05

4.4K 71 6
                                    

Squatjump untuk melatih kelincahan dan otot paha. Aku mulai menekuk kaki seperti orang duduk, lalu melompat. Disaat melompat, aku melirik ke arah Doni. Ia sibuk membidik tubuhku dengan kamera. Lalu mendarat dengan kedua kaki. Kulakukan lagi, kali ini kubusungkan dadaku agar pantulan buah dadaku lebih terlihat. Entah senakal apa aku dimatanya, tapi ini semata-mata apakah Doni pria yang profesional atau tidak.

"Sudah cukupkah!?" Aku bertanya ke Doni.

"Mnnnn,, kayaknya,,," ucap Doni. Namun aku tak menunggu jawab Doni. Aku langsung berlari kearah Doni untuk melihat hasilnya. Aku mau sedikit bereksperimen dengan menempelkan buah dadaku sendikit ke tubuhnya. Aku berada di sampingnya lalu sedikit membungkuk.

"Mana lihat!?" Paksaku.

Aku merasakannya, buah dadaku menyentuh pundak Doni ketika aku membungkuk. Hanya tiga detik sebelum aku kembali menjauh. Doni memperlihatkanku beberapa Foto hasil jepretannya. Aku tak peduli hasilnya, namun ketika aku menunduk untuk melihat lebih dekat, aku melirik celana Doni. Ternyata,,, memang benar aku melihat tonjolan itu. Tidak cukup besar namun aku belum bisa memastikan.

"Sekarang apa lagi ya!?" Aku bertanya pada Doni.

"Back Up dan Pull Up," Doni mengingatkan.

"Mnnn,,, oke." Aku kembali ke posisiku setelah meletakan alas untuk berbaring. Lalu aku mulai berpose. Entah kenapa? Poseku semakin nakal, Terutama saat Sit-Up aku sengaja membusungkan buah dadaku, sehingga tonjolan itu membentuk sempurna tubuhku. Belum lagi ketika Back-Up, aku sengaja berlama-lama menungging untuk berbaring tengkurap. Dengan begitu aku bisa menguji nafsu dari Doni itu sendiri.

"Sudah! Gimana hasilnya," aku langsung melompat dan mendekat Doni

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sudah! Gimana hasilnya," aku langsung melompat dan mendekat Doni. Tanpa sadar, aku melingkarkan tanganku di lehernya sehingga buah dadaku mengenai pundaknya. Entah kenapa? Aku semakin terbuka padanya.

"Bagus juga hasilnya, selain sebagai atlit, kamu berbakat juga jadi model." Doni memujiku. Ternyata, yang selama ini kupikirkan salah. Doni ternyata enak diajak ngobrol. Terbukti suasananya cair seperti ini.

"Terus selanjutnya?" Tanyaku.

"Sudah, katanya mau Sit-Up sama Back-Up." Ujarnya.

"Oh, oke." Aku kembali ke alasku setelah meletakkan kamera di meja taman. Lalu tanpa diperintah lagi, Doni duduk di lututku untuk menahan beban tubuhku yang akan melakukan Sit-Up. Lagi-lagi, aku mencium aroma parfum yang khas dari tubuhnya. Aroma yang membuatku betah berlama-lama. Tak pelak, konsentrasiku semakin berkurang karena aroma itu. Wajahku terhanyut dalam keremangan yang selama ini tak pernah kurasakan. Entah kenapa, aku semakin nyaman berada di dekat Doni. Bahkan beberapa kali mata kami saling bertemu pandang. Aku tak sadar bahwa buah dadaku beberapa kali menyentuh tubuhnya. Namun semua itu tersamarkan begitu saja.

"Seratus." Ujar Doni yang membantuku menghitung.

"Huaaahhh,,, selesei juga." Keluhku. Doni bangkit dari tubuhku. Entah kenapa? Doni melemparkan sebotol air mineral kepadaku. Mungkin ia tahu bahwa aku sedang kelelahan. "Terima kasih."

"Setelah ini, Back-up kan?" Tanyanya. Tubuhku bergidik ketika mendengar Doni yang mengatakan itu. Tetapi inilah pembuktiannya, aku harus membuktikan sendiri bahwa ia tertarik padaku atau bukan. Tinggal masalah cinta saja, aku selama ini tak pernah benar-benar tertarik dengan cowok karena mereka bagi segerombolan kurcaci mesum yang mengincar buah dada dan lekuk pinggangku.

"Mnnn,,, iyah, ayohh!" Ungkapku sembari menungging. Sesaat aku merasakan Doni sudah tak sabar ingin menunggangiku. Ia menunggu tubuhku untuk tengkurap.

Lalu,,,

Yang benar saja, tonjolan yang kemarin tak kuperhatikan—kembali kurasakan. Walau tidak terlalu besar. Aku mencoba untuk cuek dengannya.

"Satu,,,dua,,,tiga,,," Doni mulai menghitung. Aku jadi tak fokus untuk latihan, beberapa kali aku coba untuk merasakan sesuatu yang menempel di bongkahan pantatku. Namun semakin kuangkat, tonjolan itu semakin menekanku. Wajahku meremang merasakan sesuatu yang belum sekalipun aku bayangkan. Karena tubuhku besar dan tenagaku kuat. Doni kewalahan dengan gerakan Back-up itu. Belum lagi, getaran suara Doni membuatku semakin salah tingkah. Ketika Sit-up, suaranya tak seperti itu. Kini ia seperti mendesah seakan menahan sesuatu.

"Empat sembilan, lima puluh,,, lima sa—," suara Doni berhenti karena aku menghentikan Back-up.

"Haaahhhh,,, bentar, istirahat dulu." Yang anehnya, Doni tak beranjak dari badanku. Aku menopang badanku dengan lengan dan menyesap seteguk air mineral. Sembari merasakan sesuatu yang aneh di bawah sana.

"Ayok, terusin, lima puluh kali lagi." Perintah Doni.

Aku kembali tengkurap dan merasakan sesuatu dibagian bongkahan pantatku. Sangat hangat dan bergerak-gerak. Seakan Doni menggerakan pinggulnya dan menggesekannya di pantatku. Tetapi, apa enaknya seperti itu.

Aku kembali melakukan Back-Up. Namun kali ini, aku melakukannya secara malas, sangat pelan dan tak niat. Karena fokusku tidak disitu, tetapi di bongkahan pantatku yang mungkin sedang dikerjai oleh Doni. Ketika aku bergerak, sulit merasakan gerakan pinggul dari Doni, tetapi ketika aku berhenti. Doni yang mungkin sedang ngaceng itu berusaha menggesekan batang kejantanannya ke arah bongkahan pantatku.

"Mnnnppffttt! De—lapan tihh—gaa." Doni tersentak, entah apa yang dia rasakan sekarang. Aku tetap melancarkan back-up untuk menutupi semuanya. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang berkedut tadi di bagian bongkahan pantatku. Aku takut untuk mengungkapkan, bahkan tak ada rasa jijik atau apapun, yang ada hanyalah rasa penasaran.

Tiba-tiba,,,

Gluduuuukkk!!! Ssssrrrrrrrr!!! Hujan deras tiba-tiba mengguyur. Aku heran, kenapa Doni masih saja duduk disitu. "Hehhh,,, hujan, cepat neduh." Ungkapku sembari menunggingkan pantatku, sehingga tubuh Doni tersentak dan kesadarannya kembali. Doni seperti orang linglung yang tak tahu apa-apa.

"Itu bawak kameranya!" Teriakku sembari membawa tas dan beberapa peralatan kami. Hanya ada satu tempat berteduh, yaitu lubang prosotan anak kecil yang berbentuk tabung. Cukup besar untuk dimasuki oleh orang dewasa. Kami berdua memasuki lubang itu tanpa harus berbasahan lagi.

"Kameranya tak apa!?" Tanyaku.

"Mnnn,,, eh,,, tak apa!?" Ucap Doni yang masih linglung dan dengan nada getaran bicara yang sama.

"Eh, kamu kenapa!?" Tanyaku penasaran karena Doni sepertinya menyembunyikan sesuatu. Wajahnya memerah dengan kaki tertekuk di tubuhnya.

Gluddduuuukkkk!!! Duaaarrrr!!!

"Huaaaahhhhh!!!" Doni berteriak dan menutup telinganya. Kedua kakinya dirapatkan untuk melindungi tubuhnya. Memang, hujannya meraung cukup deras disertai angin yang menerpa. Untuk tempat teduh kami cukup tertutup. Lubang perosotan cukup luas sehingga tak membuat kami sesak.

Aku tak yakin bahwa seorang cowok takut dengan suara petir. "Heh, Don, itu cuma petir." Ungkapku sembari menepuk lengan Doni dan mencoba menyadarkannya.

Duaaarrrrr!!!

Entah salah aku atau bukan? Karena aku merenggangkan kedua tangannya. Doni melompat kearahku dengan memeluk pinggangku. "Heh,,, tenang Doni itu cuma petir!" Kataku sembari meronta. Posisi dudukku yang dengan lutut tertekuk kebelakang membuat tangan Doni dengan mudahnya melingkat disana. Namun sepertinya, ini bukanlah akal-akalan. Ia benar-benar ketakuan, pelukannya keras dan jemarinya mencengkeram kausku. Hal itu tak memungkiri bahwa buah dadaku tersentuh oleh wajahnya. Cukup lama, ia di dalam posisi itu.

Duaarrrrr!!!

MIRAMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang