BAB 12: Kabut Bulan Juni 2

14 1 0
                                    


"Aku, kamu dan kisah hujan yang pilu."

***

Kanvas semesta tertutup oleh gelap awan menghitam yang sepertinya akan mendatangkan hujan yang besar. Angin yang berembus kencang menusuk kulit, membuat setiap orang yang tidak mengenakan pakaian yang hangat merasa beku. Itulah Minggu pagi pada hari ini. Minggu yang kelam, dingin dan menyeramkan.

June saat ini sedang bersiap, mengenakan pakaian terbaiknya dan menyiapkan jaket yang akan menghangatkan tubuhnya. Ia tatap dirinya dari pantulan cermin kaca, merapikan beberapa helai rambut yang terlihat belum rapi. Ia melirik jendela, dilihatnya langit yang menghitam akibat awan yang menutup jejak cahaya yang menerangi manusia.

"Apa mau hujan, ya?" June bermonolog, seraya melihat langit dengan seksama. Ia menggosok kedua tangannya, dingin yang menembus kukit benar-benar terasa menyiksa. "Kok makin dingin, sih?" gerutunya.

Ponsel yang awalnya tergeletak di kasur ia raih dengan cepat, mengetikkan rangkai kata kepada Juan.

June:
Juan, kamu di mana? Jadi ke luar nggak?
Juannnn

June berdecak kesal ketika pesan tersebut dibaca oleh pihak yang diberi. Alhasil, June mencoba menelepon lelaki tersebut.

Satu kali ... dua kali ... tiga kali ....
Hingga pengulangan ke dua belas, telepon tersebut tak diangkat. June mengentakkan kakinya sebal. Ada apa dengan Juan? Tak biasanya lelaki itu lama dalam membalas pesan yang ia kirimkan.

Hari ini, Juan mengajak June untuk meluangkan satu hari bersama untuk merayakan kemenangan raja dan ratu sekolah. Lelaki itu menjanjikan June untuk pergi bermain dan bersenang-senang. Membeli es krim, menaiki wahana, jalan-jalan menggunakan motornya hingga bercerita tanpa satu detik pun berhenti.

June mengambil jaket yang ia letakkan sembarang di kasur, kemudian beranjak pergi tak memedulikan hal lain lagi. Ia berdiri di depan rumah, melihat rintik hujan yang mulai mengguyur bumi dan angin yang lumayan kencang membuat June terpaksa nekat menerobos hujan tersebut dan membawa payung.

Tapak yang ia langkahi terasa begitu berat, rasanya satu langkah saja seperti menggendong beberapa anak di pundaknya. Angin yang menerjang membuat June sekuat tenaga menjaga keseimbangan tubuhnya. Ya, ini semua demi janji Juan.

***

"Juan, ini cara ngerjainnya gimana?" Jasmine bertanya dengan nada kebingungan.

Juan melirik soal yang dikerjakan Jasmine. "Ah, itu. Kalau diketahui log 2 adalah 0,301 dan log 3 adalah 0,477. Maka nilai log 60 ... itu kamu pecah dulu, Jasmine."

"Iya, udah tapi nggak bisa. Aku pecah log 20+log 3."

Juan tergelak. "Jasmine, diinget lagi dong, kita harus nyari pemecahannya berdasarkan angka yang diberi. Log 2 sama log 3. Jadi hitung aja jadi log 2+log 3+log 10. Log 10 itu satu, 'kan. Udah, tinggal jumlah aja itu semuanya."

"Oalah, bisa, ya. Kasih contoh lagi coba."

Ketika Juan sibuk menjelaskan, Jasmine melirik ponsel milik lelaki tersebut. Dilihatnya sebuah notifikasi yang memunculkan pesan dari June. Akibat fokus Juan pada materi yang ia ajarkan, Jasmine mengambil alih ponsel Juan. Ia matikan data selulernya, kemudian membuang benda pipih yang memiliki case hitam itu secara sembarang. Jasmine tidak peduli pada apa yang akan terjadi jika ia melakukan hal terdebut. Intinya, biarlah dia egois untuk hari ini saja. Membiarkan Juan menjadi miliknya seutuhnya dan menghabiskan waktu bersama. Alih-alih belajar, Jasmine lebih menikmati kedekatannya dengan Juan dan memilih untuk mengganggu lelaki itu.

Jasmine membatin, kamu milikku untuk hari ini, Juan.

***

Hujan deras yang mengguyur membuat June akhirnya menepi di sebuah halte bis. Ia rapikan gaunnya yang kusut, menutup payung dan mulai menata kembali penampilannya.  Ia ambil ponsel dan juga cermin dari tasnya. Ia meluruskan rambut yang sedikit basah dan menjadi tak beraturan akibat angin bercampur air mengenai rambut hitam legamnya.

June
Kamu udah sampai belum?
Kamu ini ada di mana?

Tak ada balasan. Hawa dingin menusuk pori-pori. Tak peduli pada jaket yang dikenakan oleh June setebal apa, ia masih terasa kedinginan. Kakinya yang basah dan kotor akibat tanah yang menciprat mengenai area kaki. Gadis itu melipat dirinya, memeluk kedua lengan dan menggosoknya.

"Juan ...." Ia merintih. "Juan, kamu di mana?" Gadis itu kembali memanggil.

June terdiam, menengadah ke langit. Apakah Juan lupa? Mustahil! Atau Juan sedang tidak ingin ke luar karena hujan? Mungkin, tetapi tidak! Juan selalu menepati janjinya.

Ia tunggu dengan sabar hujan yang terus mengguyur tanah hingga intensitasnya berkurang. Tangan yang putih ia ulurkan kepada rinai hujan yang membasahi telapak tersebut.

"Semesta ... apakah kamu tak setuju kami berbahagia bersama?"

Dari kejauhan, tampak sosok Jian yang datang dengan motornya, lengkap dengan mantel cokelat polos menutup dirinya dengan helm untuk melindungi kepala. Ia datang, menghampiri sosok yang tampak seperti June dari kejauhan.

"June!"

Sang empunya nama refleks menoleh ke arah sumber suara. "Jian?"

Motor dipinggirkan, dimatikan lantas sang pengemudi datang menghampiri June yang menarik diri dan duduk di kursi tunggu. "Kamu mau ke mana, June?"

"Mau ke luar."

Jian berkacak pinggang. "Iya, tau. Maksudku, kamu mau pergi ke mana?"

June menjawab dengan tenang, "Mau cari angin, Jian."

"Cari angin?" Nada Jian meninggi. Lelaki itu membulatkan mata tak oercaya atas penuturan tersebut. "June, hari ini anginnya aja sekencang ini, loh. Kamu di kamar aja udah kerasa anginnya."

June menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal. Ia hanya bingung ingin menjawab dan berinteraksi seperti apa.

"Mau aku anter pulang aja?"

"Enggak!" tukasnya dengan cepat. "Aku ... aku mau jalan-jalan sama Juan."

Jian terkekeh, ia menggelengkan kepala tak percaya. "Oalah, mau sama ayang, toh. Emang dia di mana?"

"Enggak tau."

Awalnya, Jian ingin duduk dan bersandar di halte bersama June. Namun, baru saja ingin mendudukkan diri, Jian baru teribgat tujuannya kembali. "Eh, June. Maaf nggak bisa nemenin, aku ada urusan soalnya."

June mengangguk. "Iya, nggak apa, kok. Paling juga ... si Juan bentar lagi dateng."

Jian bergegas ke motornya, kembali lagi untuk melaksanakan perjalanan meninggalkan June sendirian di halte bis.

***

Tak terasa, puluhan soal sudah dicoba. Waktu menunjukkan bahwa saat ini sudah menjelang sore dan hujan mulai mereda. Jasmine sebenarnya ingin berlama-lama bersama Juan, tetapi kesibukan dan hal lain harus ia persiapkan.

"Terima kasih, ya, Juan. Kita pasti menang," seloroh Jasmine menuturkan dengan semangat.

"Pasti!"

Jasmine mengeluarkan ponselnya. "Foto dulu, yuk!"

Tanpa jawaban, Jasmine memotret keadaan mereka setelah selesai belajar. Lantas mengirimkan sebagai cerita atau story.

Melihat ponsel Jasmine membuat Juan sadar ke mana perginya ponsel miliknya.

Ketika sibuk memikirkan kata-kata untuk diposting, Juan tiba memekik kencang, "June!" Lelaki itu lantas bergegas pergi dan meninggalkan Jasmine yang terkejut di ambang pintu.

***

June yang dari tadi menunggu mulai lelah, terlebih setelah ia beberapa kali bersin. Ia mengeluarkan ponsel dan mengecek Juan. Masih tanpa jawaban.

"Juan ...."

Akhirnya, June memilih melihat-lihat postingan dan cerita temannya. Hingga sampailah pada milik Jasmine.

Belajar olimpiade dengan Juan si ambis!

June membeku di tempat, geming, dadanya begitu nyeri dan sesak. Mulutnya menganga seolah tak percaya, terkekeh miris dengan sebutir air mata jatuh tanpa aba-aba

Juan ... kamu berbohong.

***

Bersambung

Bandung, 22 September 2023

June: Happy Birthdie ✓ SEGERA REVISIWhere stories live. Discover now