9. Pertolongan Travis

151 18 1
                                    

"Bantu gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bantu gue." Suara itu hampir tidak terdengar, padahal ruangan tersebut cukup sepi.

"Suara lo terlalu kecil. Lebih keras lagi!"

"Sialan!" Vicky menatap murka sang lawan bicara. Namun, bukan Ricky namanya kalau tidak menanggapi dengan santai. "Bantu gue, Ricky."

Alis tipis Ricky bertaut heran. Wajahnya yang tirus terlihat sengaja memperlihatkan kebingungan. Padahal Vicky yakin kalau cowok itu pasti senang bukan main melihatnya datang dan meminta tolong. Vicky sendiri mati-matian meruntuhkan ego dan rasa gengsi untuk datang menemui Ricky ke kamarnya.

Kejadian itu berlangsung tadi sore sebelum Vicky berbicara dengan Winata. Dia hanya mencoba mengingat lagi bagaimana dirinya menahan rasa malu. Sebab, untuk pertama kali seorang Vicky memohon pada seseorang. Apalagi orang itu adalah Ricky.

Melihat reaksi Ricky yang biasa saja, setelah kaget sebentar, Vicky menahan geram. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Sementara Ricky duduk dengan tenang di tepi kasurnya. Bahkan mulai merampas vape di atas meja belajar, lalu menghisap pelan benda itu. Seakan-seakan kehadiran Vicky tidak terlihat.

"Ricky!" teriak Vicky, tak peduli jika asisten rumah tangga menghampiri mereka. "Gue minta tolong baik-baik, tapi sikap lo begini?"

"Coba minta lebih lembut lagi, memohon. Kalau perlu, berlutut dan merangkak di depan gue, Bangsat."

"Jangan gila! Lo pikir gue mau melakukan itu?"

Ricky mengedikkan bahu sesaat. "Ya, terserah lo aja. Kalau nggak ada lagi yang mau lo bicarakan, gue pergi. Urusan gue banyak, nggak bisa ngeladenin lo terus."

Saat Ricky hendak beranjak, Vicky dengan segenap rasa kesal, menghilangkan egonya lagi. Seorang Vicky Jihanne Winata benar-benar berlutut di depan Ricky, kalau merangkak, tidak. Andai saja ada orang yang melihat, pasti harga diri Vicky sudah jatuh terperosok. Bahkan saat itu harga dirinya juga sudah jatuh di depan Ricky.

Gadis berbando putih itu berlutut, kedua tangannya terkepal di atas paha. Sorot matanya hanya fokus pada satu titik; Ricky. Sementara lelaki beralis tersayat itu segera mengubah posisi duduk, yang tadinya menyilangkan kaki, kini ia membuka keduanya lebih lebar. Ricky menunduk sesaat, memamerkan senyum seringai penuh kemenangan. Padahal Vicky sangat membenci reaksi itu.

"Memohonlah!" titahnya.

Iblis! Vicky memaki pemuda itu. Tak menyangka kalau sekarang dirinya kalah oleh orang yang dibencinya. "Bantu gue menghadapi Papa dan bantu gue di sekolah. Gue nggak mau dirundung anak-anak sialan itu."

"Vicky, kalau meminta tolong harus pakai kata 'tolong'. Cepat, gue pengin dengar dari bibir lo dan ucapkan dengan nada selembut mungkin. Gue nggak suka cewek ngomong kasar."

Untuk sesaat Vicky menggeram murka. Kebencian demikian kentara dari wajahnya. Namun, satu-satunya orang yang bisa melindungi di sekolah, ya Ricky. Mau tidak mau, dia harus patuh.

Vicky-Me√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang