19

2.8K 57 2
                                    

Sudah hampir tiga hari kami jadian. Semenjak ketemu di Mall, kami tidak bertemu lagi karena tugas Essai telah usai dan keluarga Doni sudah pulang dari liburan. Belum lagi, aku selalu telat bangun karena biasanya kami mengobrol lewat WA sampai larut malam. Obrolan kami cukup simple, namun entah akhirnya menjurus kearah dewasa. Aku juga masih penasaran dan tak bisa membayangkan jika tak kurasakan sendiri. Mungkin nalarku tidak sampai kesana. Berbeda dengan Doni yang sepertinya sudah paham, ia memang pintar dan gemar membaca. Jadi ia selalu berbicara bersumber dari artikel di internet atau buku. Pernah ia berkata padaku bahwa aku sudah melewati fase orgasme ketika kita terjebak di ruang sempit itu. Ia menanyakan padaku bagaimana rasanya, dan aku hanya menjawab rasanya,,,enak—gitu aja!

Tubuhku tergerak ketika alarm sudah berbunyi dan waktu menunjukan pukul 5:30 pagi. Sudah saatnya aku bangun lebih pagi karena aku harus latihan dengan tim sebelum pelajaran dimulai. Kulihat disela jendela langit membiru gelap dan rasa malas harus kuhindarkan. Aku jarang mandi dirumah ketika pagi karena itu tak baik untuk tubuh. Aku biasa mandi disekolah seperti rekan tim yang lain.

Pagi itu, aku joging ke sekolah dengan pakaian latihanku. Kamu tahu seragam volley wanita? Ya,,, seperti apda cover buku ini. Bayangkan saja aku berlari dengan tas ransel besar di belakang. Sudah pasti buah dadaku bergoyang kesana kemari jika aku tak mengenakan sportbra. Untung saja, pagi itu masih sangat sepi dan jarak sekolahku yang dekat membuatku cepat sampai disana.

Akhirnya kami bertemu lagi dengan Rosa dan Agnes yang menjadi sahabatku. Mereka berdua menanyakan kegiatanku selama liburan.

"Eh, bagaimana dengan Essai-mu?" Tanya Agnes yang mulai melakukan gerakan senam.

"Oh, itu. Mnnnn,,, Doni yang kerjain semua. Bersyukur banget punya pacc—pasangan kelompok seperti dirinya." Aku hampir kelepasan.

Rosa si tomboi yang mendengar pembicaraan kami menimpal, "eh, Doni nggak ngapa-ngapain kamu, kan?"

Perkataannya cukup serius karena ia menghentikan gerakan pemanasannya. Ia mendekat dan menatap sekujur tubuhku yang mungkin berubah. Jantungku berdegup kencang karena kami sebenarnya—ngapa-ngapain. Bahkan ia telah mencium Feromon-ku diarea paling terlarang sekalipun. "Eh,,,enggaklah. Kita jarang ketemu?" Ungkapku penuh dengan rasa kecanggungan.

Aku yang tinggi membuat tinggi Rosa hanya sekitar bahuku. Apalagi tubuhnya yang terbiasa membungkuk karena ia seorang Libero membuatnya dengan mudah menyentil selangkanganku. "Dia nggak pegang-pegang memekmu, kan?" Ungkapnya sembari bersiap untuk berlari karena sebentar lagi aku akan mengejarnya.

"Dasar kurang ajar kau!" Aku berlari mengejar Rosa yang terkenal lincah. Semua orang tertawa melihat kami berlarian sampai ke koridor kelas.

"Sudah kubilang, kau nggak mungkin bisa mengejarku!" Ejeknya sembari berjoging mundur karena tenagaku hampir habis karena berlari.

Lalu,,,

"Auuuhhhh!" Rosa yang berjoging mundur menabrak seseorang yang baru keluar toilet. Seorang pria yang tinggi dan lebih tinggi dariku. Ia mengenakan jaket parasut lengkap dengan celana latihan. Wajahnya putih dengan tatanan rambut rapi seperti orang Jepang. Alisnya tipis dengan mata tajam serupa dengan hidungnya, lalu yang begitu mempesona adalah lesung pipi disekitar bibirnya yang tipis berwarna merah muda.

Kuingat ia bukanlah siswa sini karena tak ada cowok setinggi itu di sekolahku. Dan yang lebih tak mungkin adalah tak ada klub olahraga lain yang berlatih sepagi ini. Salah satu alasan tim Volley wanita latihan di pagi hari adalah agar pantulan bola-bola itu tak mengenai siswa lain yang lewat atau mengganggu jam pelajaran. Hal itu karena lapangan Volley terletak di pusat gedung sekolah dan bersebelahan dengan lapangan basket.

"Rosa, Mira! Apa yang kalian lakukan!" Teriak mbak Melly entah dari mana. Ia sudah berada di hadapanku.

"Ma—maaf mbak." Ungkapku.

"Pak Pelatih, kau tak apa!? Rosa cepat minta maaf!" Mbak Melly geram dengan Rosa yang seakan betah menindih kaki pria ganteng yang baru saja ditabraknya.

"Eh, iyaa,,, maaf pak." Ungkap Rosa sekenanya.

"Hahahaha,,, nggak apa. Aku yang salah karena tiba-tiba nyelonong aja." Ujar pria yang disebut Melly sebagai pelatih. "Ayo kita bertemu yang lainnya?"

Jumlah tim inti volley putri berjumlah 14 orang yang dipilih secara rutin oleh Pak Wagino sebagai guru Penjaskes. Jika ada siswi yang berminat ingin ikut harus melalui proses seleksi terlebih dahulu. Dalam setiap pertandingan resmi, di dalam tim terdiri dari 6 pemain utama dan 4 cadangan, lalu 4 lainnya adalah reserve untuk menggantikan pemain yang cidera sesaat sebelum pertandingan. Jika latihan biasa, kami selalu melakukan game kecil setelah selesai latihan utama, 6 melawan 6 dan memiliki satu cadangan di masing-masing tim.

"Semuanya berkumpul!" Teriak mbak Melly yang sudah geram karena ulahku dan ulah Rosa tadi. Kami berempat belas berdiri tegak menghadap mereka. Aku tak henti-hentinya menatap pria yang menjadi pelatih baru kami. Tingginya lebih tinggi dariku dan bisa dinobatkan sebagai pria tertinggi di sekolah kami.

"Ini adalah Pak Rama. Ia adalah pelatih baru di Tim Volley Putri di SMK Armada ini! Jadi dengan adanya pelatih, kita bisa lebih serius dari sebelumnya. Mengerti!" Teriak mbak Melly cukup tegas sembari melipat tangannya kedepan.

"Baik, nama saya Rama. Senang bisa melatih kalian disini." Ujarnya dengan senyuman menawan dan pandangan yang membuat kita semua linglung dengan ketampanan pria pak Rama. "Eh, kamu, siapa namamu?" Tiba-tiba Pak Rama menunjuk kearahku.

"I—iya, saya pak!" Sebelum aku mengatakan itu, aku berpaling ke kiri dan kanan terlebih dahulu karena aku takut bukan diriku yang dimaksud. "Saya Mira pak."

"Oh, ya Mira. Kamu kelihatannya, begadang sampai malam. Mulai hari ini, tidurlah lebih awal. Aku melihat kantung mata dimatamu. Dan kamu terlalu lelah untuk mengejar temanmu,,,mmnnn,,, siapa tadi?" Pak Rama melirik kearah mbak Melly sembari menunjuk Rosa.

"Rosa!" Jawab mbak Melly dengan tegas.

"Ya," ucap pak Rama. "Ayok kita teruskan latihan."

=========
Setelah selesai latihan, kami berkumpul di ruang ganti setelah sebelumnya pak Rama menjelaskan posisi-posisi kami. Kami diberikan beberapa lembar untuk menghapal posisi yang tepat untuk menyerang. Aku diberi tugas untuk belajar passing  bawah karena aku diminta untuk berada di posisi Cover. Posisi ini sama seperti Libero, yaitu menahan serangan bola dibagian belakang ketika musuh melakukan serangan. Kenapa? Karena jika aku menjadi Blocker, lompatanku terlalu tinggi. Sehingga Spiker lawan dapat dengan mudah mengincar ujung jariku dan bola tersebut akan melayang jauh meninggalkan lapangan. Aku cukup kesulitan karena tubuhku terlalu tinggi dan aku tak ahli dalam melakukan passing bawah. Tetapi kata Pak Rama aku cukup mengikuti pola latihannya jika ingin berhasil.

"Eh, pelatih kita ganteng juga?" Diantara kami bertiga, Agneslah yang paling menyerupai wanita. Rambutnya panjang dan tubuhnya standart. Sehingga ia pantas mengatakan bahwa pak Rama adalah pria yang tampan.

"I—iyaaa,,, ganteng banget pak Rama. Sama seperti bintang film drama Korea." Timpal Rosa yang mengatakan demikian. Setahu aku, Rosa bukan cewek yang menyukai cowok. Bahkan ia lebih suka menggoda cewek daripada cowok.

"Eh, kamu sakit, Ca?" Godaku sembari memegang kening Rosa.

"Aku nggak sakit!" Gerutu Rosa.

Lalu, aku mendengar suara dering smartphone di tasku. Ketika kulihat, ternyata pesan WA dari Doni yang berbunyi. "Bisakah kita bertemu di belakang laboratorium, sepulang sekolah?"

"Kenapa? Kangen sama aku ya yang😘😘." Balasku.

MIRAMAXWhere stories live. Discover now