BAB 20: Luka Cita Rasa

15 2 0
                                    


Mata yang awalnya tertutup rapat perlahan terbuka. June merasakan nyeri luar biasa pada badannya. Bukan apa, ia yang akhir-akhir ini sering pingsan dan mimisan pun mengetahui bahwa itu efek dari penyakit yang ia derita. Gadis itu memegangi kepala yang terasa sangat berat dan nyeri, lantas membenturkannya ke dinding yang ia sandari berharap sakit itu segera enyah dari kepalanya.

"June?" Seorang lelaki yang membawakan nampan ke arah June refleks berlari menghampiri dan mendekap June. "June, kamu kenapa?"

Itu ... Juan. Benarkah? Ah, rindu ini menghancurkan banyak hal. Namun mengapa usapan lembut dan dekapan hangat itu mampu membuat tubuhnya bereaksi berupa tangis yang begitu sakit?

"June ...."

Sang empunya nama menghadap ke sosok itu. Nyata, sosok Juan terpampang nyata di hadapannya. Dengan raut khawatir tetap sama mengenakan pakaian yang ia kenakan ketika di perpustakaan bersama ... Jasmine.

June merasakan kepalanya yang mulai beringsut membaik, walaupun masih terasa begitu sakit pun juga badannya. Ia menyingkirkan Juan. "Maaf."

Juan terdiam sejenak. "Kamu nggak apa? Tadi kamu pingsan, ini ada di kamarku. Kamu kenapa, June?"

Ketika Juan ingin menepuk bahu June, gadis itu langsung menghindar dan mengenyahkan tangan Juan. "Aku nggak apa, kok. Lagi kecapekan aja."

"June ...."

"Aku nggak apa. Urusin aja olimpiademu itu, Juan."

Juan menghela napas. "June, aku tau kamu cemburu. Tapi tolong jangan sampai nyakitin diri kamu sampe kayak gini!"

June hanya terdiam membisu. Ia merangkai kalimat dalam pikiran dan menyuarakan dalam hati. Namun, mengapa lisannya begitu sulit digerakkan ketika matanya melihat sosok Juan yang teduh di hadapan?

"Mana Jasmine?" tanya June datar.

Juan memberi jeda sebelum menjawab, "Di luar kamar."

June terkekeh. "Kalian sekarang kelihatannya makin deket aja, ya?"

"June."

"Enggak apa, toh, kita udah bukan siapa-siapa lagi. Kalau kita masih ada hubungan, seenggaknya kamu bisa kirim pesan di hari itu. Bahkan sampai saat ini, di depan mataku sendiri, kamu masih jalan, Juan. Sama wanita itu!" June memberi jeda, "Moga bahagia."

Percakapan mereka terhenti ketika ada suara ketukan pintu mengalihkan atensi mereka. Juan memandang June sekilas kemudian memelesat pergi membuka pintu.

June yang ditinggal memeluk lututnya kemudian menangis di dalamnya. Sakit? Sangat sakit. Dia sekarang ada di hadapannya, tetapi bukan June lagi prioritasnya. Biarlah dia dikata egois, seharusnya wanita ular itu bisa menjaga jarak.

Di luar, setelah Juan membuka pintu rumahnya, satu pukulan keras melayang pada wajahnya. Sontak, hal tak terduga tersebut membuat Jasmine yang ada di belakang Juan berteriak dan langsung menghampiri Juan.

"Juan-Juan, kamu nggak apa?" Gadis itu merapa wajah Juan.

Jian dan Jevan masuk ke rumah itu. "June mana?"

Jasmine berdiri. "Heh!"

"Apa!" Ketika suara Jevan membentak, Jasmine kembali ciut.

June keluar dari kamar Juan. "Kak Jevan?" celetuknya.

Jevan dan Jian langsung menghampiri June yang keluar dari kamar. "June, kamu nggak apa?"

June mengangguk sebagai respons.

Sembari memegangi pipi yang memar akibat pukulan keras dari Jevan, lelaki itu berkata, "Harus banget mukul?"

"Jelas. Buat adik gue yang kamu tinggalkan, dan semua luka yang June tanggung karena rindu lo," balas Jevan.

June: Happy Birthdie ✓ SEGERA REVISIWhere stories live. Discover now