17

3.2K 61 1
                                    

"Mira!"

Aku terkejut ketika terdengar suara bisikan Doni dibawah sana. Area yang gelap membuatku tak dapat menatap wajahnya. Belum lagi, desiran aliran darahku belum pulih sepenuhnya.

"Ssstttt!" Aku mendesis sembari mengintip dibalik jendela kaca. Kedua pria tadi sudah pergi dengan membawa buah tangan dariku—celana dalam yang basah entah karena apa.

Namun ketika aku melihat ke Doni. Ia sepertinya asyik menciumi selangkanganku. Aku tak dapat melihat wajahnya karena tertutupi oleh kain rok. Namun aku dapat merasakan sentuhan hidungnya yang menerjang bibir kewanitaanku. "Mmmnnnnnhhhhhh!" Desahku manja seraya menekan pinggulku.

Entah apa yang terjadi dengan kita berdua. Aku sangat menikmati dan Ia tak jijik menciumi selangkanganku. Jantungku seakan ingin lepas ketika getaran kakiku mulai menguat. Terkadang pinggulku maju dan terkadang mundur untuk mengikuti gerakan kepala Doni.

"Ternyata seperti ini," terdengar lagi suara Doni dari bawah sana. Sontak aku terkejut karena ia kini berdiri. "Kelihatannya sudah aman." Ungkapnya sembari mengintip.

"Haahhh,,," aku hanya bisa menggumam terbata karena kesadaranku belum pulih sepenuhnya.

"Itu disebut Feromon." Ia berbicara padaku.

"Ah,,, apaahhh!" Aku mendesis perlahan.

"Iya, Feromon adalah sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seksual pada jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar endokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi." Doni berbicara dengan bahasa lain yang tak aku mengerti. Aku hanya terdiam menatap matanya yang masih sayu.

"Feromon terdapat diseluruh makhluk hidup, bahkan bunga juga mengandung Feromon untuk memikat serangga untuk membantu penyerbukan." Tambah Doni.

"Kedua pria ta—hmppppfftt!"  ucapan Doni terhenti karena tiba-tiba aku memeluknya. Entah kenapa? Bibirku mencari bibirnya yang hangat, entah karena apa. Oh,,, rasanya sungguh diluar dugaan. Bibir kami saling bertemu walau sebenarnya hanya menempel saja. Doni menahan tubuhku sesaat agar terlepas dariku.

"Tunggu, ciuman bibir dapat menyalurkan dua ratus bakteri yang dapat menimbulkan penyakit menular!" Ucapnya seraya terengah menatapku.

Namun,,, aku kembali menarik tubuhnya kearahku. Kekuatanku yang diatas rata-rata membuat kakinya terangkat. Entah apa yang kulakukan, aku mencium teman sekelasku yang baru akrab tidak sampai seminggu. Aku merasakan sesuatu menyentuh pinggangku. Kurasa itu tangan Doni yang memelukku. Tak hanya itu, tangannya kini mulai nakal dengan meremas bongkahan pantatku. Aku tak tahu, kenapa aku bisa seperti ini. Kujulurkan lidah kebibirnya dan Ia juga merespon hal yang sama. Lidah kami saling bertautan seakan tak ingin melepas satu sama lain.

Aku sedikit berpikir bahwa aku terlalu memaksa Doni untuk melakukan ini padaku. Aku mencoba untuk mengembalikan kesadaran dengan berpikir normal. Alhasil, aku melepaskan ciumannya. Sesaat aku melihat ludah kami saling bertautan, wajahnya memerah pudar dan badannya menghangat. Kedua kakinya kini kembali menapak ke lantai karena pelukannya kulepaskan.

Namun,,,

"Ihhh,,, Don." Ternyata dugaanku meleset. Ia kini menciumi leherku. Menggesekkan lidahnya naik dan turun sembari sesekali memainkan lidahnya. Kemejaku yang crop top membuat bibirnya lebih mudah menyusuri jenjangnya leherku. "Ssshhhhh,,, auuuhhh!" Desisku kegelian merasakan siksaan yang mengasyikkan ini.

"Su—sudaaahhh,,, Dooon," busukku sembari mendorong tubuhnya, seketika bibirnya terlepas dari kulit leherku.

Nafasku mendesis lirih disertai dengan rasa penasaran yang sebelumnya pernah kurasakan. Kulihat ia juga menampilkan wajahnya yang sama. Pipinya memerah entah karena malu atau apa—aku tak tahu. Doni tersenyum manis di depanku, lalu kedua tangannya memeluk pinggangku. Tinggi tubuh kami yang selisih 30cm membuat wajahnya menempel di buah dadaku. Bibirku tak mampu menolaknya, apalagi tubuhku. Kedua tanganku memeluk kepalanya dan mengusap rambutnya. Apalagi kini ia menggerakkan kepalanya di dada dadaku, gerakannya seperti mengusap. Kedua benda yang mengkal itu seperti diremas begitu saja.

Lalu ia mendongak kearahku. Aku hanya tersenyum simpul melihat tingkahnya yang manja. "Aroma Feromon itu,,,"

"Sssttttt!" Desisku sembari menyentuh bibirnya dengan jemariku. Ia masih mengatakan hal-hal yang tak kumengerti tentang pelajaran Biologi. Namun aku tahu maksudnya, aroma itu berasal dari selangkanganku yang menghangat. Apalagi, aku tak mengenakan celana dalam.

"Mnnn,,, kamu mau menciumnya?" Bisikku lirih.

Matanya terbelalak karena terkejut ketika aku menawarkan sesuatu yang menggoda kepadanya. Aku mendorong pundaknya agar ia terduduk. Lalu ia menghilang dalam kegelapan. Aku seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Perlahan aku membuka kain rokku dan Doni memasukan kepalanya. Semua terjadi otomatis tanpa ada perintah.

Lalu,,,

"Auhhhhh,,," Aku segera menutup mulutku karena desahan itu mungkin terdengar dari arah luar. Aku tak tahu apa yang dilakukan oleh Doni. Ia mengangkat salah satu kakiku agar menopang di pundaknya. Lalu, aku merasakan sesuatu yang menyentil bibir kewanitaanku. Wajahku mendongak dan mataku mengerjai merasakan bibir Doni dengan tak sabar mencium bagian berambut itu. Apalagi, lidahnya mulai beraksi mengerjai bagian belahannya.

"Mnnnn,,,mmmmmm!" Kututup mulutku rapat-rapat karena rasa rasa geli yang nikmat memungkinkan bibirku mengeluarkan suara. Rasa itu semakin gila ketika aku merasakan bibir kewanitaanku seakan dibuka oleh jemari Doni. Lalu lidahnya menyentil sebuah bagian kecil yang membuat nafasku terengah. Pinggulku bergerak mengikuti gerakan sapuan lidah Doni.

Cukup lama ia mencium bagian yang entah bisa disebut feromon itu. Tetapi yang jelas, aku ingin tertawa terbahak ketika pinggangku mengejang. Bahkan aku tak sadar ketika tanganku meremas buah dadaku sendiri. Remasan itu membuat buah dadaku ngilu terutama bagian puting susuku.

Lalu,,,

"Aukkkhhh,,, Don. Suuudahhh,,, aku mauuuu,,, pipis." Aku mendorong tubuh Doni dan mencoba mengeluarkannya. Namun Doni malah menahanku yang mulai mengejang. Gerakan pinggulku mengerjak menempelkan liang senggamaku ke bibirnya. Aku merasakan rasa gatal teramat sangat dari ujung liang itu. Lalu cairan hangat itu membuat tubuhku melemas. Aku yakin wajahnya sudah basah kuyup menerima lelehan cairan itu.

Nafasku berat dan tubuhku bersandar di dinding. Aku tak kuasa menahan kesadaranku. Doni melepaskan tubuhku dan aku tubuhku terduduk lunglai di lantai. Doni masih berada di depanku dengan wajah yang basah. Namun ia tak berusaha untuk membasuh cairan itu.

"Hihihi,,, wajahmu basah." Ungkapku sembari meraih celana dalamku yang masih tersangkut di pergelangan kaki dan mengusap wajahnya.

"Kamu ngompol ya?" Godanya sembari menggenggam tanganku agar berlama-lama di pipinya.

"Aku udah ngomong tadi, udahaann. Tapi kamu malahhh,,,mmmm!" Aku tak bisa meneruskan ucapanku karena Doni malah mencium celana dalam yang terbasahi oleh cairan hangat itu.

"Enak banget wanginya." Pujinya setelah berlama-lama mencium celana dalamku.

"Ih,,, udahan. Nanti ketahuan orang." Aku menarik tanganku dan berdiri.

"Tunggu—aku belum!"

MIRAMAXWhere stories live. Discover now