, Aluna terlambat memeluk ayahnya, sudah pasti Aidan akan terbanting karena tendangan yang akan dilayangkan oleh Ghazali.

Membayangkan kaki besar itu menghantam perutnya saja sudah cukup membuatnya ngeri.

"Baik pak," ucap Aidan mematuhi perintah sang pelatih.

Tidak ada alasan untuk membantah, karena tidak ada kesalahan dalam nasehat yang diberikan oleh pelatihnya.

"Kalau begitu, Aidan, kamu pulanglah lebih dahulu, obati luka di wajahmu, kemudian tenangkan dirimu. Saya tahu kamu pasti bisa mengambil keputusan yang tepat, bukan hanya untuk dirimu sendiri tapi juga untuk orang lain."

Setelah mendapat wejangan singkat dari sang pelatih, akhirnya Aidan memutuskan untuk pulang.

Aidan mengendarai motornya sambil memikirkan nasihat sang pelatih, hingga tanpa di sadari dirinya tiba di muka pintu rumah.

Untuk beberapa saat Aidan bengong menatap pintu rumahnya, dia Sempat berpikir bagaimana caranya dia bisa sampai ke rumah dalam keadaan selamat?

Sudahlah, Aidan menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya membuka pintu rumah dan melangkah masuk.

"Abang sudah pulang? Ah, pipi kamu kenapa? Ketonjok lagi?" tanya sang ibu yang menyambut anaknya, Aidan, yang baru saja kembali.

Ini bukan kali pertama Aidan pulang dalam keadaan memar di sekitar wajah atau tangannya. Karena kegiatan yang dilakukan Aidan memang berpotensi untuk mendapatkan cedera berupa lebam, hanya saja kali ini, wanita paruh baya itu merasa sedikit aneh dengan ekspresi Aidan yang tidak seperti biasanya.

Sang Ibu, Lusi, tidak bertanya lebih jauh lagi, dia tersenyum kemudian berkata. "Sekarang kamu mandi, ibu siapkan air hangat untuk kompres wajah kamu, ya?"

Aidan mengganggu kemudian dia berlalu meninggalkan sang Ibu menuju kamarnya. Aidan langsung mandi untuk membersihkan tubuhnya, setelah selesai dia duduk di atas ranjang.

Karena sang ibu belum juga muncul, Aidan memutuskan untuk meraih ponselnya. Aidan menatap ponselnya, menimbang Apakah dia harus menelpon Aluna atau tidak.

Tapi Aiden merasa khawatir.

Setelah keputusan diambil dalam waktu singkat, Aidan pun memutuskan untuk menghubungi Aluna via telepon.

Terdengar suara panggilan tersambung.

Jantung Aidan berdegup kencang menantikan respon dari panggilannya, hingga akhirnya terdengar suara sahutan di seberang sana.

"Halo?"

Aidan membeku saat dia mendengar suara yang menyahut dari seberang sana. Itu bukan suara Aluna, suara Gadis itu lembut dan halus bukannya berat dan serak seperti saat ini. Aidan menyadari bahwa itu adalah suara ayah Aluna. Ya, suara itu terdengar sama seperti beberapa saat yang lalu.

"Kamu yang tadi bukan? Saya sudah bilang untuk berhenti mendekati anak saya. Kamu hanya akan merusak masa depan Aluna. Ini peringatan terakhir untuk mu atau karir pencak silat mu berakhir di sini. Kamu tahu uang bisa melakukan segalanya termasuk menghancurkan karirmu sebagai atlet."

Setelah mengatakan kalimat ancaman tersebut, panggilan terputus secara sepihak bahkan Aidan tidak sempat berkata satu patah kata pun. Menyisakan Aidan yang Menatap layar ponselnya dengan perasaan kalut.

Aidan merasa dilema.

Berselang beberapa waktu panggilan berakhir, pintu kamar Aidan terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya yang membawa selembar handuk dan baskom yang ada yakini berisi air hangat. Aidan sudah hafal hal tersebut, karena ibunya sering melakukan hal seperti ini untuk membantu mengobati memar di tubuhnya, akibat dari sparing. Hanya saja kali ini memarnya bukan karena latihan atau bertanding, melainkan karena dia dihajar oleh seseorang.

Lusi duduk di sebelah Aidan, meletakkan baskom di atas ranjang kemudian mencelupkan handuk ke dalamnya. 

Asap masih mengepul di sana, namun Lusi tidak terlihat kesulitan memerah handuk tersebut. Setelahnya handuk itu ditempelkan secara perlahan pada pipi Aidan yang lebam.

Aidan tidak meringis, karena memang rasa sakitnya tidak seberapa. Dia pernah mendapatkan yang jauh lebih keras daripada ini ketika dalam masa pertandingan sampai-sampai rasanya rahangnya seperti akan copot.

"Ada apa?" Sang Ibu mulai bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari pipi Aidan.

Aidan yang awalnya melihat ke arah sang Ibu seketika menoleh ke arah lain, dia tidak menyangka bahwa ibunya mengetahui bahwa dia sedang ada masalah atau mungkin semua ibu memiliki insting seperti itu?

"Kamu bertengkar dengan temanmu?" tanya Lusi.
"Tidak, Ibu."
"Lalu?"

Aidan menoleh kembali kepada sang ibu, Dia pun mulai menceritakan awal kejadian, dimulai dari pertemuan nya dan Aluna hingga akhirnya kejadian beberapa waktu yang lalu saat Aidan dihajar oleh Ghazali.

"Jangan membenci ayah Aluna."
"Kenapa?" tanya Aidan.

Lucy mengusap rambut Aidan, kemudian dia tersenyum kepada sang anak dan berkata. "Dia adalah Ayah dari Aluna. Dia pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, meskipun cara yang dia pilih adalah salah. Dia hanya seorang ayah yang ingin melindungi anaknya dulu memastikan masa depan anaknya."

Aidan menyimak setiap perkataan sang ibu. Bener apa yang ibunya katakan, Setelah dia pikirkan lagi Ayah Aluna hanya salah dalam memilih cara.

"Beri mereka waktu, semuanya akan baik baik saja. Percayalah."
"Ya, terima kasih, Ibu."

Aidan memeluk Lusi. Rasanya semua yang mengganjal di hatinya terbebaskan begitu saja hanya dengan mendengarkan sedikit nasehat dan pelukan dari ibunya.

Berkat sang ibu ini Aidan yakin bahwa dia hanya perlu melangkah maju dan memberikan waktu kepada Aluna dan ayahnya.

Ya, semuanya akan baik-baik saja.

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang