Bonus Chapter 1.

254 19 0
                                    

—SELAMAT MEMBACA

Peluh menetes dari wajah Vicky yang dihiasi jejak lebam di beberapa titik. Tubuh kurusnya tertelan selimut. Alis dan kening gadis itu bergerak-gerak. Barangkali ia tengah dihampiri mimpi mengerikan. Ricky duduk di tepi kasur, menyeka keringat di dahi Vicky sesekali. Kemarahan hinggap demikian cepat tatkala menyadari bahwa itu adalah ulah Travis.

Tentu saja Ricky tahu. Andai Justin tidak bersedia mengiakan permintaan Travis untuk membawa Vicky kembali, entah bagaimana Ricky harus mencarinya. Syukurlah, Justin dengan senang hati menyerahkan Vicky langsung kepada Ricky. Selama gadis itu menghilang, Erlita menangis sehari semalam. Sikap sang ibu sudah seperti ibu kandung bagi Vicky.

"Mama nggak mau Vicky merasa sendirian, Ricky. Sekarang papanya ditahan dan dia menghilang, Mama takut terjadi hal yang nggak-nggak."

Ricky masih mengingat perkataan Erlita kala itu. Kini setelah Vicky sempat mengungkapkan isi hatinya tadi, lalu beristirahat pasca kepulangannya dari rumah Travis dan menerima 'hukuman', gadis itu makin terlihat rapuh. Sebab, memang begitulah jati diri Vicky.

"Lo keterlaluan, Travis," gumam Ricky sambil mengepalkan tangan.

Puncak kemarahannya akan segera datang. Ia mengabari Travis, memintanya untuk bertemu. Namun, tak ada respons. Hampir saja Ricky mengumpat, tetapi tidak ... ia harus menahan diri.

Ricky menatap wajah kecil Vicky, lagi. Wajah yang terlihat menahan sakit. Tak tega melihat wajahnya lagi, Ricky beranjak untuk segera keluar kamar. Namun, ketika Vicky bergumam, ia menahan langkah.

"Papa ... Mama ...."

Kepalanya bergerak-gerak resah. Bibirnya terus menggumamkan dua kata yang sama. Kerutan di dahi gadis itu makin jelas. Refleks, Ricky menyentuh punggung tangannya. Memberikan usapan kecil agar gadis itu bisa tenang.

"Gue di sini, Vicky dan gue akan membalas apa yang mereka lakukan ke lo," ucap Ricky dengan suara pelan.

Pada akhirnya, ia tetap di sana. Duduk di tepi ranjang seraya menemani Vicky yang masih tertidur. Mengusap lembut punggung tangan itu dengan ibu jarinya. Saat ini Vicky benar-benar sedang terjatuh. Keangkuhan dan rasa beraninya seakan-akan telah menghilang. Ricky memejamkan mata dan menatap lamat-lamat wajah kecil Vicky. Jari telunjuknya menyingkirkan anak rambut yang terjatuh pada pipi gadis itu.

"Sampai kapan kamu akan duduk di situ, Ricky?"

Suara Erlita membuat Ricky menoleh singkat. Mamanya entah sudah sejak kapan berdiri di belakangnya. Saking fokus pada Vicky, ia sampai tak sadar mamanya ada di sana.

"Sebentar lagi," jawab Ricky.

"Mama nggak tahu kenapa kamu sangat menyukainya. Namun, Mama berharap kamu nggak melalukan hal bodoh karena perasaanmu itu."

"Hal bodoh? Maksud, Mama?"

"Hal-hal yang bisa membahayakan kamu dan Vicky. Kalian berhak untuk menjadi lebih baik. Kalau kamu benar-benar menyayanginya, maka pelan-pelan, bantu dia menjalani hidup yang lebih baik, Ricky."

"Aku pun nggak mengerti bagaimana menjadi lebih baik, Mama."

Tanpa Ricky tahu, Erlita tersenyum lembut di belakangnya. Wanita itu menyentuh pundak sang anak. "Setelah ini jika Vicky bersedia, kita bisa hidup bertiga. Menjalani hidup yang lebih baik dari biasanya."

Ricky kehilangan kata-kata. Kedua matanya sibuk menatap wajah kecil Vicky. Tangannya menggenggam erat jemari gadis itu. Semoga saja Vicky bersedia. Jika tidak, maka Ricky tetap akan bertahan. Ia akan menjaga Vicky, selalu menjaganya. Entah  Vicky akan menganggapnya sebagai saudara tiri atau tidak, bagi Ricky itu tak masalah. Asalkan ia bisa berada di sisi Vicky.

Vicky-Me√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang