BAB 16: Semesta sungguh tidak adil

12 1 0
                                    

Tidak ada yang abadi di dunia ini, semesta bahkan sering mempermainkan hidupku yang tak pernah kunjung membiru seperti air. Namun, semesta malah sebaiknya. Ia hanya memberikan warna merah dalam jiwa, api yang membakar semua rasa dan hati untuk jangkah lama.

***

Tidak ada jalan yang dapat June tempuh malam ini. Dinginnya malah membuat tubuh mungil itu memeluk tubuhnya erat. Menghangat jiwa yang sedang terombang-ambing karena takdir Tuhan. Gadis itu tidak tahu lagi harus pergi ke mana. Satu-satunya orang yang ia percaya kini telah hilang tidak peduli lagi dengan dirinya.

Kakinya yang melemas membuat June terduduk di tepi jalan meratapi nasibnya yang sangat buruk. Air matanya mengalir sejalan dengan rasa gundah di dalam hatinya. Ia mengusap air mata itu dengan segera. Langit di malam hari ini tidak menarik untuk ia pandang. Langkahnya kini tidak sesuai dengan tujuannya. June kembali duduk dan menyenderkan kepalanya pada tiang lampu jalanan yang sangat terang.

"Harus ke mana?"

Frustrasi. Gadis itu cukup bingung dengan hidupnya. Kenapa Tuhan selalu memberikan jalan yang sulit, padahal ia sendiri sudah berusaha menjadi pribadi yang baik.

"Nggak ada yang peduli! Nggak ada!"

Tangisnya makin pecah. Bersamaan dengan itu, suara knalpot membangunkannya dalam keheningan malam. June tidak tahu siapa yang kini berdiri di hadapannya. Seorang lelaki berjaket hitam mengenakan helm menatapnya tidak beralih. June tidak takut, bahkan ia berharap lelaki itu membawanya pergi dan ia pasrah dengan hidupnya.

"Siapa kamu?!" Pertanyaannya June tidak digubris oleh lelaki itu.

"SILAKAN BAWA AKU PERGI! BUNUH SAJA AKU SEKARANG JUGA!"

Gadis itu berteriak. June tidak peduli disebut gila oleh semua orang. Karena ia benar-benar sudah lelah dengan hidupnya yang penuh rasa sedih.

June malah menghampiri lelaki itu dan menyerahkan dirinya. Ia tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Gadis itu benar-benar ingin mengakhiri hidupnya.

"CEPAT BAWA AKU DAN BUNUH AKU SEKARANG JUGA!"

Kepala gadis itu berkunang-kunang, June memegang kepalanya dan merasakan nyeri yang luar biasa. Detik berikutnya tubuh gadis itu ambruk dan tidak berdaya. Hidung gadis itu mengeluarkan darah segar membuat lelaki itu menjadi panik.

***

"Saudara June memang pasien tetap di rumah sakit ini. Dia secara rutin secara check up dan menjalani terapi." Dokter muda itu menatap ke arah lelaki yang telah membawa June ke rumah sakit.

"Maksud Dokter?"

Dokter itu sedikit ragu, kemudian menghela napasnya dan memejamkan mata. "June penderita leukimia. Umurnya tidak akan lama lagi. Sudah hampir satu bulan ini dia tidak datang untuk check up, kami juga tidak tau kenapa penyebabnya."

Gadis itu terbaring lemah, wajahnya pucat, tubuhnya tampak kurus. Memang layak dikasihani, June memang layak untuk dikasihani orang. Karena apa? Karena memang hidupnya sangat miris.

"Kalau boleh tahu Anda siapanya June?"

Pertanyaannya dari dokter membuat lelaki itu diam beberapa saat, sampai akhirnya ia menjawab dengan sedikit ragu. "Ka-kakanya, Dok."

"Oh, syukurlah. Tolong diperhatikan lagi ya, adiknya. June perlu perhatian lebih dari keluarganya."

"Baik, Dok."

Setelah mengucapkan kalimat itu, dokter keluar meninggalkan June bersama lelaki misterius. Tidak disangka, gadis itu membuka matanya perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, kemudian matanya jatuh pada seorang lelaki sedang menatapnya dengan bingung.

"S-siapa kamu?" tanya June takut. "Di mana ini?" Ia langsung berontak dan memeluk tubuhya.

"Tenang-tenang. Saya tidak akan menyakiti kamu, tenang ya."

June masih tetap waspada. Bagaimanapun ia tidak mengenali lelaki ini. "Saya Jevan." Lelaki itu menyodorkan tangannya. Namun, June tetap diam. "Hm, nggak apa-apa. Sekarang kamu ada di rumah sakit."

Lelaki bernama Jevan itu duduk di sebelah June kemudian mengambil segelas air dari atas nakas. "Minum dulu," titahnya. June meraihnya dengan pelan. "Nama kamu siapa?"

June masih diam. "Nama kamu siapa?" Pertanyaannya keduanya kali yang Jevan ucapkan.

Gadis itu menundukkan wajahnya. "J-June."

"June?" Ia mengangguk. "Cantik banget namanya. Kayak orangnya." Seketika gadis itu langsung menatap Jevan.

Lelaki itu mencoba lebih mengenal June. Berusaha membuat gadis itu tenang dan memancingnya untuk bercerita. "Saya ini orang yang semalam di jalan, kamu ingat?" June berpikir cukup lama, setelah ingat ia mengangguk. "Saya liat kamu nangis dari jauh, makanya saya datang. Tapi kamu malah makin nggak terkendali. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"

Pertanyaan tiba-tiba itu membuat June bingung. Apa yang harus ia jawab? "Nggak apa-apa, Kak."

Lelaki itu menatap June sekali lagi. Melihat apakah jawaban June berbohong atau tidak. Namun, ternyata jawaban gadis itu tidak benar. June sedang berbohong. Untuk membedakan ucapan seseorang itu sedang berbohong atau tidak cukup mudah. Kalian lihat saja matanya jelalatan atau tidak saat ditanya. Jika iya berarti benar berbohong, jika tidak berarti ia jujur.

"Bohong." Jevan berusaha membuat June jujur kepadanya. "Jujur aja, saya tau kamu sedang dalam masalah."

Akhirnya air mata June luruh, gadis itu menitikan air matanya dan isak tangis mulai terdengar. "Jangan nangis, June. Kamu bisa cerita kalau memang butuh teman curhat. Tapi kalau nggak mau juga nggak apa-apa."

June memantapkan dirinya, perlahan tapi pasti ia menceritakan kisah hidupnya kepada lelaki itu. Menjadi pendengar yang baik, Jevan sedikit menyesal karena memaksa June bercerita semuanya. Ia menjadi iba, dan bisa merasakan penderitaan gadis itu selama hidupnya.

"Kakak boleh peluk, June?"

Tanpa ragu June mengangguk. Peluk hangat itu sangat nyaman di tubuhnya. June merasa pulang ke rumah yang selama ini ia cari. Rumah yang selalu ia tunggu kehadirannya. Rumah yang ingin ia singgahi selamanya dengan bahagia.

Tangis gadis itu pecah. June tidak bisa mengendalikan emosi dan perasaannya. Ia sudah terlanjur sakit dan tidak tahu obat mana yang bisa menyembuhkannya.

"June kuat, Kakak yakin June bisa!" Kata penyemangat itu membuat sebuah senyuman melengkung di bibirnya. June hanya bisa berterima kasih kepada Tuhan, karena sudah mempertemukan dirinya dengan sesosok malaikat di dalam hidupnya.

"Makasih banyak ya, Kak. June nggak tau lagi harus cerita sama siapa. June juga udah nggak punya tempat buat pulang. Semuanya pergi ninggalin June." Suaranya masih parau, suaranya sedikit tercekat. Gadis itu kembali mengeluarkan air matanya. Ia sudah tidak sanggup memendam kesedihan ini sendirian.

"Nggak usah bilang makasih. Ada Kakak, sekarang Kakak adalah rumah buat June."

Walaupun Jevan terbilang orang baru di hidup June. Ia bisa merasakan bahkan lelaki itu tulus dengan dirinya. Tuhan bolehkan aku berharap ini tidak akan abadi? Aku tidak ingin lebih jauh lagi masuk dalam permainan menyakitkan ini.

"Kak, tolong rahasiakan penyakit June, ya? Kakak pasti udah tau semuanya, kan?" Jevan menatap gadis itu, terpaksa ia mengangguk supaya June bisa tenang.

"Iya, June."

June: Happy Birthdie ✓ SEGERA REVISIWhere stories live. Discover now