16

3.1K 60 5
                                    

Aku kembali merangkul dan mencekik lehernya. Kini pergelangan tanganku tepat di lehernya sehingga mau tak mau tubuhku begitu dekat dengannya. Suasana Mall yang sepi membuatku leluasa bercanda dengannya tanpa ada yang memperhatikan.

"Kau pasti berpikiran macam-macam?" Gerutuku.

"Tidak, auugggghhhh! Ampun, aku mau nanya aja?" Ucapnya memohon ampun. "Kalau talinya sejari seperti itu, apa tidak takut nyelip apa?"

"Apa kau bilang!?" ia berlari menjauh dariku.

"Eh, aku ini nanya serius. Dijawab donk!" Ungkapnya cengengesan.

"Itu namanya G-Strings." Jawabku pelan karena takut terdengar orang.

"Eh, apa?" Ucapnya memintaku mengulangi.

"G-String." Ulangku, "eh itu sebenarnya barang onlineku tertukar. Karena cukup bagus jadi kusimpan."

"Hmn,,, gitu, bagus juga bahan dan modelnya. Terutama model bagian belakangnya." Perkataan Doni semakin ngawur seperti itu.

"Apa kau bilang?" Geramku sembari mencekik lehernya.

"Emang nggak risih apa, ada yang nyelip-nyelip kayak gitu." Ia semakin menjadi-jadi.

Aku merasa, sudah tak ada lagi kecanggungan diantara kita. Lalu aku berbisik ditelinganya, "ya nggaklah, paling bulunya aja yang kelihatan."

"Hahahaha,,, masa' sih!" ia terkekeh sembari meronta agar aku melepaskan lehernya. Tingginya hanya sebahuku. Sehingga banyak orang mengira aku sedang bercanda dengan adikku.

"Kamu mau lihat nggak!?" Tantangku karena sedari tadi ia memancingku.

"Hmn,,, pasti bulunya lebat, hahahaha!" Godanya. Perkataan Doni membuat jantungku berdetak kencang dan darahku berdesir melewati leherku.

"Seriusan ini. Kemarinkan aku udah lihat punya kamu yang tegak. Sekarang kamu harus lihat punyaku!?" Bisikku tepat ditelinganya. Aku merasa tubuhku memanas ketika mengatakan itu. Darahku berdesir melewati ubun-ubun lalu mengalir cepat dan meleleh di selangkanganku. Rasa hangat dan gatal kini terngiang ngeri di selangkanganku.

"Gila kau, nanti dilihat orang!" Ucapnya gemetaran. Dari kalimatnya, ia sebenarnya ingin melihat, namun ia malu seseorang melihat kami. Suaranya juga bergetar seakan memendam sesuatu.

"Iya kita cari tempat yang sepi donk!" Bisikku lagi. Entah aku yang jahil atau apa? Tetapi pada dasarnya perkataan itu terungkap begitu saja, tanpa kusadari. Lalu kutarik Doni ketempat lorong pertokoan yang kosong, lalu terdapat sebuah pintu yang tertulis 'Pintu Darurat!'

"Eh, kamu mau ngapain?" Ujarnya meronta-ronta.

"Sudah dicucikan celana dalamku itu?" Tanyaku sembari mencekik lehernya agar ia menurut padaku.

"Arrrgghhh,,, su—sudah." Jawab Doni sekenanya karena ia harus mengikutiku. Sejenak kuperhatikan sekitar, tak ada seorangpun yang melihat. Lalu aku memasuki pintu yang langsung terhubung dengan tangga ke atas dan sebuah pintu disebelah pintu masuk yang bertuliskan Jonitor, atau tempat biasa para cleaning servis menaruh perlengkapan kebersihannya.

"Cepat, mana celana dalamku!" Tegasku menerka. Doni seperti ketakutan melihatku seperti ini. Aku juga tak tahu, kenapa aku berkata seperti itu padanya. Aku seperti bukan diriku yang selalu tertutup dan tak tahu menahu soal hal tabu. Namun kini aku berubah menjadi diriku yang berbeda.

Tangan Doni bergetar ketika mengeluarkan sebuah kantung dari tas ranselnya. Aku sempat ragu, namun hasratku ingin sekali memakainya sekali lagi. Padahal Doni tepat berada di hadapanku. Aku memakai rok sebatas lutut bermodel airflow sehingga mudah saja aku menyingkapnya.

"Cepat pakailah!" Ungkapnya sembari membalikan tubuhnya.

Aku langsung menurunkan celana dalamku. Lalu, "bukannya kamu ingin melihat bulu-buluku?" Ungkapku sembari menyampirkan celana dalamku ke pundaknya.

"Idih,,, apa ini!?" Doni terkejut dan menyingkirkan celana dalamku sehingga terjatuh di lantai.

"Hihihihi,,," aku terkekeh pelan karena takut ada yang mendengar kami. "Makanya sini dong!" Godaku sembari menepuk pundak dan menariknya agar ia menghadap ke aku. Iapun menurut saja, namun wajahnya tetap berpaling dariku.

"Eh, ayok, lihat!" Godaku. Perlahan ia menatapku, namun tidak dibagian bawah. Wajahnya memerah padam karena malu. Namun tatapan itu membuat darahku berdesir. Seakan tubuhku menginginkan sesuatu.

Perlahan aku mengalungkan celana dalam G-String itu ke salah satu kakiku. Lagi-lagi Doni memalingkan wajahnya karena sebenarnya tak pantas ia melihatku. "Ihhh,,, kamu ini! Katanya kamu mau lihat!" Geramku sembari mendorong pundaknya ke bawah, sehingga ia terjongkok lesu.

Lalu aku mengalungkan kedua kakiku ke lubang celana dalam G-String berwarna merah dengan bagian belakang berupa tali sejari. Sensasi itu kembali muncul ketika aku melihat tatapannya mulai terpana menatap kedua kakiku. Kunaikkan perlahan agar ia lebih tergoda—apalagi aku melihat jakunnya yang bergerak keatas, serta keringat tipis dikeningnya.

Tiba-tiba,

Pintu lantai diatas kami terdengar suara. Terdengar dua orang yang sedang bersenda gurau sembari sembari menuruni tangga.

"Lewat sini saja! Lebih cepat!" Suara pria terdengar dari atas. Kami kebingungan, aku melihat sebuah pintu dibelakang Doni. Dipintu itu terdapat jendela kaca yang terlihat gelap karena tak ada pencahayaan di dalamnya. Kuangkat lengan Doni sembari membuka pintu itu. Ternyata pintu itu tak terkunci. Kulihat ruangannya cukup sempit karena terdapat beberapa peralatan kebersihan di dalamnya. Aku kini masuk duluan. Doni yang panik tidak sempat berdiri. Alhasil ia terduduk dilantai dan aku berdiri tegak tepat didepannya.

Kucondongkan tubuh kedepan agar tak terlihat dari jendela kaca bening yang tertempel di pintu. Condong kedepan karena aku takut mengenai sesuatu dibelakang dan terjatuh sehingga keberadaan kami ketahuan.

Lalu,

Derap langkah kaki itu terhenti. Jantungku seakan berhenti berdetak dan nafasku tertunda untuk beberapa saat.

"Ini, punya siapa!?" Ungkap salah satu dari mereka. Aku teringat celana dalamku yang kupakai tadi terjatuh dilantai, sedangkan G-String masuk berada di pergelangan salah satu kakiku.

"Eh, mungkin punya tennant yang ketinggalan." Jawab pria lainnya.

"Tu—tunggu dulu, kalau ini punya tennant, kok kayaknya bukan barang baru. Mana basah lagi," ungkapnya. Aku mendengar suara dengusan dari mereka.

"Ini bau, tempat yang basah kok enak banget ya? Jangan-jangan ini," kata mereka. Telingaku terasa sensitif karena mendengarkan percakapan dua pria yang tepat berada di depan pintu tempat Aku dan Doni sembunyi.

"Iya bener, pasti ada yang mesum disini!" Ungkapnya. "Ini untukku aja!"

"Eit, aku dulu yang nemuin." Pria satunya merebut. Aku sempat geli karena mendengar mereka memperebutkan celana dalamku. Namun pendengarkanku seakan menghilang berganti dengan suara detak jantung. Pandanganku memburam dan nafasku menghangat. Kedua kakiku bergetar dan pinggangku terasa gatal. Yang benar saja, aku merasakan wajah Doni—terutama bagian hidungnya sedang menekan selangkanganku. Walau tertutup oleh rok, tetapi rok itu terlalu tipis untuk menahan tekanan itu. Tanpa sadar, kedua kakiku agar melebar dan pinggulku menekan mendekati wajah Doni.

Doni sepertinya juga melakukan hal yang sama. Ia seperti terbius oleh aroma yang menguar disana. Wajahnya menekan dan bergerak kekiri dan kekanan seakan mengikuti gerak pinggulku. "Mnnnnnn,,," aku mendesah lirih dan panjang mengikuti aliran darahku yang menaiki ubun-ubun, lalu mengalir menuju bagian sensitif itu.

Tiba-tiba,

"Mira!"

#kok lama-lama jadi kayak cerita manga genre Harem ya... Ada yg kerasa ndk?

MIRAMAXWhere stories live. Discover now