Bab 18 : You're My Reason

5 2 0
                                    

Aidan tidak pernah jatuh hati oleh seorang gadis, tapi jika dia telah merasakannya berarti gadis itu spesial. Dia telah berhasil mengobrak-abrik perasaannya menjadi sesuatu yang mendebarkan. Aidan menyukainya, terlebih gadis itu Aluna—yang sejak pertemuan pertama selalu memberikan Aidan banyak pelajaran hidup, terutama membangkitkan semangat Aidan yang telah mengabur. Aidan tidak meminta lebih, dia hanya ingin Aluna selalu seperti itu, tapi kenyataannya Aluna hanya main-main. Menganggap segala yang terjadi tidak memiliki harga.

Sejak itu Aidan benar-benar melupakan Aluna. Walaupun sulit, Aidan akan berusaha melakukannya seperti jika menatap gadis itu berjalan di koridor dia memilih berjalan ke arah lain agar presensinya juga hilang. Agar ingatan masa lalu tidak lagi membekas.

Andre bilang bahwa hal yang ampuh untuk Aidan lakukan adalah membenci Aluna. Sayangnya, Aidan tidak bisa melakukannya. Dia tidak bisa membenci perempuan, terlebih Aluna. Maka, Aidan hanya melakukan sesuatu menurut pemikirannya saja, yaitu dengan cara menghindari Aluna.

Sesi ujian semester satu sudah berlangsung seminggu yang lalu. Jujur saja, Aidan selalu kesusahan menjawab semua soal pelajaran. Dia hanya menjawab apa yang dia pahami. Aidan menyerahkan semua hasil pada Tuhan, seperti yang sudah-sudah. Itu kenapa untuk silat Aidan selalu berusaha sampai titik darah penghabisan. Hanya itu satu-satunya harapan yang akan membuat perubahan untuk dirinya dan keluarganya.

"Ibu!" seru Aidan setelah menutup pintu kamarnya, hendak ke sekolah. Dia mencari Lusi, tapi di dalam rumah tidak bertemu. Aidan terus mencari sampai dia menemukan sosok Lusi tergeletak di dalam kamar mandi dengan mata yang terpejam. "Astaghfirullah, Ibu!"

Lekas Aidan memeriksa leher Lusi, yang syukur sekali masih ada denyut di sana. Namun, hal itu tidak menyurutkan kepanikan Aidan. Dia masih saja menggoyangkan bahu Lusi, berharap Lusi bisa bangun.

"Bangun, Ibu!"

Aidan segera mengambil minyak urut di dalam kamarnya kemudian kembali lagi ke dalam kamar mandi. Dia mengoleskan cairan itu ke titik yang penting. Dia terus menepuk pipi Lusi sampai selama beberapa saat akhirnya mata Lusi terbuka.

Seolah belum cukup membuatnya khawatir, Lusi mendadak batuk keras sehingga keluarlah darah dari mulutnya.

"Ibu tidak sakit, Aidan. Ibu hanya—"

"Tidak sakit gimana, Bu? Astaghfirullah, kenapa Ibu tidak memberitahu Aidan?"

"Loh? Kamu tidak ke sekolah? Sudah jam berapa ini, Dan?"

"Ibu," ucap Aidan dengan penuh penekanan. "Ayo ke rumah sakit sekarang. Aidan akan menemani Ibu di sana. Aidan tidak ingin sekolah hari ini. Aidan ingin mengurus Ibu. Ya? Aidan mohon, janganlah Ibu membantah lagi. Sekarang ayo berdiri."

"Aidan, tapi kita tidak punya uang buat berobat ke rumah sakit, Dan."

"Ibu punya kartu BPJS, Ibu bisa berobat gratis. Ayolah, aku mohon jangan bikin aku makin panik, Bu!"

Lusi tersenyum tipis. Anaknya memang keras kepala. Dia akhirnya berdiri walau kepalanya terasa berat.

"Sebentar, Bu. Aidan minta bantu ke Pak Bahar untuk membawa Ibu ke rumah sakit." Lusi duduk di kursi tamu lalu setelah Aidan pergi, dia kembali menutup mulutnya dengan sapu tangan di saku celananya. Seperti sebelumnya, yang keluar darah lagi.

Aidan datang tidak lama kemudian bersama Pak Bahar kemudian segera membawa ibunya ke rumah sakit.

Dokter tidak akan pernah peduli dengan perasaan Aidan ketika mengatakan bahwa setelah diperiksa Lusi mengalami TBC. Aidan membuka mulut lebar, masalah yang terjadi di hidupnya seakan tidak mengenal jeda.

***

Keesokannya, setelah diskusi yang dilakukan antara dia, Lusi, Alya, dan Harto, Aidan harus pergi ke sekolah untuk mengambil rapor. Lusi hanya butuh perawatan berupa obat-obatan, jadi Lusi masih bisa dirawat di rumah. Aidan tidak harus mengurus Lusi. Masih ada Alya dan Harto yang melakukannya.

Aidan pergi ke sekolah dengan raut yang murung padahal sekarang hari penerimaan rapor. Orang-orang berkerumun di koridor utama, menghadap ke layar LCD yang akan menampilkan peringkat semua murid. Semuanya excited, tapi hanya Aidan yang tidak. Dia tidak memiliki semangat apa pun untuk hal ini. Naik saja nilainya sudah sangat beruntung

"Kamu kenapa deh, Dan? Diajak ngobrol juga nggak nyahut sejak tadi!" seru Nico kesal saat melihat Aidan diam saja. "Mulut kamu sariawan?"

Aidan menggeleng. "Tidak apa-apa, Nic. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Pikirin apa?! Kamu baru melakukan tindakan kriminal? Iya?"

"Tidak, Nic."

"Ya makanya jawab!" seru Andre yang sama kesalnya dengan Nico. "Jangan diam terus dari tadi! Kamu itu cowok, jangan biasakan—"

"Ibuku sakit." Aidan menjawab lugas. "Puas?" tanya Aidan sembari melihat mata kedua temannya. "Dia sakit TBC. Kemarin sampai pingsan di kamar mandi. Aku selalu kepikiran ibuku sampai sekarang."

Nico segera menepuk bahu Aidan. "Aku yakin, Ibumu kuat. Ibumu bisa melalui semua ini dengan sempurna. Ibumu akan sembuh."

"Terima kasih."

Setelahnya, nama-nama semua murid mulai keluar. Itu adalah peringkat keseluruhan kelas XI, jurusan IPS maupun IPA. Biasanya Aidan berada di nomor enam puluh, tapi sekarang namanya muncul di nomor sembilan puluhan dan itu membuat Aidan segera pergi dari sana tanpa mengatakan apa-apa.

Aidan sangat kecewa pada dirinya. Dan kepergian Aidan itu terlihat oleh Aluna. Jelas, Aluna juga membaca nama Aidan. Paham sekali Aluna apa yang sedang dirasakan Aidan sekarang. Walaupun Aidan tidak sekompetitif dirinya, tapi setiap individu tentu berharap menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, bukan?

***

"Aluna," panggil Gazali saat Aluna mulai memakan roti selai cokelat yang disediakan oleh pembantu di rumah itu. "Hari ini keluar hasil pemeringkatan, ya?"

Aluna mengangguk sambil cemberut. "Ayah ih malah diingatkan. Padahal Aluna udah berusaha untuk tidak mengingatnya."

Gazali tertawa. "Kenapa memangnya, Nak?"

"Karena takut kalau Aluna bakal mengecewakan—"

"Tidak. Ayah akan menerima apa pun hasilnya. Ayah tahu itu adalah hasil terbaik yang telah kamu lakukan."

"Yah—"

Gazali tersenyum lembut. "Sebenarnya sejak kemarin Ayah menunggu kehadiran seorang laki-laki dengan motor rombengnya untuk menunggu kamu di simpang jalan depan, tapi ternyata kalian sedang berantem, ya?"

"Loh? Kenapa ayah menunggu dia?" Aluna berseru kaget. "Apa yang ingin Ayah lakukan padanya?"

"Ayah memperbolehkan dia mendekati anak ayah, Aluna. Kalian boleh saling mengisi hari satu sama lain seperti sebelumnya, tapi dengan satu syarat."

"Syarat apa, Yah?"

"Jangan sampai karena hubungan itu mengganggu proses belajarmu. Begitu juga untuk Aidan. Ayah tidak ingin kegiatan silatnya terganggu karenamu. Ayah sudah lihat bagaimana caranya bermain dan itu tidak sembarangan pesilat bisa melakukannya. Ayah ingin kalian bisa membatasi diri. Kamu pasti tahu kan apa ketakutan seorang ayah terhadap anak gadisnya setelah mendapatkan pasangan?"

Percakapan tadi pagi yang teringat oleh Aluna sebelum dia memberanikan diri untuk mengejar Aidan lagi.

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariDonde viven las historias. Descúbrelo ahora