13. Jalan setapak yang basah

12 1 0
                                    

"Kutapaki kembali jalanan yang sama, tanpa adanya rasa maupun momen bahagia. Semuanya masih sama, terlebih lagi yang menyakitkan ... kamu mulai berubah." -June Clara Sabian.

***

HUJAN yang awalnya deras kini mulai mereda. Namun, tidak dengan tangis yang mendera June di halte tempat menunggu Juan. Ia di sana terpaku melihat postingan dari Jasmine yang mengunggah foto bahwa pacarnya sedang menghangatkan diri dan riang bersama gadis lain.

June membalas postingan tersebut dengan sedikit pedas, jemari lentik yang bergetar itu mengetikkan frasa dengan cepat, "Haha, have fun, ya!" Sesaat setelahnya, June kembali membuka payungnya, tak membiarkan rinai air yang jatuh membasahi dunia turut menyertai dan akhirnya melukai dirinya. Biarlah hati yang lara, jangan kesehatannya.

Hujan bulan Juni kali ini memberikan kisah yang begitu sakit, seharusnya bulan Juni adalah musim kemarau yang identik dengan jalan yang kering dan angin yang panas. Namun, entah mengapa hari ini suasananya membawa sesuatu yang dingin dan sakit mendalam. Kecipak langkah yang menciprat dari tapak yang ia ambil dari genangan membuatnya terkekeh kecil. Kenyataan kembali memeluknya, ia ... sendiri dan kesepian.

June merasakan bahwa tubuhnya tidak nyaman. Tenggorokan dan juga pangkal hidungnya mulai gatal. Ia usap bahu yang beku layaknya es batu, berharap gesekan itu mampu membuat kehangatan di tubuh. Beberapa langkah lagi ia sampai, hanya perlu beberapa saat.

Sebelum benar-benar memasuki halaman rumah, June menatap sekitar dengan damai. Keheningan yang luar biasa, semilir angin berembus menerpa dirinya, membuat gadis itu bersin beberapa kali. Langkahnya menjadi gontai akibat tubuh yang entah mengapa menjadi begitu lemas, ia buka pintu tanpa mengetuknya. Langsung masuk tanpa aba-aba.

Selepas masuk, satu titik fokus yang langsung ia dapatkan adalah tatapan tajam dari sang mama.

"Dari mana?" Wanita paruh baya dengan pakaian yang nyentrik ala ibu sosialita itu bersedekap tangan. "Kalau ditanya itu jawab!"

"Dari luar, Ma," June menjawab seadanya dengan suara lelah.

Mama memijat pelipisnya. "Luar-luar, yang bilang kamu dari dalem itu siapa? Jawab yang jelas! Kamu, tuh, udah disekolahin dari lama jawab gini aja susah. Bodoh!"

June merasa pening. "Mah, tolong nanti dulu, ya. June pusing."

"Oh, pusing?" Mama menoyor kepala gadis itu berulang kali. "Itu pusing, 'kan? Kamu dari mana!"

"Ketemu Juan!" bentak June dengan lantang, bersamaan dengan itu, hidung gadis berambut panjang digerai itu mulai mengeluarkan darah. Entah bagaimana, June merasa pusing yang teramat berat, membuat pengelihatannya memburam dan mulai menggelap, telinganya berdengung dengan degup jantung yang memacu begitu cepat. Gadis itu jatuh, limbung dan runtuh tanpa ada aba-aba. Ia pingsan seketika.

***

Juan dari rumah langsung tancap gas untuk segera menemui June. Ia pergi mondar-mandir mengendarai motornya, mencari sosok June di seluruh taman yang ia janjikan.

"June! June! Sial!" Ia memekik kencang. Juan kembali membuka ponselnya, membuka pesan dari June yang ternyata ia sedang menunggu di halte. Tanpa tunggu lama-lama, ia teruskan pencariannya.

Jalanan yang sepi membuat Juan berani kebut-kebutan, ia begitu bodoh dengan ugal-ugalan melewati jalanan yang licin akibat derasnya hujan yang sebelumnya mengguyur. Beberapa meter sebelum sampai di halte, motor Juan terpeleset, menyebabkan lelaki tersebut seketika jatuh. Beruntung, jalanan sangat sepi dan Juan sebelumnya memang sudah melambat bahkan sempat menekan rem, luka ringan ia dapatkan di siku kanan yang menjadi sobek akibat hantaman dari aspal jalan mengenai jaket tebalnya. Selebihnya, tidak ada yang terluka.

Juan tak memedulikan lukanya itu, ia berdiri dari posisinya dan langsung mencari June di halte.

Kosong. Ia sama sekali tak menemukan sesosok gadis pemilik senyum yang begitu indah. Kekasih terindah sepanjang masanya.  Juan mengacak-acak rambutnya frustasi. "Sial, sial, sial!"

Dari arah lain, datang Jian yang menghampiri Juan. "Loh, Juan? Kok lo di sini? June mana?"

Juan refleks menengok ke arah sumber suara. Ditatapnya Jian dengan penuh harap. "Gue malah mau tanya, lo tadi lihat June?"

"Iya, lah. Dia dari tadi waktu hujan nunggu lo di sini. Gue pikir kalian udah have fun bareng."

Juan bergeming, tak tahu harus mengutarakan kata seperti apa. Tubuhnya beku ketika mendengar hal tersebut, ia mengaku bahwa dirinya benar-benar melupakan June. "Gue ... lupa."

"Hah?" Jian berteriak kencang. "Lupa? Maksud lo?"

"Tadi gue sibuk latihan olim sama Jasmine dan akhirnya–"

Belum selesai mengucapkan kalimatnya, sebuah pukulan keras melayang menghantam Juan.

"Brengsek! Lo nggak mikir kalau June di sini kedinginan dan menggigil cuman nunggu lo yang ternyata sama cewek lain? Lo sinting, hah?"

Juan memegangi pipi yang terasa nyeri akibat pukulan Jian. "Gue lupa! Hp gue nggak aktif dan terus-terusan diganggu Jasmine!"

"Halah, alesan. Apa pun alesannya, cepat lo temuin June! Daripada kamu ... lebih baik gue yang jaga dia."

Juan naik pitam, wajahnya memerah dengan tangan yang mengepal kuat. "Maksud lo apa, hah!" Nada lelaki itu meninggi, berteriak sembari menarik kerah Jian.

Jian menyingkirkan tangan Juan dengan kasar. "Gak usah sok marah dan jadi jagoan. Lo yang salah dan tega ninggalin June sendirian nunggu di dinginnya hujan ini. Sen-di-ri!" tegas lelaki itu lantas membelakangi Juan yang sedang teroaku di tempat. "Apa pun yang terjadi, bukan cuman gue, tapi June bakal lebih-lebih kecewa." Jian memelesat dengan kencang, melaju pergi menuju rumah June untuk memeriksa keadaan gadis tersebut.

Tak kalah, Juan pun turut menyusu. Dengan secepat kilat, ia menghidupkan dan melajukan kendaraannya.

***

Mama selesai membawa June ke kamar. Ia bergumam, "Anak gak guna, kerjaannya nyusahin orang lain aja."

Dilihatnya June yang memucat, tubuhnya dingin sedingin es batu, rambutnya tampak sedikit basah akibat terkena air. Untung saja gaun yang dikenakan masih bersih walaupun bagian bawah terlihat kotor.

Mama menutup tubuh June dengan selimut, tidak ingin melihat pemandangan itu lebih lagi. Sesaat setelah menyelimuti June, lampu yang meneneranginya seketika padam. Bersamaan dengan hal tersebut, langit pun menggelap kembali dengan hujan yang tanpa aba-aba mengguyur kembali.

"Setan! Malah mati listrik!" umpat wanita paruh baya itu. Ia membuka ponsel dan menghidupkan akses senter dari ponselnya, melangkah ke luar dan pergi meninggalkan June. Namun ... entah mengapa rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hati, membuat sang mama iba untuk meninggalkan June.

Mama pergi ke dapur, mencari lilin dan wadah, agar lilin mampu berdiri tegak. Ia hidupkan sumbu lilin itu dengan api yang menyala, mebuatnya menari di atas sana, lantas membawa benda tersebut ke kamar putri semata wayangnya. Mama letakkan penerangan yang hangat itu di samping June, berharap, lilin itu mampu menghangatkan suhu ruang dan gadis yang kedinginan itu.

Suara motor yang bising mengalihkan atensi mama, membuat wanita paruh baya itu menengok, dan akhirnya memutuskan pergi mengecek keadaan di luar.

Baru sampai di tangga, ia mendengar cek-cok dari dua pemuda yang mengganggu pendengarannya. Ketika pintu terbuka, dua sosok pemuda yang datang di depan pintu sembari bertengkar langsung menoleh.

"Ada apa kalian ke sini?"

***

Bersambung

Bandung, 23 September 2023
Arusha, Kana, Rara.

June: Happy Birthdie ✓ SEGERA REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang