Bab 09 : You

3 2 0
                                    

Setelah upacara bendera Senin pagi, seluruh siswa kembali ke kelas masing masing.

Terdengar suara mengeluh dari para siswa yang merasa capek, karena kepala sekolah menyampaikan pidato panjang dan lebar, sehingga mereka harus berdiri lebih lama.

Kondisi kaki Aidan sudah lebih baik. Dia sudah bisa mengikuti upacara bersama teman temanya, karena kondisi lukanya jauh lebih baik dari sebelumnya. Aidan bersyukur, berkat sang ibu yang telaten mengobati kakinya, terutama di akhir pekan, Aidan merasa kondisi kakinya menjadi lebih baik.

Apakah ini kekuatan dari sentuhan seorang ibu?

Waktu pelajaran berlanjut. Aidan duduk memandangi papan tulis yang berisi angka. Mereka tidak sedang mempelajari matematika atau fisika, melainkan mereka sedang mempelajari ilmu akuntan.Itu mata pelajaran di kelas IPS.

Sekitar pukul sepuluh pagi, seharusnya terjadi pergantian pelajaran, dari akuntansi ke mata pelajaran bahasa indonesia. Seharusnya saat ini kelas diisi oleh guru bahasa indonesia, namun kelas saat ini kosong

Ketua kelas memberitahukan bahwa guru bahasa indonesia tidak dapat hadir karena sakit, jadi mereka mendapatkan tugas mengarang bebas.

Kenapa harus? Memangnya mereka akan menjadi penulis?

Tapi, karena itu tugas wajib dan akan dimasukkan kedalam buku  nilai, mereka hanya bisa pasrah.

Sepuluh menit pertama, kelas aman terkendali, suasana kelas yang tenang cukup baik untuk kegiatan mengarang. Berselang lima menit kemudian, kelas menjadi ribut tak terkendali. Ketua kelas tidak mencoba menenangkan teman-temanya, karena dia juga salah satu dari pelaku ribut tersebut.

“Berhenti menatapku seperti itu!” Seru Aidan melirik tajam ke arah Andre dan Nico yang duduk di bangku depan Aidan.

Bukanya mengindahkan ucapan Aidan, mereka malah semakin intens menatap Aidan sambil sesekali berbisik bisik. 

Hal itu membuat Aidan jengkel.

Aidan menutup bukunya, lalu menatap ke arah Andre dan Nico yang ada di hadapannya, lalu bertanya. “Apa yang salah dengan kalian?”

Keduanya tak langsung menjawab. Mereka saling memandang satu sama lain, kemudian Nico menjawab. “Kamu pacaran dengan Aluna Mei Ariatma?”

“Huh? Pertanyaan konyol macam apa itu?” Aidan balik bertanya.

“Aku serius,” ucap Andre. “Cantika bertanya tentang mu beberapa waktu yang lalu, dan dia terlihat sangat penasaran denganmu,” lanjut Andre.

“Apa apn itu? yang bertanyakan Cantika, lalu apa hubunganya dengan Aluna?” tanya Aidan pula.

Secara serempak, Nico dan Andre saling menggeleng dan berdecak.

“ternyata sang atlet kita sangat tidak peka,” kata Nico.
“Kamu benar,” timpal Andre.

Aidan merasa jengkel melihat tingkah Andre dan Nico. Bagaimana mungkin mereka menyimpulkan dirinya tidak peka, sedangkan mereka berbicara tidak jelas.

Mereka hanya menatap Aidan sejak pagi. Ya,  Aidan sudah merasakan tatapan aneh dari Andre dan Nico sejak upacara, namun dia memilih untuk mengabaikan. Bukanya berhenti karena di abaikan mereka malah semakin parah.

“Bicaralah yang jelas!” kata Aidan.

Andre terkekeh melihat Aidan frustasi. Dia sudah mengenal Aidan selama hampir lima tahun, namun ini kali pertama dia melihat Aidan dekat dengan wanita.

Selama ini, Aidan cukup sibuk dan tidak punya waktu untuk menjalin hubungan dengan para wanita yang mencoba mendekatinya. Aidan sibuk dengan pencak silat dan membantu orangtuanya.

Padahal Aidan punya wajah yang terbilang lumayan tampan, sehingga Aidan sering mendapatkan ungkapan perasaan dari para gadis di sekolah. Entah itu secara diam diam dalam bentuk surat yang di sembunyikan di laci, atau secara langsung.

Andre sangat menyayangkan wajah tampan Aidan.

Setidaknya sekarang tidak perlu. Aidan terlihat sedang dekat dengan Aluna.

“Aku juga melihat kalian makan eskrim di depan sekolah, terus pulang berdua. Boncengan,” kata Nico tiba-tiba.

Andre menoleh kepada Nico. Dia tidak mendengar cerita itu sebelumnya.

“Apakah itu benar? Kamu mengajak Aluna naik supra bututmu?” Tanya Andre bersemangat. “Memangnya tidak mogok pas bareng, Aluna?” lanjut Andre menambahkan.

Aidan tidak langsung menjawab. Dia melirik ke samping sebentar, lalu kembali kepada dua orang manusia yang sedang menunggu jawabanya.

“Tida, tidak mogok. Tapi ....”

“Tapi apa?” desak Andre tak sabar.

“Tapi, bannya bocor.”

Andre yang mendengar hal itu tertawa terpingka pingkal. Dia sudah membayangkan pasti ada masalah. Dia sudah menduganya, tapi siapa sangka masalahnya adalah ban bocor.

Aidan kesal. Dia bangkit dari tempat duduknya.

“Mau ke mana?” tanya Andre.

“Mau cari Dragon Ball, trus minta buat ilangin kamu,” jawab Aidan.

Tersinggung? Tentu saja tidak. Tawa Andre justru semakin keras, bahkan Aidan masih bisa mendengarnya padahal dia sudah di luar kelas.

“Dasar gila!” gumam Aidan  geleng geleng kepala dengan tingkah temannya itu.

Aidan melangkahkan kakinya, menelusuri koridor kelas. Menikmati udara kebebasan dari bisingnya kelas karena tidak ada guru.

Langkah kaki Aidan berhenti saat dia melihat kelas sebelas IPA A sedang berada di lapangan volly. Sepertinya hari ini adalah jadwal olah raga kelas itu.

Aidan mendekat pada pembatas koridor, melihat ke arah lapangan yang ada di bawah sana.

Matanya menelusuri area lapangan volly, seolah sedang mencari sesuatu. Tapi dia tidak tahu apa yang dia cari. Sampai akhirnya  mata Aidan tertuju pada seorang perempuan yang berada di baris paling depan.

“Ternyata dia pendek,” gumam Aidan.

Orang yang Aidan maksud adalah Aluna.

Aidan menyandar pada pembatas koridor. Menatap ke arah Aluna yang sedang melakukan pemanasan. Bahkan dia tidak mengalihkan perhatian sejak beberapa saat yang lalu.

Sampai akhirnya seorang menegur Aidan. Seorang guru yang kebetulan lewat.

“Apa yang kamu lakukan disini?” tanya sang guru.

Aidan mendapat pertanyaan itu mengedipkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya dia menjawab. “Saya tersesat.”

“Tersesat?” tanya sang guru heran. Bagaimana mungkin siswa kelas dua tersesat.

“Ah, maksud saya, saya ingin ke toilet. Kalau begitu saya pamit.”

Aidan langsung melarikan diri menuju toilet bahkan tanpa menunggu jawaban dari sang guru.

Sesampainya di toilet, Aidan mencuci tangan. Setelah dirasa cukup, Aidan mengeringkan tanganya, lalu memandang ke arah cermin.

Aidan merasa seperti melihat Aluna.

“Huh? Apa apaan itu!” Aidan merasa tak senang.

Aidan bergegas meninggalkan toilet. Kelas selanjutnya akan dimulai sebentar lagi.

Dalam perjalanan menuju kelas, Aidan tanpa sadar merapat ke pembatas koridor. Matanya secara alami menemukan sosok Aluna yang berdiri di tengah lapangan volly.

Padahal Aluna tidak sendirian di tengah lapangan Volly, di tambah jarak yang cukup jauh dengan posisi Aidan di koridor lantai tiga. Tapi Aidan bisa menemukan keberadaan Aluna tanpa kesulitan.

Aidan memperhatikan Aluna dengan seksama.

Di bawah sana, Aluna tertawa beberapa kali dan itu seperti menular pada Aidan.

“Dia cantik,” gumam Aidan tanpa sadar.

Beberapa detik setelah mengumumkan hal itu, Aidan tersadar sambil memegang dadanya yang berdebar. Aidan sadar bahwa dia telah jatuh cinta pada seorang gadis bernama Aluna Mei Ariatma.

VELJACA: Tentang Kita Di FebruariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang