BAB 5: Rumah

23 2 0
                                    

Tidak ada kata selain bersyukur pada Tuhan. Tidak ada rumah yang pantas disinggahi selain kembali kepada Tuhan. Dan, sekarang aku tahu rumah yang sesungguhnya harus aku tempati. Yaitu dirimu yang menunggu kepulanganku. —Juan Akbar Juniandara.

***

SANGAT pagi sekali Juan sudah menjemput June untuk berangkat sekolah. Lelaki itu tidak bicara apa pun selain diam dan terus mengacuhkan semua pertanyaan dari June. Gadis itu bingung dan tidak tahu apa kesalahannya. Padahal, semalam hubungan mereka masih baik-baik saja. June tidak mengerti.

Masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum bel jam pelajaran pertama berbunyi. Juan mengajak pacarnya itu ke taman sekolah membahas sesuatu. Lelaki itu menatap June dengan serius, kemudian menghela napas dan mengembuskannya kasar.

“Kenapa nggak pernah cerita?” Mendapatkan pertanyaan itu, June terlihat bingung dan tidak mengerti. “Kenapa kamu nyimpen luka itu cuma sendirian? Aku ini apa June? Ayo jawab!”

Gadis itu melongo, tidak mengerti dengan semua ucapan Juan. June juga tidak paham apa maksud dari kata ‘menyimpan luka’. Otaknya berpikir keras menemukan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan Juan kepadanya.

“Aku nggak paham, Juan. Maksud kamu itu apa?”

Juan memeluk June. Mengeratkan pelukan dan mengusap punggung gadis itu lembut. Tidak pernah ia sangka, pacarnya itu memiliki sebuah masalah yang cukup besar. “Aku tahu semuanya, Sayang. Kenapa kamu nggak cerita?”

Sekarang June paham. Bukan berarti ia tidak ingin bercerita kepadanya. Hanya saja ia menunggu momentum yang pas. Ia tidak pernah sama sekali ingin menutupi semuanya kepada Juan. “Maaf.” Satu kata yang keluar dari mulutnya.

“Nggak apa-apa. Aku paham, kamu hebat, Sayang. Tapi, lain kali cerita sama aku ya?”

June mengangguk. “Aku nggak mau kamu kepikiran. Aku nggak mau jadi beban kamu. Karena dengan gini aja aku udah nyusahin kamu, Juan.”

Memang dasarnya June itu perasa, air matanya menetes tiba-tiba. Gadis itu sudah tidak kuat sekarang, ia sudah tidak bisa menampungnya sendirian. Hatinya sudah rapuh dan tidak bisa diobati lagi.

“Mama kamu dah kelewatan. Kenapa kamu nggak laporin aja ke polisi?”

June menatap Juan serius. “Nggak. Aku nggak mau mama di penjara. Aku nggak punya siapa-siapa lagi, Juan.”

“Jadi, kamu nggak anggap aku?”

“Bu-bukan gitu! Tapi—”

Shut! Aku paham, kamu sayang banget, kan, sama Tante Airin? Kamu baik banget, June. Seharusnya mama kamu menyayangi kamu.”

June tersenyum getir. Sungguh ironis sekali hidupnya ini. Jika tidak ada Juan, mungkin ia sudah mengakhiri hidupnya sejak dahulu. Karena memang ia tidak kuat dengan semua jalan takdir Tuhan. Bukan hanya itu saja, ia juga sempat meracuni dirinya dengan berbagai cara. Salah satunya mengkonsumsi racun. Namun tetap saja, pada akhirnya Airin memarahi June dan memaki dirinya.

“Kemarin malam, pas banget kamu masuk. Aku denger mama kamu teriak-teriak.” Juan menatap June sendu. “Di situ aku beneran kaget, karena yang aku tahu Tante Airin nggak pernah nyakitin kamu.”

June tersenyum, mencoba tertawa walau air matanya tidak bisa membohongi siapapun yang melihatnya. Ia sudah lelah, ingin istirahat sebentar saja bisa?

“Anak tidak tahu diuntung!”

June pura-pura tidak mendengar, padahal dalam hati kecilnya ia berteriak. Harus sampai kapan ia menjalani hidup dengan siksa yang luar biasa menguras jiwanya? Jika boleh memilih, June tidak ingin dilahirkan ke dunia ini. June tidak ingin lahir dari mama dan ayah yang tidak bertanggung jawab.

“Sudah Mama bilang, pulang tepat waktu. Kamu susah banget dikasih tahunya!” Airin menatap tajam ke arah June yang tertunduk lesu.

“Ma, June cuma telat sedikit. Lagian June pergi sama Juan.”

Airin menarik rambut milik gadis itu. “Jawab aja terus! Kapan kamu nurutnya sama Mama!” Kemudian membanting gadis itu ke lantai.

June meringis kesakitan, kakinya bergetar hebat. Tubuhnya sudah tidak kuat untuk berdiri tegap. Ia hanya berharap mama mengakhiri semuanya.

“Aku belum pulang June di situ. Masih dengerin mama kamu ngomel. Maf ya, semua ini gara-gara aku, maafin aku June.”

Juan merasa bersalah atas semua peristiwa yang sudah June alami kemarin. Ia hanya tidak percaya dengan semua sikap gadis itu selama ini. June tidak pernah menampakkan kesedihannya selama ini. Gadis itu pandai menyembunyikan rasa sakitnya tanpa orang lain tahu. Tuhan, hamba berjanji akan selalu bersama June. Sampai kapanpun.

“Udah ya, jangan sedih lagi. Ada aku di sini yang bisa dengerin semua keluh kesah kamu. Biarin aku jadi salah satu orang yang paling beruntung bisa ada di dalam sebuah perjuangan kamu.”

“Jangan pernah merasa sendirian. Karena Tuhan, aku, dan diri kamu sendiri ada nemenin kamu.”

Kring! Kring! Kring!

Bel berbunyi nyaring. Mereka berdua akhirnya beringsut dan segera bergegas pergi ke kelas. “Ayo masuk. Air matanya hapus dulu. Jelek tahu kalau lagi nangis itu. Senyum dong.”

Refleks June mengusap wajahnya. “Apaan sih! Modus banget!”

“Nah gitu dong, kan, cantik pacar aku.” June tersenyum malu. Tetapi ia sangat bahagia karena Juan bersama dengannya.

***

Bersambung

Bandung, 15 September 2023

Arusha Nagara

June: Happy Birthdie ✓ SEGERA REVISIWhere stories live. Discover now