14. Semburat lilin hangat

14 1 0
                                    

"Kulihat api yang menari di sampingku, dengan lilin yang menetes. Layaknya aku dan dirimu, kamu menari seperti api itu dan aku meleleh di bawahnya."–June Clara Sabian.

***

MATA yang semula tertutup rapat mulai terbuka, melihat segala hal menjadi buram yang menyebalkan. June terbangun dari pingsannya, mengelap mimisan yang mengering dari hidungnya. Ia terkekeh, bagaimana dia bisa sampai sini? Mama terlampau baik jika benar-benar menyeretnya sampai sini. Hal itu dapat ia rasakan dari tubuhnya yang sakit, bahkan ketika ia buat untuk duduk saja.

"Sakit banget," gumamnya. Ia sandarkan pundak yang berat, memejamkan mata erat berharap jika pusingnya mampu berangsung mereda. Gadis itu membersihkan hidungnya dengan sapu tangan yang ia ambil di sebelah lilin yang menyala di sampingnya.

Selepas mengusap darah itu hingga bersih, June kembali berbaring, menatap atap-atap langit, begitu cantik dan menenangkan. Suara hujan di luar meredam bising yang ada di dalam kepalanya. Hanya ada hening yang mengisi seluruh kekosongan kamar.

Ketika melirik ke arah lilin, ia sadar ... apakah ini sumbu pertama yang dihidupkan oleh sang mama? Di belakang lilin tersebut, kalender bulan Juni berhasil menarik atensinya. Ah ... tinggal hitungan hari menuju hari ulang tahunnya, tetapi mengapa semua ini begitu menyesakkan? Tiap Juni akan berakhir, ketika datang hari ulang tahunnya, ia selalu memanjatkan pengharapan bahwa setiap Juni yang ia dapatkan akan menjadi bulan terbaik. Namun, semua itu hanya sebuah mimpi yang hanya akan ia pendam seumur hidup.

Tangannya meraba dan mengambil kalender tersebut, setetes air mata luruh bersama isak tangis lembut yang menyayat, teredam oleh derasnya hujan. Ia memeluk kalender itu, batinnya menggumamkan harapan ... jadilah Juni terbaik, jadilah Juni terbaik, kumohon ... jadilah Juni terbaik.

Suara knop pintu yang dibuka membuat atensi June teralihkan. Sekejap mata, ia usap air mata yang tadinya menggenang. Sosok itu makin mendekat, sehingga cahaya lilin akhirnya mampu menerangi dan netra dari June mampu menangkap sosok tersebut.

"Juan." June terkekeh sembari membuang mukanya malas.

Lelaki itu terpaku di tempat, gaun itu ... gaun pertama kali ketika mereka berpacaran. "June ... aku minta maaf."

"Buat?"

Juan terdiam.

"Buat ninggalin aku sama sendirian nunggu kamu? Buat ngelihat dan bikin kamu bahagia sama Jasmine?"

Bagaikan sebuah panah yang langsung menusuk jantungnya, Juan membulatkan mata tak percaya. Bagaimana June bisa tahu?

"Kenapa? Kaget aku bisa tau? Lihat aja story Jasmine. Aku tau, olimpiade itu penting buatmu. Aku tau, setiap waktumu harus kamu buat untuk belajar. Aku tau, kamu sama Jasmine dekat buat kebaikan kamu. Tapi ... kenapa rasanya nggak rela, Juan?"

Lelaki itu terdiam membisu, tak mampu memberikan kata apa pun. Membiarkan June meluapkan segala kekecewaannya.

"Maaf, aku egois. Aku seharusnya nggak ngekang kamu dari awal. Maaf untuk waktunya." June mengakhiri pembicaraannya.

"June, aku yang seharusnya minta maaf. Maaf aku ninggalin kamu, June. Aku lupa."

"Lupa? Sebuah janji yang kamu buat  bisa lupa? Tuhan, aku siapin diri bahkan nggak tidur semalamam karena nggak sabar buat jalan-jalan sama kamu, Juan. Setelah semua hal yang kulalui setelah kamu ngasih janji, terus kamu bilang lupa?"

"Maaf."

"Nggak berguna, Juan. Aku terlanjur kecewa. Sakit, Juan. Sakit! Padahal kamu tau sendiri kalau aku itu sakit di mana pun aku berada."

June: Happy Birthdie ✓ SEGERA REVISIWhere stories live. Discover now