BAB 6: Fatamorgana

20 3 0
                                    

Kita hanya butuh satu manusia yang menerima kita sekaligus menerima seperangkat luka yang kita punya — June Clara Sabian.

***

SENYUM di bibir June mengembang kala melihat Juan sudah nangkring saja di atas motor besarnya. Dengan sabar Juan menunggu June yang katanya baru selesai melaksanakan piket kelas.

"Kenapa senyum-senyum sendiri kaya gitu?" Juan melipat kedua tangannya di depan dada sesaat June sampai di hadapannya.

Wajah semringah June berubah datar. "Aku senyum ke kamu, Juan."

Juan tersenyum hangat, mata cokelatnya bertemu dengan mata hitam milik June. "Mampir ke taman sebentar, yuk!" ajak Juan.

Sang gadis mengangguk. Menaiki motor Juan dan bersiap untuk pergi bersama.

"Peganganan yang kenceng."

June mengernyit bingung. Ketika motor dihidupkan dan melaju, akhirnya gafis itu paham, memejamkan mata dengan erat dan mengeratkan peluk. Perjalanan tak terasa, tak diisi sepatah kata maupun ucap canda tawa. Sesampainyadi tujuan, bangku berwarna cokelat memanjang menjadi fokus utama mereka untuk merehatkan diri.

Kata pertama terlontar dari Juan, "Masih belum mau cerita?" Ia menyandarkan punggungnya kesenderan kursi. Tidak ada jawaban, June masih bergeming.

"Ya udah, kalo belum mau gak apa. Tapi kalau nanti pas kamu mau cerita, aku harus jadi orang pertama yang kamu hubungi, ya, June," kata Juan dengan senyum hangat.

"Juan, menurut kamu apa yang paling menyedihkan di dunia ini?"

"Rindu sama seseorang yang udah di surga, " jawabnya, "June, kangen sama orang yang udah gak ada di sini itu rasanya sesek banget. Gak ada obatnya selain berdoa supaya bisa dipertemukan lagi di kehidupan selanjutnya."

June mengangguk kecil, lalu menepuk pundak Juan beberapa kali.

"Kalo menurut kamu?" tanya Juan.

June diam, sepersekian detik kemudian berkata, "Kehilangan peran orang tua. Mereka ada, mereka masih sama aku, tapi perannya udah lama mati."

"Tante Airin masih suka main tangan sama kamu?" Juan menatap June serius, mimik wajahnya tiba-tiba khawatir.

June menggeleng, "Udah gak sesering dulu. Sekarang Mama kaya gitu kalo aku ngelakuin kesalahan aja kok."

Lelaki itu menghela napas panjang. "Yang paling menyedihkan nomer dua adalah, aku gak pernah diajak berpetualang ke dunia orang yang paling aku cintai," ujar Juan.

"Kamu yakin mau aku ajak masuk ke duniaku?" June menaikkan alisnya, menantang Juan.

"Yakin, lah! Mau seterjang apapun tantangannya. Aku bakal tetep sama kamu,"

"Jaminannya apa?"

Juan terkekeh, lalu mengatakan, "Gak bakal ada satu hari pun yang terlewat untuk kamu gak makan pepaya dingin. Aku bakalan terus kasih, entah siapa yang akan jadi perantaranya nanti."

June tertawa kecil. Juan selalu meyakinkan dirinya, lelaki itu selalu berusaha untuk menjadi seseorang yang bisa June andalkan. Mungkin sekarang Juan masih akan menjadi miliknya, tapi June tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Mereka akan sampai akhir atau tidak?

Hening beberapa saat, sebelum akhirnya June memulai ceritanya. "Aku ngambil keputusan yang salah, Juan," ia menjeda kata-katanya, "Aku yang nyuruh Ayah menceraikan Mama."

Dengan seksama, Juan mendengarkan June yang menjadikannya rumah untuk berkeluh kesah. Ia tatap gadis dengan pandangan yang menerawang kosong, seolah memutar kembali segala memori yang telah ia lakukan.

"Aku gak bisa liat Mama sedih karena sifat Papa yang tempramen. Aku juga gak mau jadi alasan terlukanya Mama. Mama selalu bilang kalau satu-satunya alasan yang bikin dia bertahan sama Ayah adalah aku. Karena kata Mama masa depan aku masih panjang." Tatapan June menerawang ke masa di mana Airin mengatakan hal yang sama seperti itu. "Tapi kenyataannya ... Mama yang ngebunuh semua mimpi-mimpi itu."

June terkekeh miris, menunduk sembari menekan tangannya kuat. "Mimpi untuk menjadi anak yang berbakti. Mamah malah bikin aku takut dengan keberadaannya dan keberadaan Ayah."

"Alasan Om Teza bener menceraikan Tante Airin karena apa?" tanya Juan.

"Karena aku yang bongkar semua perselingkuhan Mama sama Om Roni," kata June. "Aku yang ngadu sama Ayah. Dengan harapan Ayah menceraikan Mama dan setelah itu Mama bakal hidup bahagia sama Om Roni yang katanya cinta pertama Mama itu. Dulu Mama sama Ayah bisa bersama karena perjodohan. Mama gak bisa nolak, mau gak mau, cinta gak cinta aku tetep lahir. Dan yang paling menyakitkan, June dilahirkan ke dunia ini tanpa cinta kedua orang tuanya." June tersenyum getir.

"June ...." Juan berkata lirih.

"Setelah mereka cerai, Mama juga gak jadi nikah sama Om Roni karena Om Roni gak mau cerain istri pertamanya. Mungkin karena itu Mama jadi kesel sama aku. Mama luntang-lantung banting tulang cuma buat biayain sekolah aku, Juan. Luka segini gak sebanding sama keringet yang Mama keluarin karena capeknya ngurus anak kurang ajar kaya aku."

"Om Teza?"

"Ayah bangkrut. Kelilit hutang karena main judi."

Juan diam, ternyata sebanyak ini masalah yang June pendam sendirian. Dilahirkan tanpa cinta, menjadi saksi bisu saat Mamanya ketahuan selingkuh dan dia harus diam merahasiakan dari Papanya. Dan sekarang, menjadi samsak kemarahan kedua orang tuanya. June semoga Tuhan menguatkan pundak dan juga hatimu.

"June?" Panggil Juan pelan.

"Hm?" Gadis itu menoleh, menatap Juan dengan senyum tipisnya.

"Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih sudah kuat walaupun kenyataannya ... kmau pengen nyerah 'kan?" June tersenyum lagi, Juan selalu memahaminya. Gadis itu jadi takut dengan kenyataan orang datang, lantas kemudian pergi meninggalkan kenangan dalam. Semua orang boleh pergi, asal jangan Juan.

Juan tersenyum lalu merentangkan tangannya, memberi akses agar gadis itu bisa memeluk tubuhnya. Memberi kekuatan dan meyakinkan bahwa dia tidak sendiri.

Di sini, Juan berjanji untuk terus melindungi, menyayangi dan mencintai June dengan perasaan yang setulus-tulusnya. Tidak ada paksaan dari pihak manapun, ini pilihan hatinya mencintai June dengan semua luka yang ada padanya.

"Juan ...." Luruh sudah air mata yang sejak tadi June tahan untuk tidak keluar membanjiri kaus putih lelaki itu. Menangis di pelukan Juan memang menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini.

"Jangan sedih lagi, ya, June. Masih banyak yang sayang sama kamu." Juan mengusap pangkal kepala gadis itu.

"Siapa aja?"

"Aku, aku, aku, aku, aku, aku, aku, aku, aku, aku, dan seluruh dunia yang mau dukung kamu," seru Juan.

June tersenyum, kemudian menunduk. Perasaan tak pantas diperlakukan seperti ini oleh Juan kembali merasuki pikirannya. Kenapa June selalu berpikir bahwa latar belakangnya yang berantakan tidak boleh membawanya menuju kebahagiaan?

Seharunya June menjaga sikap dan sadar diri adalah yang utama. Juan akan ikut masuk ke dalam masalahnya jika June membiarkan lelaki itu terus dekat dengannya. Namun ... biarlah, jikalau semesta marah karena luka yang bertaut bersama, setidaknya sesama luka bisa memahami satu sama lain.

"Jangan bersedih di bulan ulang tahunmu, June. Berbahagialah, karena aku selalu di sampingmu."

***

Bersambung

Bandung, 16 September 2023
Arusha, Kana, Rara.

June: Happy Birthdie ✓ SEGERA REVISIWhere stories live. Discover now