Perih

574 52 5
                                    

Pagi ini kedua kantung mata April nampak menghitam..
Tak cukup tidur semalam karena kejadian itu terus terbayang di benak April, sudah beberapa kali Tio melakukan hal itu dengan orang lain tanpa memikirkan perasaan April. Mungkin pernikahan ini hanya sebuah peran, tapi bisakah pria itu melakukannya di tempat lain? Tidak di rumah ini, dimana ada Theo dan juga April di sini.
"Mbak Tuti!" Panggil April kepada ARTnya yang sibuk mencuci piring bekas sarapan pagi, sementara April duduk di kursi makan sama sekali belum menghabiskan sarapannya.
"Ya Bunda?" Mbak Tuti berbalik badan, tingkah lakunya cukup mencurigakan sedari pagi seolah menghindari tatapan April.

Padahal sebelumnya, April tak pernah menaruh rasa curiga kepada ART yang sudah lama bekerja untuk Mami tersebut. Mbak Tuti pula yang banyak membantu setelah April melahirkan Tio.
"Mba Tuti tahu kalau Ayah sering bawa perempuan malam-malam ke rumah ini?" Tanya April langsung, tak ingin berbasa-basi dan benar saja wanita itu langsung terdiam tertunduk.

"Tahu, Bunda." Jawabnya singkat, terlihat gelagatnya merasa bersalah. Meskipun April paham Mbak Tuti hanya tak ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga majikannya.
"Kenapa nggak bilang, Mbak? Mbak Tuti tahu 'kan ada Theo di rumah ini? Kalau tiba-tiba Theo kebangun malam-malam terus liat Ayahnya gimana?" Ujar April sedikit meninggikan suaranya.

"Maaf, Bunda! Tapi Mami sudah pesan, kalau ada apa-apa, Mbak Tuti nggak boleh bilang apa-apa dan nggak boleh ikut campur. Mbak Tuti cuman ikut apa yang disuruh aja." Jawab wanita itu dengan nada suara yang semakin pelan, mungkin khawatir jika hal seperti itu akan membuatnya kehilangan pekerjaan. Karena semua hal dikendalikan oleh Mami dan juga Tio.
April hanya bisa menghembuskan nafas kasar, ia hanya memikirkan Theo. Pagi ini saja, Tio tak kunjung bangun alhasil Mbak Tuti yang mengantar Theo pergi ke sekolah menggunakan sepeda motor.
"Ya sudah, buatkan Ayah sarapan pagi! Sebentar lagi dia pasti bangun." Kata April tak ingin berdebat, Mbak Tuti hanya mengangguk lalu membuatkan sarapan untuk Tio.

Tak lama kemudian, pria itu keluar dari kamarnya menuju ruang makan tanpa April sadari. Tiba-tiba saja mengambil duduk di hadapan April dengan rambut acak-acakan dan mengenakan jubah tidur, hanya jubah tidur yang mengganggu pikiran April dan mengingatkan dirinya akan kejadian semalam.

"Kamu nggak pernah anter-jemput Theo lagi." Akhirnya April membuka suara, sementara Tio hanya fokus pada sarapannya karena kepalanya masih terasa sakit dan juga perutnya lapar.
"Aku sibuk." Jawabnya singkat.
"Sibuk bawa perempuan ke rumah ini-"

Prank!

April langsung terdiam saat Tio membanting sendok dengan kasar, Mbak Tuti yang berada di halaman belakang juga terkejut mendengarnya.
"Kemarin yang mau nikah siapa? Kamu mau nikah buat apa? Buat Theo 'kan? Aku mau bawa siapa aja ya terserah aku! Kalau kamu nggak mau nikah ya nggak apa-apa juga, Theo aku yang urus!" Bentak Tio, April masih diam seraya menutup matanya. Takut kalau-kalau Tio melayangkan pukulan kepadanya, tiba-tiba terdengar suara decitan kursi. Pria itu pergi begitu saja..
Sebenarnya Tio tidak ingin kasar, tapi ia masih cemburu kepada April dan Surya yang nampak akrab. Seolah Tio bukanlah suaminya yang harus dihargai.

Tio kembali ke kamarnya meninggalkan April, hari ini rasanya ia tak ingin pergi ke kantor dan lebih memilih untuk berdiam diri di dalam kamar. April yang masih berada di meja makan akhirnya tak mampu menahan air matanya, bulir bening itu mengalir begitu saja meski tidak diiringi isak tangis. April menghusap kasar wajahnya saat Mbak Tuti masuk ke dalam rumah menuju ruang makan.
"Bunda nggak apa-apa?" Tanya Mbak Tuti yang khawatir melihat April menangis setelah suara piring yang cukup kencang tadi.
"Nggak apa-apa, Mbak. Saya mau ke kamar dulu, Mbak beresin meja makan aja!" Kata April lalu berdiri menuju kamarnya.

Di dalam kamar, April hanya bisa terduduk di meja rias sembari menatap pantulan dirinya di cermin. Tiba-tiba saja saat ia bersedih, ponselnya bergetar. April mengambil benda yang tergeletak di atas meja rias dan melihat ke arah layar, lalu menggeser layar sembari memperbaiki suaranya karena sempat menangis.

"Halo, Pril! Kamu dimana?" Suara yang telah lama April rindukan setidaknya membuat hatinya sedikit lega dan membuat ukiran senyuman di bibirnya.
"Aku di rumah, kenapa?" Sahut April.
"Ayok ketemuan, aku lagi di kotamu nih!"
"Oh, ya? Lagi ngapain ke sini?" Tanya April.
"Ada acara keluarga, aku lagi di cafe. Ke sini bisa nggak? Nanti aku shareloc!"
"Bisa, bisa! Oke aku kesana!"

April mematikan sambungan telepon, buru-buru ia berganti pakaian dan sedikit merias wajahnya agar menutupi bekas tangisannya. April segera menyambar tasnya setelah memesan ojek online yang sudah ada di depan rumah, saat April keluar rumah ia melihat Mbak Tuti masih ada di halaman belakang rumah dan tak melihat Tio. Masa bodoh dengan pria itu, April lalu keluar rumah tanpa pamit kepada siapa pun.
Menuju sebuah kafe dimana sahabat baiknya sedang menunggunya di sana, setidaknya ia bisa melupakan kejadian semalam dan pagi ini yang membuatnya sedih.

Tiba di kafe yang dituju, Nita sudah berada di sana menyambut April. Mereka berpelukan dan tak henti-hentinya tersenyum lebar, beberapa bulan tak bertemu akhirnya mereka bisa bertemu di sela kesibukan April yang kini sudah menjadi Ibu Rumah Tangga dan Nita yang sibuk menjadi seorang pengacara.
"Kenapa nggak bilang kalau ada di sini?" Tanya April saat mereka duduk berdua.
"Ini sih aku sempet-sempetin aja untuk ketemu kamu, mau nanya kabar kamu baik-baik aja nggak? Soalnya kata Ibu kamu, kamu udah nikah. Dan yang bikin aku heran, kenapa kamu malah nikah sama dia? Orang yang udah ngehamilin kamu." Cecae Nita, wanita itu sedari dulu memang tidak memiliki filter di mulutnya.

Membuat April berubah raut wajahnya menjadi kembali sedih.
"Mau gimana lagi? Dia juga Ayahnya, kalau aku nggak nikah sama dia, dia bakal ngambil Theo. Aku nggak bisa apa-apa kalau keluarga besarnya yang ngatur segalanya." Kata April berusaha tersenyum, Nita yang mengerti kondisi April hanya bisa menghela nafas.
"Tapi dia berubah nggak? Masih kayak dulu?" Tanya Nita.
April menggeleng lemah, "dia memang nggak berubah, dan parahnya dia cuman nganggap pernikahan ini kayak seni peran. Kelihatannya aja di luar kita berdua kayak pasangan suami-istri, tapi di rumah kita kayak orang nggak kenal." Jelas April.

"Ya bagus dong, berarti dia nggak berbuat sesuka hatinya sama kamu. Tapi kamu dinafkahin 'kan tinggal di rumah itu?"
Kali ini April mengangguk, "iya dinafkahin sih, tapi saking jauhnya kita berdua sekarang. Dia suka bawa perempuan ke rumah kalau malam." Ucap April, ia tak tahu harus berbicara dengan siapa. Hanya teman-temannya lah termasuk Nita yang bisa April percayai sedari dulu.

"Hah? Dia masih kayak gitu juga? Nggak berubah." Nita hampir tak percaya, April hanya tersenyum kecut berusaha menahan air matanya.
"Fix kamu harus cerai sih, Pril!" Kata Nita berusaha memberi saran.
"Nit, aku nggak punya apa-apa buat ngebahagia'in Theo. Kamu tahu itu!" Balas April.
"Biarin Tio rawat anaknya karena itu tanggung jawabnya, lagian kamu juga sudah cukup lama rawat Theo mulai dari anak itu lahir. Theo pasti bakalan inget sama Bundanya kalau dia besar nanti, dan bakal paham sama keadaan Orang Tuanya gimana." Kata Nita meyakinkan.

"Tinggalin atau kamu yang akan hancur lama-lama di rumah itu!"
Hal itu tentu saja membuat April merasa bimbang.


***

To be continued

18 Sept 2023

Om TioNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ