Kesepian

799 57 2
                                    

Tio duduk di halaman belakang rumah..
Menikmati kesendirian seperti yang dulu istrinya sering lakukan, duduk sendiri di tempat duduk yang sama. Brewok tipis mulai menghiasi dagunya, pria itu mulai tak terurus sekarang. Theo pulang dari sekolah mengambil minuman dari dalam kulkas, menyadari ada Ayahnya duduk di teras belakang sendirian tanpa siapa pun.

Theo menghampiri Ayahnya lalu duduk di samping pria itu, menegak minumannya hingga habis karena ia sangat haus. Hanya Theo yang menemaninya di rumah besar yang sepi ini, tanpa ada lagi wanita itu.
"Kapan Bunda pulang kerja?" Tanya Theo, sudah berbulan-bulan lamanya. Tio memberikan alasan kepada putranya bahwa Bundanya sedang bekerja jauh dari sini.

Namun sekarang Tio sadar, Tio tak seharusnya berbohong kepada Theo dan memberikan anak itu harapan bahwa Bundanya akan kembali.
"Bunda kerja jauh, dan nggak akan kembali lagi." Kata Tio, sesungguhnya Tio pun tak tahu dimana wanita itu sekarang. Bahkan kedua Orang Tua April pun tidak tahu dimana keberadaan April.

Hanya sebuah pesan singkat yang dikirim April kepada kedua Orang Tuanya yang memberitahukan bahwa dirinya baik-baik saja dan sekarang sedang bekerja di luar kota, yang tidak disebutkan dimana kotanya. Kedua Orang Tua April yang paham akan keadaan, membiarkan anaknya mencari jalannya sendiri, asal wanita itu bahagia.

"Theo bakal kangen Bunda!" Ujar Theo, Tio mengangguk sembari mengusap rambut Theo.
"Iya, Ayah juga." Sahutnya, berharap ada keajaiban dan wanita itu mengubah pikirannya kembali kepada Tio. Tapi sepertinya, beginilah akhir kisah cinta mereka. Tio tak lagi akan mengejar wanita itu atau mengurungnya, ini adalah hukuman untuknya dari wanita itu.

Walaupun selamanya akan Tio lakukan, karena selamanya saja belum tentu bisa menebus semua kesalahan Tio kepada April.
"Mandi, ganti baju, terus makan siang!" Kata Tio yang segera diangguki oleh Theo, anak itu sekarang hanya memiliki Ayahnya, dan ia harus menuruti perintah Ayahnya karena itu adalah pesan terakhir April kepada Theo.

"Yah, ada orang di luar!" Tiba-tiba Mbak Tuti menghampiri Tio.
"Siapa?" Tanyanya.
"Enggak tahu, laki-laki. Pakaiannya rapi." Tukas Mbak Tuti.
Tio lalu berdiri menuju pintu utama, berdiri seorang pria mengenakan kacamata dan berpakaian rapi. Bersalaman dengan Tio dan memperkenalkan dirinya, seorang pengacara yang menyodorkan sepucuk surat yang tidak Tio sangka akan menerimanya.

"Dimana dia?" Sontak Tio bertanya seperti itu, tapi pria itu hanya tersenyum.
"Maaf, klien kami tidak memberitahu keberadaannya. Dia hanya datang ke kantor untuk meminta kami mengurus berkas perceraian." Kata pria itu, sungguh melihat namanya dan nama Tio sendiri, membuat Tio merasa lemah tak berdaya.

Jemarinya terasa bergetar memegang lembaran kertas itu, masih tak percaya jika wanita itu benar-benae meninggalkannya.
"Kalau Pak Tio keberatan dengan gugatan ini, terpaksa kami membawa semua bukti ke pengadilan. Tapi kalau tidak, Pak Tio langsung tanda tangan saja. Akte cerai akan kami kirimkan beberapa hari kemudian." Jelas pria itu, Tio tak mempersilakan pria itu untuk masuk ke rumahnya.

Mereka berdua hanya berdiri di ambang pintu.
"Bukti apa?" Tanya Tio, nadanya mulai sinis. Tapi ia berusaha mengatur emosinya karena bayangan April masih ada di kepalanya.
"Klien kami memiliki bukti berupa kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan sampai pernikahan yang hanya dilandasi keterpaksaan." Tukasnya.

Dalam hati Tio sadar itu bukanlah April yang ia kenal, April tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Itu hanyalah sebuah gertakan agar Tio mau bercerai dan tidak mencarinya lagi. Lagi pula, dengan atau tanpa semua tuntutan itu, Tio tetap akan mengikuti kemauan April termasuk bercerai. Ia sudah bilang akan menanggung hukumannya meski selamanya sekali pun.

"Nggak perlu repot-repot, mana pulpennya? Langsung saya tanda tangan aja." Kata Tio, pria itu memberikan pena kepada Tio. Meski hatinya berkata tak ingin menandatangani surat cerai itu, dan tubuhnya juga seolah tak mengijinkan jarinya untuk menorehkan tinta di atas kertas itu, pada akhirnya Tio harus berani melakukannya.

"Sudah." Kata Tio menyerahkan lembaran kertas itu kembali, perasaannya sekarang seolah perih. Seperti ada yang menusuk ke arah jantungnya, namun sayangnya Tio harus bersikap tegar dan tegar di hadapan semua orang. Pria itu membereskan berkas-berkasnya kemudian pamit pergi, melihat tas yang dibawa oleh pria itu, rasanya Tio masih tidak rela jika surat cerainya akan segera diproses dan semuanya akan berakhir.

Ia tertunduk lesu sembari menghembuskan nafas kasar, menyesal tentu saja.
Bahkan ia tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Theo tentang perpisahan Ayah dan Bundanya, Theo pasti akan mencari Bundanya dan bertanya mengapa wanita itu melakukannya.

Tio menaiki tangga menuju lantai atas, membuka pintu kamar Theo dan mendapati anaknya sedang duduk di meja belajar entah mengerjakan apa.

"Bikin apa?" Tanya Tio, duduk di sebelah Theo.
"Bikin kolase." Jawab Theo, menggunting sebuah kertas warna-warni menjadi potongan-potongan kecil yang ditempel di sebuah gambar rumah.

"Tugas sekolah?" Tanya Tio, pria kecil itu menggeleng.
"Bukan, buat mainan aja. Bosan di rumah nggak ada Bunda." Sahut Theo. Ya, Tio juga merasakannya setelah kepergian April. Rumah ini terasa sepi dan sunyi seolah kehilangan jantungnya, seolah hampa tanpa ada detakan jantung meski ada empat orang yang tinggal di rumah sebesar ini.

"Bunda sama Ayah sudah pisah!" Ujar Tio secara tiba-tiba, Theo menjatuhkan guntingnya ke atas lantai karena terkejut mendengar hal itu. Tio yang paham jika anaknya terkejut, memungut gunting yang terjatuh lalu memberikannya kembali kepada Theo.
"Kenapa?" Tanya Theo, awalnya Tio tak mau menjawab. Tapi lama-kelamaan Theo pasti akan tahu dan Tio pikir akan lebih baik memberitahunya sekarang saja.

"Bunda sudah nggak mau sama Ayah, Bunda sudah pergi jauh."
"Karena Ayah suka mukul Bunda, 'kan?" Theo memotong omongan Tio, dan hal itu berhasil membuat Tio terdiam. Ia tak mengelak, tak juga membenarkan perkataan Theo barusan. Karena memang benar adanya.

Kedua mata Theo terlihat berair, seolah air mata masih menumpuk di pelopak mata dan akan segera mengalir membasahi pipinya.
"Maaf, Ayah nggak bisa bikin Bunda menetap di rumah ini." Hanya itu yang bisa Tio katakan, ia lalu meninggalkan Theo sendirian di kamarnya begitu saja. Tak mampu melihat anaknya sedih karena kesalahannya.

Ini adalah benar-benar hukuman yang pantas ia terima, pikirnya.
Apa yang Tio rasakan saat ini tak lebih sakit dari pada yang April rasakan dulu, sekarang atau pun besok. Luka itu masih ada tersimpan di hatinya, dan Tio sendiri tidak akan bisa menghapus luka serta semua kesalahannya kepada April.

***

To be continued

1 Okt 2023

Om TioWhere stories live. Discover now