BAB 4: Dia Kembali?

24 4 0
                                    

Jika kau kembali tanpa alasan, kenapa dulu kau pergi tanpa berpamitan? Seharusnya, kau tidak perlu kembali lagi jika hanya ingin menorehkan luka untuk yang kedua kalinya—June Clara Sabian.

***

LAGI-lagi June harus dihadapkan dengan sebuah hal yang seharusnya tidak ia alami. Mendapatkan tekanan dari mamanya membuat dirinya harus berjuang lebih ekstra lagi. Tidak seperti anak pada umumnya, June ingin bebas dan tidak selalu berada di dalam kungkungan batin sebagai anak yang tidak diharapkan.

“Anak tidak tahu diuntung!”

June pura-pura tidak mendengar, padahal dalam hati kecilnya ia berteriak. Harus sampai kapan ia menjalani hidup dengan siksa yang luar biasa menguras jiwanya? Jika boleh memilih, June tidak ingin dilahirkan ke dunia ini. June tidak ingin lahir dari mama dan ayah yang tidak bertanggung jawab.

“Sudah Mama bilang, pulang tepat waktu. Kamu susah banget dikasih tahunya!” Airin menatap tajam ke arah June yang tertunduk lesu.

“Ma, June cuma telat sedikit. Lagian June pergi sama Juan.”

Airin menarik rambut milik gadis itu. “Jawab aja terus! Kapan kamu nurutnya sama Mama!” Kemudian membanting gadis itu ke lantai.

June meringis kesakitan, kakinya bergetar hebat. Tubuhnya sudah tidak kuat untuk berdiri tegap. Ia hanya berharap mama mengakhiri semuanya.

“Keluar! KELUAR!”

“Nggak usah tidur di dalam. Tidur di luar aja kamu hari ini!”

Gadis itu dipaksa keluar oleh Airin. Tangannya ditarik secara paksa membuatnya merintih kesakitan. Mata June sudah sembab, mengalir dengan perlahan sampai akhirnya ia didorong dengan keras oleh mamanya.

“Ma! Tangan June sakit, Ma! Di luar juga dingin! June juga lapar, Ma!”

“MA, DI SINI DINGIN! JUNE MAU MASUK!” June berteriak sekencang apa pun, mama tidak akan menggubris ucapannya.

Gadis itu mengusap air matanya, menyenderkan tubuhnya di tembok, kemudian menatap langit malam yang saat ini sedang terang karena bulan. Namun sayang, gelapnya hati June tidak seterang bulan di angkasa. Ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang.

“KALAU JUNE MATI KAYAKNYA MAMA NGGAK AKAN PEDULI!” Sampai akhirnya ia berhenti menangis dan terduduk lesu tanpa ekspresi. Ia memegangi perutnya yang terasa lapar, kemudian mengambil dompetnya yang berada di tas.

Uang dengan nominal dua puluh ribu ia genggam dengan sisa tenaga yang dipunyanya. June mencoba bangkit, pergi keluar mencari pedagang kaki lima. Semoga saja uang yang dimilikinya bisa membuat perutnya kenyang sampai besok pagi.

Dengan tampang yang sedikit berantakan, June tertatih menoleh ke kiri dan kanan mencari santapan malam untuk hari ini. Matanya jatuh pada penjual bakso gerobak yang berada di pinggir jalan. Dengan mata yang berbinar, gadis itu berjalan perlahan.

“Bang pesan satu mangkok ya.” Abang penjual bakso itu mengangguk. Sedangkan June segera duduk di meja yang telah disiapkan.

Ponselnya bergetar, June melihat sebuah pesan yang terkirim dari salah satu kontaknya—siapa lagi kalau bukan Juan orangnya.

Juan:
Malam, Juneku.
Udah makan?
Jangan lupa makan ya!

June:
Iya, ini aku lagi makan hhe
Kamu juga jangan lupa makan ya!


June tersenyum getir. Juan tidak tahu apa yang sedang ia alami saat ini. Gadis itu juga tidak ingin pacarnya tahu masalah apa yang sedang dihadapinya. Ia tidak ingin membebani semua pikiran Juan hanya karena masalah yang tidak penting.

June: Happy Birthdie ✓ SEGERA REVISIWhere stories live. Discover now