14

3.2K 44 0
                                    

"Aaaahhhhhh!" Aku menjerit karena merasakan gigitan di buah dadaku, terutama dibagian puting susuku.  Aku sejenak melepaskan Doni dari bekapanku. Doni terlihat gelagapan mengatur nafasnya.

"Kau, gigit aku!" Ungkapku sembari melihat kausku yang sudah basah melingkar di bagian puting susuku yang mencuat. Aku menepuk-nepuk kepalanya namun ia menutupinya dengan tangan. "Dasar kau ini! cowok mesum. Kau juga ngaceng kareng melihatku ya?"

"Tidak, salah kau sendiri." Ungkap Doni yang sepertinya pasrah karena pergelangan tangannya kuraih dan tangannya kurentangkan.

"Emang, salahku kenapa?" Tanyaku serius.

"Salahmu,,, mnnnn,,," aku merasakan sesuatu ketika Doni menggerakan pinggulnya. Rasa itu semakin kental terasa karena saat itu aku lupa bahwa aku tak mengenakan celana dalam. Celana dalamku basah karena berenang. Tonjolan itu menggesek panjang mengikuti alur selangkanganku.

"Mnnnnhhhhh,,," aku mendesis perlahan merasakan rasa asyik yang tak pernah kurasakan. Tubuhku semakin meliuk ke depan sehingga buah dadaku mengenai wajah Doni. Seakan aku mempersilahkan Doni mengenyot puting susu yang satunya. Namun Doni tidak melakukannya, hidungnya saja yang tak sengaja tersentuh oleh buah dadaku.

"Salahmu sendiri karena menindihku seperti ini! Lihat, aku jadi..." Suara Doni menyadarkanku sebelum ia menyeleseikan kalimatnya. Aku tersadar dan menatap wajah Doni yang memerah padam. Aku juga masih merasakan benda keras dibawah sana. Disaat itulah aku berdiri dari pangkuan Doni.

"Kita lanjutkan Essainya kapan-kapan!? Aku permisi dulu." Aku geram dengan Doni. Entah geram karena apa? Aku juga tak tahu. Sepanjang perjalananku dari lantai dua ke lantai satu. Ia menyusulku.

"Eh, gimana Essay-nya!? Kalau mau pulang mau kupesankan Maxim?" Ia bertanya khawatir ketika aku bersiap memakai sepatu.

"Tidak usah, aku jalan saja. Permisi!" Ucapku.

"Oh, ya, hati-hati dijalan." Ungkapnya tanpa sekalipun aku menoleh ke wajahnya.

Di perjalanan, aku menutup rapat kemejaku yang hilang kancingnya. Aku masih berpikir, aku marah dengannya karena apa? Padahal sedari tadi aku yang menjahilinya.  Sekarang malah aku yang marah sendiri. Ditengah perjalanan, aku melihat kaleng minuman yang tergeletak di pinggirnya jalan. Dengan kekuatan penuh aku menendangnya.

"Dasar cowok kerdil nggak punya nafsu!" Bisikku sembari menggeram. Disitulah aku sadar bahwa seharusnya dia yang marah denganku. Aku marah karena merasa godaanku sia-sia terhadapnya. Dalam perjalananku, aku menekan buah dadaku yang masih nyeri, terutama bagian gigitan tadi. Sebelum digigit, rasanya sungguh nikmat dan membuatku melayang. Namun Doni malah melihat ini sebagai main-main belaka.  Ia mengira aku tukang bully yang menyiksanya, sehingga ia berpikir tubuhku tak merasakan getaran itu. Atau mungkin bibirku terlalu malu untuk berkata "peluklah aku, Doni!" Atau dia juga merasakan hal yang sama, namun enggan untuk mengatakan karena selisih tinggi badan antara kita berdua.

Langkah kakiku sudah hampir mendekati rumah ketika aku menangkap tiga hal yang menjadi kesalahpahamanku. Aku marah bukan karena Doni menggigit buah dadaku, tetapi justru ia tak melakukan apapun padaku. Aku sedikit menyesal karena melakukan hal itu. Aku yakin ia juga berpikir soal itu.

Desauan angin meniupkan sampah plastik ketika langit sudah menggelap. "Gluuuuddduuuukkkkk!" Dari kejauhan mendengar getaran langit yang meraung. Aku menengadah keatas untuk memastikan langit sedang bergurau lalu menangis, dan tangisan itu menciptakan petir yang meraung. Petir yang meraung dapat membuat Doni ketakutan.  Entah kenapa, kakiku berbalik kembali kerumah Doni. Jantungku berdegup mengkhawatirkan Doni yang sedang dirumah sendirian dan hujan deras. Namun ketika aku melewati belokan.

"Mira!" Ibuku berjalan tergopoh-gopoh. Jika aku tidak mengerem, mungkin aku sudah bertabrakan dengan ibu. "Kamu mau kemana!?"

Aku linglung ketika ingin menjawab, "eh, aku nyari ibu? mmnn,,,pintunya di kunci."

"Pintunya gak dikunci. Cepat pulang! Mau hujan! angkat jemurannya!" Ibu memerintahku dengan sekali ucapan. Aku masih memikirkan Doni dan tentu saja aku tak diijinkan lagi untuk keluar rumah karena hujan akan segera turun.

Setelah selesei mengangkat jemuran. Tiba-tiba listrik padam. Suasana menjadi gelap gulita. "Pakai mati lampu segala! Ibu baru mau masak, kamu sudah makan!" Ungkap ibu.

"Mnnn,,, aku masih kenyang bu." Aku berlari ke kamarku lalu membuka smartphoneku. Pikiranku kalang kabut, aku ingin kembali ke rumah Doni. Namun hujan meniupkan segala jenis harapan. Coba saja, aku disana lebih lama dan tidak ngambek seperti ini. Sudah pasti Doni akan memelukku erat karena ia takut dengan hujan dan petir. Ahh,,, bodohnya aku sampai kepikiran seperti itu.

Di layar smartphoneku, terlihat foto diriku yang sedang berpose layaknya seorang foto model. Lalu kualihkan ke aplikasi WA, lalu aku melihat chat teratas adalah Doni yang memesankan Maxim untukku tadi pagi.

"Duaaaarrrrrrr!!!" Petir menyambar dan membuat jantungku berdegub kencang. Sejak kapan aku terkejut karena petir, namun kejutan itu bukan untukku. Tetapi untuk Doni yang mungkin sedang ketakutan meringkuk disudut ruangan sembari menikmati kegelapan karena listrik sedang padam.

Aku lalu menelponnya. Nada langsung berdering namun Doni tak mengangkat. "Ayoohhh,,, angkat!" Ungkapku.

Beberapa kali aku menelpon ditengah guyuran hujan deras dan angin kencang. Ditambah dengan dentuman petir yang meraung di atas udara.

"Ha—halooo! Ada apa Mmmiiirr?" Terdengar suara Doni diujung sana.

"Don, kamu nggak apa?" Tanyaku penuh perhatian.

Duaaarrrrr!!!! Suara petir kembali terdengar. Terdengar suara benturan entah suara apa.

[Follow IG, tertera di Bio untuk mendapatkan Voucer Karya karsa]

MIRAMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang