Bab 08 : Bunda

4 2 0
                                    

Setelah makan siang, Aluna membantu Aidan dan Alya mencuci piring.

Meski sempat mendapatkan penolakan dari Aidan, akhirnya Aluna berhasil meyakinkan Aidan untuk mengizinkannya membantu.

Ternyata ini lebih sulit daripada yang dibayangkan. Sejauh ini Aluna hampir tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah, karena prioritasnya adalah belajar. Itu adalah perintah dari sang ayah yang tidak bisa dibantah.

Tapi, ini menyenangkan.

Setelah kegiatan mencuci piring bersama, Aluna memutuskan untuk pulang. Ini sudah terlalu sore.

Aluna seharusnya diantarkan Aidan ke sekolah lagi.

Tapi, Aluna merasa tidak enak jika harus merepotkan pria itu. Apalagi, kondisi motor Aidan yang terlihat memprihatinkan.

Akhirnya Aluna di antar dengan berjalan kaki menuju halte terdekat. Hal itu terpaksa dilakukan karena jalan menuju rumah Aidan tidak bisa dimasuki mobil.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Aidan saat mereka telah tiba di halte.

"Lebih baik. Tadi itu menyenangkan," jawab Aluna dengan wajah riang.

"Baguslah, senang mendengarnya," balas Aidan. "Mau aku tunggu sampai jemputanmu datang?" tanya Aidan selanjutnya.

"Tidak usah. Aku baik baik saja, sebentar lagi sampai. Kamu kembalilah lebih dahulu," jawab Aluna menolak.

Aidan mengangguk. Dia tidak akan memaksa.

Seusai kepergian Aidan, Aluna bergegas menghubungi Pak Jamal. Supirnya itu pasti sudah menunggu panggilan Aluna sedari tadi.

Selang belasan menit, sedan putih yang bisa mengantar-jemputnya sekolah berhenti di depan halte. Aluna bergegas masuk ke dalam mobil, duduk di kursi belakang sambil menoleh ke arah jendela di sisi kanannya.

Di dalam mobil, tidak ada percakapan apapun antara Aluna dan Pak Jamal. Aluna memilih untuk pura-pura tidur dan selalu terbangun saat mobil berhenti, itu tandanya ia sudah tiba di kediaman keluarga Ariatma.

"Aluna!"

Langkah gadis berusia 17 tahun itu terhenti, menoleh pada sang ayah yang tampak serius.

"Iya, Yah?"

"Kamu bolos les, 'kan?" tanya Gazali selalu mengetahui banyak hal. Ia seperti punya mata-mata yang bisa memantau Aluna selama 24 jam penuh.

"Aluna ada kerja kelompok," bohong Aluna.

"Kenapa nggak ngabarin Ayah?"

"Aku lupa," jawab Aluna singkat.

"Lain kali, jangan begitu, Ayah khawatir."

"Khawatir sama Aluna atau khawatir kalau Aluna nggak ikut les dan ketinggalan pelajaran?" Aluna mendongak menatap Gazali sebentar, lalu kembali menurunkan pandangan.

"Tentu saja, Ayah peduli sama kamu Aluna."

Mengabaikan perkataan Gazali, Aluna berjalan menaiki satu persatu anak tangga menuju kamar tidurnya yang berada di lantai dua.

Apa yang diucapkan sang ayah, tentunya bohong dan Aluna tahu itu.

Sama seperti Ayah yang nggak pernah peduli sama Bunda, kata Aluna dalam hati.

Ia masuk kamar, membanting pintu dengan keras lalu melemparkan dirinya di tempat tidur.

Kesenangan yang sebelumnya dia dapatkan di rumah Aidan seketika. Hanya dengan berbicara dengan sang ayah, suasana hati aluna memburuk.

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariWhere stories live. Discover now