08

3.6K 67 6
                                    

Mentari sudah terlalu tinggi ketika aku mempersiapkan diriku untuk kegiatan hari ini. Kali ini, aku disuruh kerumahnya untuk menyelesaikan tugas Essai. Entah kenapa, sedari tadi aku memilih pakaian yang cocok untukku. Aku sendiri bingung, biasanya aku tak begitu memperhatikan penampilan. Sekarang hampir setengah jam aku memilih baju.

Alhasil, aku memakai kemeja berbahan tebal karena bisa juga dijadikan sebagai jaket. Lalu kaus berwarna putih, serta celana jeans berwarna hitam. Jadwal latihanku kosong di hari sabtu dan minggu. Sehingga aku tak perlu memakai sportbra. Jika bukan Sportbra, Bra mana yang ingin kupakai nanti. Aku membuka lemari bagian atas untuk melihat koleksi Bra milikku. Kulihat semuanya sudah terlalu kecil, bahkan ada yang lingkar dadanya sudah tak muat.

Lalu,,,

Aku melihat sebuah Bra yang cukup unik. Bagian Cup-nya cukup besar dan ditahan oleh kawat. Lingkar dadanya juga cukup. "Tunggu, ini?" Gumamku perlahan. Aku ingat ketika aku membeli sportbra di toko Online. Namun Toko Online itu salah kirim, sehingga barang kami tertukar. Aku sudah mencoba untuk mengajukan pengembalian, namun sayang tokonya tidak merespon. "Ini ada pasangannya."

Ya, Seksi Bra berwarna hitam kombinasi merah. Ada juga renda-renda yang membuat siapa saja betah memegangnya. Lalu Bra itu satu set dengan celana dalam serupa. Namun di bagian belakang hanya berupa tali. Aku sering melihat ini di toko online, namanya adalah G-String.

Aku mulai mencoba memakainya. Kukunci pintu rapat-rapat agar tidak ada yang melihat. Lalu, aku memakai Bra dan celana G-String itu. Walau terkesan ketat, tetapi bahan dasar cukup nyaman dan tidak melukai kulitku. Untunglah aku menyimpan ini karena mungkin Set Bra ini harganya mahal, mengingat bahannya yang bagus.

Smartphone-ku mulai berbunyi. Ternyata dari Doni yang menanyakan kesiapanku. Aku segera bersiap memakai celana jeans, memakai kaus berwarna putih polos lalu kemeja oversize yang tidak kukancingkan bermotif kotak-kotak merah.

"Sudah siap belum, aku mau pesan MAXIM-nya!" Kata Doni mengirim pesan.

"Iya, sudah siap!?" Jawabku.

Setelah berpamitan, tukang ojek online itu mulai meninggalkan rumahku. Ternyata, rumah Doni hanya sekitar 15 menit perjalanan dengan motor dari rumahku—cukup dekat dengan rumahku.

"Bener ini rumahnya pak?" Tanyaku dengan bapak driver ojek online.

"Bener non, disini titik map alamatnya. Saya permisi non, terima kasih." Tukang Ojek Online itu pergi tanpa menghiraukanku. Aku tak yakin ini rumahnya. Sebuah rumah besar dua tingkat ditepi jalan dengan gerbang hitam menutupi sebagian pandangan dari luar. Aku masih terkagum dengan gerbang besi hitam itu. Aku mengeluarkan smartphoneku untuk memastikan bahwa ini rumah Doni. Belum sempat aku keluar membuka kunci layar smartphone-ku. Gerbang itu tiba-tiba terbuka sendiri.

"Ayo masuk!?" Ajak Doni yang masih mengenakan kaus oversize dan celana boxernya. Mungkin ia baru bangun tidur.

Aku terkagum dengan rumahnya. Halamannya cukup luas dan juga ada ring basket di atas garasi. Dindingnya dicat rapi dan sesuai dengan komposisinya. Pintunya juga terbuat dari kayu mengkilap yang menyilaukan jika terkena sinar mentari.

"Eh, kamu sendirian!?" Tanyaku pada Doni yang membuka pintu rumahnya lebar-lebar.

"Iya, semuanya berangkat ke Jakarta untuk menghadiri pesta pernikahan keluarga." Jawab Doni sekenanya.

"Tapi, Eh,,, Mbak Melly juga ikut?" Tanyaku penasaran.

"Melly tak tinggal disini. Ia tinggal dirumah nenekku. Silahkan duduk!" Doni mempersilahkanku untuk duduk di ruang tamu dengan Sofa berwarna putih dengan motif kayu ukir khas rumah mewah. "Kayaknya dia juga ikut karena nenekku juga ikut."

"Oh," gumamku menjawab karena aku sedang memadang seantero ruang tamu yang mewah. Terdapat lemari kaca berisi hiasan guci dan gelas cantik. Lalu lampu gantung yang sangat indah jika dihidupkan. Tapi mataku tertuju padan foto keluarga yang menggantung tepat diatas ruang tamu. Kulihat Doni dan Melly berdiri bersebelahan. Mereka hanya tiga bersaudara. Entah aku baru melihat kakak perempuannya yang berseragam Polwan lengkap. Ternyata Doni anak lelaki paling bungsu di keluarga ini.

Prannnnkkkkk!!! Lamunanku tersentak ketika mendengar suara gelas yang terjatuh dari arah belakang. Secara refleks aku langsung bangkit dan memasuki ruang tengah yang berupa ruang keluarga. "Don,,, Doni," panggilku. Aku memberanikan diriku untuk masuk lebih dalam. Ternyata Doni menjatuhkan seteko minuman yang mungkin akan dipersiapkan untukku.

"Ah,,, nggak apa? awas banyak kaca." Ucapnya melarangku untuk mendekat.

"Kamu kenapa?" Tanyaku.

"Bisa tolong ambilkan alat pel itu!" Ungkapnya sembari menunjuk kain pel ysng bersandar di dinding. Kami berdua akhirnya membersihkan lantai yang dipenuhi kaca.

"Mnnn,,, rumah sebesar ini, nggak ada pembantu apa?" Tanyaku.

"Bik Tina ikut juga ke Jakarta." Jawab Doni sembari membuang kaca beling di tempat sampah.

"Oh," gumamku.

"Kalau mau minum ambil sendiri aja di Kulkas aja ya? Kalau mau camilan di lemari itu. Kalau mau makan, masak sendiri juga bisa. Sudah dipersiapkan semuanya. Anggap aja rumah sendiri!" Kata Doni mempersilahkanku. Aku memang hobi makan, tapi aku masih punya adab untuk tidak makan di rumah orang.

"Iya Don, terima kasih." Ungkapku sembari membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol air dingin.

"Mnnn,,, ayo ke kamar!" Tubuhku terpaku mendengar ajakan Doni. Kakiku serasa begetar dan bibirku tak mampu berkata-kata. Tak mungkin ia langsung mengajakku gituan. Aku teringat banner situs dewasa yang kubuka semalam. Aku yakin aku tak siap untuk itu.

"Eh, ayo!" Ajak Doni sembari membawa beberapa camilan untukku.

"Mnnn,,, kok dikamar?" Kata itulah yang kucetuskan karena aku sendiri masih awam dengan hal begituan.

"Ya iyalah, makalah itukan harus di ketik di komputer. Nah komputernya ada dikamarku. Masa' mau dibawa ke dapur." Ucapnya sembari membelakangiku.

Akhirnya, aku salah tingkah sendiri. Aku mengira Doni akan melakukan hal-hal yang tidak senonoh padaku. Dengan ragu aku mengikuti Doni ke lantai dua sebelum melewati sebuah dinding kaca yang jernih.

"Eh, itu!" Aku terkejut melihat pemandangan halaman belakang rumah Doni.

"Apa?" Doni berhenti dan menoleh ke arahku.

"Kolam renang!" Ujarku terkagum melihat air biru dengan pancuran di ujungnya. Tanaman hias menghiasi sekitaran. Sungguh rumah yang mewah dan nyaman. Berbeda dengan rumahku yang berantakan dan berada di gang sempit.

"Kalau mau berenang, nanti sore aja. Setelah selesei. Siang ini masih panas." Tawar Doni.

"Eh, boleh apa?" Ucapku.

"Ya, boleh-boleh aja. Lagian jarang ada yang berenang di kolam itu." Ucap Doni.

Akupun berlalu melewati dinding kaca yang telah membuatku terkagum itu. Tak lama, sampailah diriku di kamar Doni. Terletak di lantai dua. Kamarnya rapi dengan karpet bulu mahal yang terasa nyaman di telapak kaki. Tak ada yang spesial, hanya saja buku-buku super tebal menghiasi setiap sudut ruangan. Jangan untuk membacanya, membaca judul du punggungnya saja sudah membuat pusing. Doni langsung duduk di depan komputer yang sudah dihidupkan sebelumnya.

"Ini foto hasil jepretan kemarin. Tinggal buat deskripsinya saja." Ujar Doni membangunkan lamunanku atas kemegahan rumahnya.

"Eh, itu,,, aku,,," kataku terkagum. langkahku cepat mendekati Doni. Aku tak sadar bahwa tubuhku yang membungkuk membuat buah dadaku menyentuh kepala Doni. Apalagi meja belajar Doni terlalu pendek untukku. Dan yang lebih parah lagi, Buah dadaku menjadi semakin besar karena Bra baru yang kupakai. Berbeda dengan sportbra yang menahan daging menonjol itu. Sekarang bentuknya lebih sempurna dari biasanya.

"Iya, setelah di edit dengan Photoshop, hasilnya jadi seperti ini." Kata Doni menjelaskan.

"Wah, bagus banget. Bisa nggak ditransfer ke smartphoneku. Mau kuposting di FB-ku juga." Aku masih terkagum, dan tanpa sadar juga tubuhku menjadi lebih dekat tubuh Doni.

MIRAMAXWhere stories live. Discover now