17. Teror

154 18 0
                                    

Sudah lebih dari lima menit gadis itu duduk di atas penutup toilet

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Sudah lebih dari lima menit gadis itu duduk di atas penutup toilet. Gigi-gigi kecilnya menggigit kuku sendiri seiring dengan peluh yang menetes deras. Degup jantungnya makin menjadi saat pesan-pesan anonim itu mampir ke bar notifikasi ponsel. Kakinya yang terbalut sepatu kets putih pun bergetar seketika rasa takut datang menghampiri.

Selain Debby, Travis, dan Ricky, siapa lagi yang mengetahui kondisi Kana? Pesan-pesan itu berupa teror yang membuat Vicky tidak fokus hari ini. Foto-foto Kana yang terbaring di rumah sakit, video kekerasan, dan bahkan foto keluarga Kana yang terlihat bersedih di depan ruang inap rumah sakit. Semuanya mengingatkan Vicky dengan kekerasan yang telah ia perbuat.

“Siapa yang melakukan ini?” gumam Vicky.

Syukurlah suara di balik bilik toilet sudah menghilang. Sekumpulan anak-anak itu sudah keluar dari kamar mandi. Tak ingin menanggapinya lagi, Vicky memilih menyimpan ponsel. Pesan teror itu datang silih berganti sejak ia datang ke sekolah. Sebab itulah seorang guru menegurnya karena tak fokus pada kegiatan belajar-mengajar.

Vicky berdiri di depan cermin wastafel. Memandang wajahnya yang kecil dan entah sejak kapan sudah pucat pasi. Guyuran air mungkin akan membuatnya sedikit tenang, jadi ia memutuskan untuk membasuh muka. Meski demikian, wajah Kana yang babak belur kembali terbayang.

“Kana sial—argh!” Jeritan itu mengudara merdu di kamar mandi. Tepat di belakang pantulan wajahnya di cermin, terlihat wajah Kana yang babak belur, hancur bersimbah darah. “Lo ... pergi!”

Aku nggak akan pergi. Kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus diadili, Vicky. Kamu harus dihukum.

Suara Debby makin gencar memenuhi kepala dan telinga Vicky. Ia menutup telinga kuat-kuat sambil menggeleng. Bersamaan dengan rasa takut yang kian memuncak, gadis itu bergerak mundur hingga punggungnya membentur tembok. Sosok yang dihadirkan oleh kamuflase matanya pun segera hilang.

Napas Vicky menderu hebat, tubuhnya terasa lemas seketika. Haruskah dia mendengarkan perkataan Ricky? Bahwa ia harus meminta maaf pada Kana dan keluarganya. Namun, bagaimana dengan Winata? Bagaimana nasibnya jika keluarga Kana melapor kepada pihak berwajib? Vicky akan menjadi tahanan di usia belia? Tidak! Vicky tidak menginginkan itu.

Tak mau lagi berada di kamar mandi karena takut akan ‘sosok’ yang dihadirkan halusinasinya. Gadis bertubuh ramping itu menyeret langkah di sepanjang koridor. Beberapa siswa melirik dengan jijik. Tentu Vicky tak heran, mereka semua sudah melihat video kekerasan yang membuat Vicky dicap sebagai musuh semua orang di Trisakti. Mana ada yang mau berteman dengan tukang risak? Padahal mereka semua tak sadar sudah merisak Vicky.

“Itu Vicky!” Suara familier itu membuat Vicky mengangkat wajah. Lizzy terlihat berdiri di depan kelas. Tak sendiri, melainkan bersama Travis dan Juanda. “Hei, lo ke mana? Kita nyari lo dari tadi.”

“G-gue dari kamar mandi. Ada apa?”

“Kok, ada apa? Travis nyari lo karena lo belum makan siang. Ayo, makan siang bareng!” ajak Lizzy sambil menggandeng Vicky.

Vicky-Me√Where stories live. Discover now