30. Rumah Kedua (END)

284 24 10
                                    

Dua puluh, dua lima, atau mungkin tiga puluh? Vicky lupa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dua puluh, dua lima, atau mungkin tiga puluh? Vicky lupa. Namun, yang jelas hari itu adalah hari pertama ia pindah ke LPAS—Lembaga Penempatan Anak Sementara. Kabarnya orang tua Kana tetap kukuh ingin melihat Debby dan Vicky dihukum sesuai dengan alur pengadilan. Bukti video kekerasan Vicky pun mulai tersebar luas. Hal itu menarik simpati masyarakat, khususnya terhadap Kana. Kini dirinya dan Debby berseliweran di sosial media dan berita. Kasus perundungan yang lagi-lagi membuat masyarakat geram.

Anak-anak yang seharusnya belajar, bermain, dan hidup sebagaimana usianya, tetapi malah membuat kekacauan dengan cara menyiksa anak-anak lain. Sampai detik itu Vicky tak merasakan apa pun. Debby dikunjungi orang tuanya setelah penahanan di kantor polisi, sementara dirinya tidak. Mana bisa? Papanya juga sedang melewati proses peradilan. Sementara Tsania? Entah, Vicky tak tahu kabarnya.

“Mulai sekarang di sinilah rumah baru kalian. Kalian akan menjadi keluarga di sini dan akan dipindahkan nanti ke LPKA setelah proses sidang kalian selesai.” Seorang petugas memberi arahan.

Pun sudah berjam-jam Vicky melewati proses pendaftaran. Mulai dari registrasi, penggeledahan, sampai proses lainnya yang memakan banyak waktu. Kini mereka siap dipindahkan ke Blok Admisi dan Orientasi selama 15 hari, sesuai dengan penuturan pria di hadapannya. Hari itu ia bersama Debby, dan sepuluh orang lainnya diberangkatkan ke LPAS.

Mereka ditempatkan dalam ruangan yang berisi masing-masing empat orang. Semua berhak mendapatkan tempat yang layak. Ranjang, pakaian, buku pelajaran—sebab katanya bakal ada pendidikan formal juga, dan fasilitas lain yang mereka dibutuhkan. Sebagian dari anak-anak itu adalah anak SMA dan SMP. Vicky dan Debby menempati satu ruangan yang sama, dua orang lainnya adalah gadis SMA, barangkali kelas 12 atau sebaliknya. Entah, yang jelas muka mereka lebih judes dari Vicky.

“Gue nggak nyangka kita bakal punya rumah baru,” ujar Debby sesaat setelah mereka digiring menuju ruangan masing-masing. Debby duduk di tepi ranjang seraya menatap Vicky yang merapikan bantal. “Orang tua gue sedih banget, tapi mereka pasti akan mengusahakan yang terbaik buat kita.”

“Kita?”

Debby mengangguk takzim. “Gue udah meminta papa untuk bantu lo juga.”

“Yang bener aja, Deb. Ortu lo hari itu jelas-jelas marah karena gara-gara gue, lo terlibat.”

“Mereka nggak marah lagi begitu menyadari gue mengakui melakukan aksi itu atas keinginan sendiri.” 

Setelahnya Vicky tak bersuara. Diam-diam merasa kasihan pada Debby yang seharusnya tak menanggung hukuman bersama dirinya. Kini semua sudah terjadi dan tak ada cara untuk mengubah apa pun. Vicky hanya berharap ia segera dihukum dan melewati masa hukumannya sesegera mungkin.

“Gue nggak apa-apa, Vicky. Ini memang harus gue pertanggung jawabkan. Paling nggak, gue melewati ini sama lo. Gue ada teman di sini,” cetus Debby.

“Lo senang masuk Lapas?”

Vicky-Me√Where stories live. Discover now