19. Kebenaran Hari Itu

136 17 2
                                    

Akhir pekan yang dinanti oleh Vicky akhirnya tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Akhir pekan yang dinanti oleh Vicky akhirnya tiba. Padahal dia dan Debby sangat akrab. Namun, entah mengapa Vicky merasa agak gugup untuk bertemu. Mungkin juga karena mereka akan membahas Kana kembali. Vicky menyadari kesalahannya telah menjadikan Kana sebagai korban bully. Akan tetapi, mengapa Debby tiba-tiba ingin menjelaskan kejadian hari ‘itu’, apa mungkin dirinya memang pelaku?

Setelah selesai merapikan rambut yang dikuncir longgar, Vicky keluar dari rumah. Ia mengendap-endap karena Winata sedang di rumah. Walaupun papanya mengurung diri di ruang kerja dari kemarin. Vicky tak ingin mengganggu—takut tidak diizinkan pergi lebih tepatnya. Sehingga sekarang dia memilih mengendap keluar.

“Nggak usah mengendap-endap seperti itu. Papamu tahu kalau kalian akan pergi.”

Suara Erlita membuat tubuh Vicky menegang. Ia nyaris mengumpat, lantas berbalik menatap wanita itu. “Ricky yang mengadu, ya?”

“Tentu saja Ricky yang bilang ke Mama kalau kalian akan pergi hari ini. Jadi, Mama sudah bicara sama Papamu. Katanya kamu akan menemani Ricky membeli sesuatu, ya? Sudah Mama bantu izin ke Papamu, Vicky.”

“Pergi sama Ricky?” Vicky bergumam sebentar. Padahal dia akan pergi sendirian, tetapi saudara tirinya malah membuat kebohongan.

“Sana berangkat, biar pulangnya nggak terlambat. Mama ke dapur dulu.”

Sepeninggal Erlita dari hadapannya, Vicky hanya bisa membisu di tempat. Ucapan Ricky tentang Erlita kembali memenuhi ingatan gadis berambut panjang itu. Wanita bodoh! Sudah tahu Winata sering main tangan, tetapi masih saja bertahan. Tsania bahkan memilih pergi.

Vicky berdecak jengkel. Lagi dan lagi merasa berterima kasih pada Ricky dan Erlita. Baiknya dia memang mulai menerima bantuan mereka, kalau tidak ... maka dia sendiri yang harus menghadapi Winata. Kedua kaki ramping Vicky langsung bergegas keluar dari rumah.

Sesuai dugaan, Ricky sudah menunggu di depan rumah. Duduk di atas motor seraya menyodorkan helm pada sang saudara tiri. Sebetulnya Vicky malas mengajak Ricky, tetapi sudahlah, dia tidak lupa dengan janji untuk mempertemukan Debby dan cowok itu.

Berselang lima detik berikutnya, Ricky membawa motor keluar dari area rumah. Melintasi jalanan sepi kompleks perumahan, bersama Vicky yang duduk di boncengan. Mereka tak banyak bersuara, terlebih Vicky. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Debby ... apa yang akan gadis itu katakan? Setelah sekian minggu bahkan hampir satu bulan menghilang, Debby justru datang sendiri menawarkan pertemuan.

“Ah, Sialan! Jangan ngerem mendadak, dong.” Vicky memukul helm Ricky karena barusan dibuat kaget. Ia  bahkan maju dan meremas keras kedua pundak cowok itu.

“Sori, lampu merah. Pegangan kalau lo nggak mau kaget lagi.”

Tanpa menjawab cowok berwajah tirus itu, Vicky memegang kedua pundaknya. Lampu merah berganti dengan sorot sinar hijau yang sedikit redup. Ricky kembali menarik gas dan berkendara dengan kecepatan lumayan.

Vicky-Me√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang