BAB 7: EUFORIA

18 2 0
                                    

Mengutarakan semua perasaan takut kehilangan kita kepada seseorang seharusnya bukan menjadi beban untuk yang menerimanya. Aku hanya mengutarakan saja, entah akan seperti apa selanjutnya. Urusannya nanti saja— Juan Akbar Juniandara.

***

PEMANDANGAN yang paling menyeramkan adalah melihat June duduk di meja yang sama dengan anak pindahan yang beberapa jam ke belakang baru saja menginjakkan kakinya di sekolah ini.

Huh!

Juan jadi kesal sendiri melihat June sangat akrab dengan anak baru entah pindahan dari sekolah mana. Jangankan tahu pindahan dari mana, namanya saja Juan tidak mengetahuinya. Lebih tepatnya, tidak mau tahu!

June:
Aku di kantin sama Jian

Kamu kesini dong, please.

Juan:
Jian? Who?

June:
He is my friend. Kayaknya aku pernah cerita deh dulu, pas kita kelas sepuluh.

Juan:
Udah dua tahun yang lalu, aku mana inget.

June:
Kamu kenapa sih?
K

ok sewot kaya gitu?

Juan:
Cause i'm jealous

June:

Huh?

Juan:
Hm
I can't explain
Idih, kenapa jadi so inggris gini ya, June. Okedeh aku otw ke sana sekarang.

***

Dan benar saja. Dua menit kemudian, Juan datang dengan seragam yang agak berantakan. Ujung kemeja yang keluar sebelah, tidak memakai sabuk dan yang paling menyebalkan lagi dua kancing teratas kemejanya dibiarkan terbuka.

"Permisi, boleh join?" Baik June maupun anak baru itu belum menjawab tapi yang bersangkutan sudah mepet-mepet mau ikutan duduk di meja kantin paling ujung itu.

"Kamu ke sini sambil lari-lari? Kok bisa cepet banget." Kening June mengerut. Iyalah cepet orang dari tadi Juan memantau keduanya dari seberang kelas yang cukup dekat dengan kantin.

Juan yang sudah duduk nyaman di sebelah June menyahut, "Iya cepet, soalnya aku kalau  lari pake tenaga kuda."

June terkekeh kecil, lalu pandangannya beralih kepada Jian. "Jian, kenalin ini Juan. Temen aku." June memperkenalkan Juan kepada Jian. Juan mengerutkan keningnya, apa dia tidak salah dengar? Yang June katakan tadi, teman?

Maksudnya teman?

June menyikut Juan agar lelaki itu mau membalas jabatan tangan Jian. "Ah, ya! Kenalin gue Juan temennya June." Juan menekan kata teman lalu mendelik kesal kepada June.

"Jian, sahabat June," katanya.

June dan Juan saling melempar pandang. "Oh sahabat yaa?!" Juan menganggukkan kepala, setelah ini ia harus bicara empat mata dengan gadis pemilik senyum paling manis itu. June tentunya.

"Kalian mau pesen apa? Ayo pilih! Biar aku yang pesenin."

"Aku bakso deh, June," jawab Jian. "Jangan pake seledri sama kecap." Jian dan June mengatakannya kompak, gadis itu ternyata masih ingat dengan kebiasaan Jian ketika memesan bakso

Hareudang, hareudang, hareudang. Panas, panas panas. Juan mengipasi dirinya dengan tangan. Raut wajahnya sudah tampak kesal.

"Kamu di sini aja, biar aku yang pesen." Juan menyuruh June untuk tetap duduk di bangku. Keadaan kantin sedang sesak-sesaknya, mana mungkin lelaki itu tega menyuruh June untuk mengantre sedangkan dirinya duduk dengan tenang di sini.

June: Happy Birthdie ✓ SEGERA REVISIWhere stories live. Discover now