25

2.6K 52 2
                                    

"Duhhh!" Aku mengeluh karena aku gagal menerima Spike ringan dari Riska. Riska adalah Spiker cadanganku.

"Ayo Mira, kau harus bisa menerimanya." Ungkap Rosa menyemangatiku. Sudah lima hari aku dilatih untuk menerima bola Spike. Namun aku selalu gagal menerimanya.

"Rosa!" Suara Melly terdengar. Semuanya selalu diam ketika Melly berteriak. "Beritahu Mira caranya."

Rosa dengan enggan menggantikan posisiku. Ketika bola datang, Rosa berhasil menerima bolanya dan bola itu melayang di udara tepat dihadapan net, sehingga Tosser lebih mudah untuk mengumpankan bola. "Posisimu harus lebih condong kedepan seperti ini!"

Namun, tubuhku masih terlalu tinggi ketika aku mencondongkan tubuhku. Lalu Pak Rama mencoba untuk memberikannya pengarahan untukku. "Ini, kamu harus sering-sering melakukan gerakan senam seperti ini."

Aku melihat gambar seseorang yang sedang kakinya split dan tubuhnya tertekuk ke depan. Mungkin mudah baginya, namun untuk tubuh setinggi aku, hal itu mustahil jika kulakukan sendirian. Sehingga mau tak mau aku harus meminta bantuan.

"Baiklah, latihan cukup untuk pagi ini." Seru Pak Rama. "Besok kita akan libur dan sampai ketemu hari Senin."

====
Krriiiiiiinnngggg!!!

Bel tanda usai sekolah telah berbunyi. Semua berdiri dan bersemangat karena besok adalah hari Minggu. Saatnya untuk liburan, namun pikiranku tidak disana. Aku mengirim pesan WA ke Doni mengenai gambar senam lantai yang rumit itu.

"Katanya kamu harus lebih condong ke depan?" Jawab Doni melalui pesan singkatnya. Walau satu kelas, kami masih sembunyi-sembunyi.

"Ya, tapi senam seperti itu tidak bisa dilakukan sendirian." Ungkapku.

"Ya, nggak usah dipakai senam itu." Jawab Doni yang masih duduk di bangku depan dan aku dibangku paling belakang.

"Kamu mau bantu aku!" Pintaku.

"Nggak ah, kemarin aja sakit semua badanku." Ungkapku.

"Kalau begitu, aku minta bantuan Pak Rama aja ahhh,,, mungkin nanti malam dia mau melatihku! Secara pribadi." Godaku karena kesal karena Doni tak mau membantuku.

Doni terlihat kesal didepan sana. Dan aku tersengeh melihat kepalanya dihentakan ke meja. "Baiklah, lihat situasinya dulu." Ungkap Doni. Belum sempat aku membalas. Doni menambahkan, "Emangnya kamu boleh keluar malam."

"Boleh. Tapi nggak lebih dari jam sepuluh." Ucapku.

"Oke👍, kuhubungi nanti." Ujarnya.

"Eh,,, emang mau kemana?" Kirimku penasaran.

"Kalau nggak salah, nanti sore orang tuaku keluar rumah. Jadi rumah kosong." Ungkapnya.

"Kenapa harus nunggu kosong dulu baru aku diperbolehkan ke rumah." Geramku, namun. "Kamu pasti mau ngapa-ngapain aku kalau rumahmu kosong."

"Enggaklah!" Balasnya. "Nggak mungkin di taman. Taman ramai kalau malam."

"Akukan cuma ingin latihan, jadi nggak apa ditempat ramai." Aku kembali mengalihkan perhatiannya agar yang ia tak memikirkan hal mesum terus. Memang salahku karena terlalu terbuka padanya. Setiap malam, ia selalu menggodaku dengan lelucon dewasa yang membuatku merinding. Terkadang kami juga telponan sebelum tidur. Aku heran, suaranya ditelpon terlihat berat dan mendesis seperti ada sesuatu yang sedang dilakukannya sembari menelponku.

"Mnnn,, yaudah. Kamu siap-siap aja jam 5. Nanti aku pesan Maxim untuk menjemputmu." Ungkap Doni.

"Oke," jawabku singkat.

====
Malam itu, aku mempersiapkan semuanya. Aku sengaja memakai pakaian kasual agar ibuku tak curiga. Aku berdalih temanku berulang tahun, jadi kami sekelas diajak makan malam bersama dan aku berjanji akan tiba dirumah pukul sepuluh malam. Ibuku tak pernah cemas kepadaku karena ukuranku. Aku tidak seperti anak remaja pada umumnya.

Sebelum itu, aku mempersiapkan pakaianku. Dibalik jaket, aku memakai kaus katun yang biasa kupakai untuk berolahraga. Dan dibalik celana jeans, aku memakai hotpants legging setinggi paha. Tak lupa aku memakai sepatu volley yang baru kubeli.

Pesanan Maxim sudah datang dan driver sudah menungguku. "Aku dirumah sendiri. Jadi kita dirumah saja." Kata Doni sebelum aku membonceng.

Waktu masih menunjukan 16:45. Memang benar, berpacaran dengan Doni harus serba tepat waktu. Untunglah, aku tak begitu membutuhkan kosmetik atau riasan yang memperpanjang waktu.

Setelah sampai, aku cukup canggung ketika memasuki gerbang itu lagi. Namun sebelum aku mencapai gerbang. Doni membukanya. Ia mengintip sebentar, lalu melambai kearahku.

"Sini!" Panggil Doni.

Aku segera berlari dan memasuki gerbang. Lalu bertanya, kenapa ia seperti orang yang ketakutan. "Kenapa?"

"Mnnnn,,, tak apa." Katanya seraya menggeleng.

Kami memasuki rumah itu. "Eh, kamu mau langsung latihan?" Tanyanya.

"Mnnnn,,, gimana ya? Boleh? Biar nggak kemalaman nanti." Kataku berpikir.

"Kamu mau menggunakan baju dan celana itu." Ucapnya.

Aku tak menjawab, aku membuka jaketku dan melepaskannya. Entah apa yang ada dipikiran Doni. Aku mengenakan kaos tanktop tanpa lengan dan belahan rendah. Sebenarnya, pakaian ini cocok digunakan untuk dalaman. Namun entah kenapa? Sesaat sebelum pergi aku melepas kaos katunku dan menyisakan tanktop ini. Lalu aku membuka celana panjangku. Dan terlihatlah hotpants leggingku yang berwarna hitam.

Wajahku memerah padam ketika memperlihatkan tubuhku kepada Doni. Tapi ah sudahlah,,, ia sudah melihat semuanya.

"Mnnn,,, kenapa diam saja!" Panggilku karena Doni menatapku dengan pandangan aneh. Aku yakin ia berpikir macam-macam tentangku.

"Eh, iya. Kita ke balkon saja. Lantai dua." Ungkapnya.

Aku hanya menurut mengikuti Doni dari belakang. Doni membuka pintu kolam renang dan disamping kolam renang terdapat tangga putar ke lantai dua.

"Heh, yang. Kau tidak mengajakku berenang." Ungkapku sebelum menaiki tangga.

"Hmn,,, kamu mau berenang apa senam?" Ucapnya.

"Oh iya. Hehehehe." Aku menggumam. Lalu aku ingin sedikit menggodanya, "Eh, ingat nggak disinilah kamu melihatku menggunakan Bra seksi dan celana G-String itu."

"Eh, kamu sendirikan yang ngelihatin ke aku." Ujarnya.

"Iya sih, tapi aku lupa waktu itu!" Ungkapku seraya melihat balkoni terbuka dilantai dua. Sebenarnya tempat ini digunakan untuk menjemur pakaian.

"Lupa, kenapa nggak sekalian telanjang sekalian." Ucap Doni yang mulai berjongkok untuk membantuku.

"Telanjang," aku berjongkok juga didepannya. Lalu kulihat matanya dengan tatapan tajam. "Kamu mau melihatku telanjang?"

"Mnnn,,, ayo ce—cepet latihan!" Ujar Doni menyuruhku.

Gairahku untuk berolahraga seakan menghilang begitu saja. Aku lebih menginginkan mengobrol dengannya daripada berolahraga.

Aku menangkap kedua pipinya dan melihat matanya, sejenak ia tersipu malu. "Eh, serius aku ngomongnya?" Aku kembali menggodanya.

"Eh,,, kamu,,," Belum sempat dia berbicara, sekarang malah aku mengecup bibirnya.

"Mnnnnhhhh,,," aku mencari bibirnya. Namun sepertinya Doni masih terlalu naif untuk menolakku.

"Tu—tunggu. Ini mass,,," Tak akan kubiarkan Doni berkata-kata. Aku kembali mendekapnya dan mendorong tubuhnya agar berbaring.

"Mnnnn,,, ayaaaang." Desisku karena Doni masih ragu denganku. Entah kenapa? Jantungku berdegup kencang disertai rasa gatal di beberapa bagian tubuhku. Pikiranku melayang dan pandanganku membuyar. Kudorong tubuhnya sehingga ia berbaring. Aku dengan sengaja mengangkangi pinggangnya dan merasakan batang kejantanannya mulai mengeras di balik celananya.

"Mir, Mira!" Doni menepuk pundakku.

MIRAMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang