06

4.2K 67 13
                                    

[Kalau banyak yang typo, kasih tahu ya!? soalnya editornya lagi ngambek! wkwkwkwk]

Entah salah aku atau bukan? Karena aku merenggangkan kedua tangannya. Doni melompat kearahku dengan memeluk pinggangku. "Heh,,, tenang Doni itu cuma petir!" Kataku sembari meronta. Posisi dudukku yang dengan lutut tertekuk kebelakang membuat tangan Doni dengan mudahnya melingkat disana. Namun sepertinya, ini bukanlah akal-akalan. Ia benar-benar ketakuan, pelukannya keras dan jemarinya mencengkeram kausku. Hal itu tak memungkiri bahwa buah dadaku tersentuh oleh wajahnya. Cukup lama, ia di dalam posisi itu.

Duaarrrrr!!!

"Hiiiiihhhhhh," jerit Doni.

"Ssshhhhh,,, tenang, ada aku disini. Nggak apa, itu cuma petir." Aku semakin iba padanya. Kuusap rambutnya perlahan untuk menenangkannya. Entah, aku tak merasakan apapun lagi. Aku yakin, ini memang murni bahwa Doni membenci petir. Aku juga mempersilahkan wajahnya bersembunyi di belahan dadaku. Aku tak merasakan apapun, aku hanya takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak padanya. Mungkin ia punya riwayat penyakit jantung atau epilepsi. Penyakit-penyakit itu biasa kumat disaat-saat seperti ini. Aku takut itu terjadi padanya.

Tubuhku semakin pegah karena Doni masih memeluk tubuhku erat-erat. Apalagi aku mengenakan sportbra yang sesak. Petir sudah menghilang dan hujan sudah mulai mereda. "Don, sudah. Petirnya sudah pergi."

Doni dengan tatapan takutnya mengintip rintikan air dari celah belahan dadaku.

Lalu,,,

Gluuudddduuukkk! Dari kejauhan terdengar suara gemuruh. "Huaaaahhh," Doni kembali memeluk pinggangku. namun kali ini wajahnya tepat menekan diatas buah dadaku.

"Eeehh,,,mnnnm," entah kenapa suara desis itu yang keluar dari bibirku. Tubuhku seakan ringan namun kepalaku berat. Tengkukku seakan mengeras dan mataku meremang. Entah ini rasa yang enak atau tak enak. Tetapi inilah yang kurasakan jika seseorang menekan buah dadaku. Aku mencoba mengembalikan lagi kesadaranku.

"Don,,, ini cuma gemuruh. Mnnhhh,,, Tuh hujannyah sudaah pergiiih!" Entah getaran pita suaraku lain dari pada yang lain. Nafasku berat seakan tertutup sesuatu. Wajah Doni masuk terhenyak di buah dada kiriku. Apalagi Sportbra didesain tanpa bantalan bisa. Sehingga membuat puting susuku tertekan, bahkan aku bisa merasakan tekstur wajah Doni yang tercetak dibuah dadaku.

Lagi-lagi, Doni melirik kearah luar. Hujan rintik semakin ringan. Hanya beberapa rintihan langit yang masih terdengar dari kejauhan. Beberapa cekungan beton  di taman tergenang oleh basahan yang memantulkan cermin alam. Lalu Doni mulai melepaskan diriku.

"Eh, kamu kenapa tadi!?" Ucapku penasaran. Entah sejak kapan aku mau membelai pipinya. Kulitnya yang sawo matang terlihat halus dan nyaman. Wajahnya tirus kurus hidung agak mancung. Matanya yang biasanya terlihat kejam mendadak meremang karena ketakutan. "Masa' cowok takut petir!?" Ejekku.

"Petir itu kilatan listrik yang bebas," ungkapnya sambil mengatur nafas. "Karena bebas, jadi bisa menyambar apa saja. Bahkan kita disini saja bisa disambar!"

"Hmn,,, tapi aku tak takut disambar." Seusai hujan, tubuhku malah memanas. Doni memeluk paksa tubuhku dalam waktu yang lama, belum lagi rasa aneh yang kurasakan barusan. Aku mulai melangkah keluar dari lobang perosotan.

"Eh, kamu mau kemana!?" Ucap Doni.

"Mau hujan-hujanan. Tubuhku panas soalnya!" Aku melompat keluar dan menengadahkan tubuhku untuk menampung air hujan yang seakan menyiram tubuhku. Tubuhku menggelora seperti ingin melepaskan sesuatu. Entah kenapa? Aku malah menanggalkan kausku. Tetapi untung saja, aku mengenakan Sportbra yang cukup tertutup. Sehingga hanya sedikit belahan dada, bagian ketiak dan bagian perutku saja yang terlihat. Aku melompat dan berputar bagai seorang anak kecil yang diberikan ijin oleh orang tuanya untuk bermain hujan. Rasanya, aku barusaja merasakan sesuatu yang baru di dalam hidupku.

=====

Hujan siang tadi adalah awal mula dari hujan yang terus mengguyur hingga sore. Gemuruh-gemuruh petir bersahutan dari dekat maupun jauh. Aku jadi khawatir dengan Doni, apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apakah ia ketakutan dan memeluk mamanya? Atau sedang tertidur pulang. Mungkin aku akan bertanya padanya nanti sembari menanyakan bagaimana rencana besok hari.

Malam ini, entah kenapa? Aku cukup bersemangat. Hari hujan membuat nafsu makanku bertambah. Tentu saja, aku hanya memakan Mie Instant rebus ketika hujan.

"Sejak kapan kau suka Mie Instan?" Tanya ibu yang mungkin juga heran denganku.

"Hmn,,, sejak hari ini." Aku yang biasanya manja-manjaan dan malas gerak dirumah—mendadak ingin memasak Mie Instan dengan telur mata sapi kesukaanku.

"Awas, buang air rebusan, dan ganti dengan air termos kalau sudah matang. Itu mengandung pengawet." Ujar Ibuku yang malas meladeniku.

"Siap boskuuuu!" Aku menjadi gila sendiri. Padahal tak ada musik yang mengalun, sepertinya ada suara yang mengalun melewati kuping kananku, masuk ke otak, lalu keluar lagi ke kuping kiriku. Bahkan aku mengira, suara rintikan hujan di senja itu adalah irama orkestra yang mengalun seiring dengan suasana isi hatiku.

Setelah menyantap Mie Instan, aku kembali ke kamar. Aku buka ponselku, tak ada pesan dari siapapun. Aku merebahkan tubuhku dikasur sembari menyahut majalah bertema olahraga yang baru dikirim kurir sore tadi. Cukup lama aku membaca, smartphoneku tak lagi berbunyi. Aku merasa aneh, biasanya aku tak peduli dengan pesan singkat atau WA dari seseorang. Tetapi yang jelas aku seakan sedang menunggu sesuatu. Aku sahut smartphoneku dan membuka WA yang dua hari lalu di kirim oleh Doni. Di bawah itu, aku juga melihat nama Rosa yang sudah dua hari ini tak menghubungiku. Oh,,, ya,,, aku ingat pertanyaanku dengan Rosa. Namun setelah kupikirkan, aku kembali melihat profil WA Doni yang tanpa foto profil.

"Aneh, punya WA nggak dikasih foto profil!" Gumamku aneh, untuk apa aku mempermasalahkan foto profil seseorang. Kulihat Doni aktif 3 jam yang lalu. Namun ketika aku ingin menyentuh tombol bagian atas profil. Aku salah menyentuh ikon telpon.

"Sialan!" Ucapku karena tak sengaja aku menelpon Doni. "Sial! Sial! Sial!"

Aku gila sendiri memikirkan hal itu. Kupukul-pukul smartphoneku ke kasur empuk, agar tak rusak. Setelah tenang, namun jantungku masih berdegup kencang. Aku melihat lagi, Profil Doni yang kembali online.

Lalu,,,

Jreeeennnggg,,, jreeeengggg,,, aku dikejutkan oleh suara ringtoneku sendiri. Alhasil smartphoneku terjatuh ke lantai dan masuk ke kolong tempat tidur. "Arrrgghhhh!!!" Aku marah pada diriku sendiri karena terlalu ceroboh. Panggilan itu masih berbunyi dan aku menungging untuk mengambil Smartphoneku di kolong tempat tidur.

Masih dalam posisi menungging aku mengangkat telpon yang baru saja berdering. Tentu saja itu dari Doni yang menelponku balik.

"Halo Mir," sapa Doni diujung panggilan.

"Eh, iya, ada apa?" jawabku sekenanya.

"Lho, bukannya kamu yang nelpon aku tadi." Doni selalu berpikir logis, memang aku tak sengaja menekan ikon telpon tadi.

"Oh, mnnn,,, itu,,," Aku gelagapan menjawabnya.

"Nah, gini. Besok aku tak bisa ketemu, aku harus jaga rumah karena sekeluarga harus pergi ke luar kota. Kalau kamu mau, kamu bisa kerumahku besok. Biar aku yang order MAXIM untukmu agar kamu nggak perlu nyari rumahku lagi." Kata Doni mengajakku untuk kerumahnya.

Sejenak kami terdiam, entah apa yang ingin kukatakan. Wajahku terlalu tebal untuk mengatakan sesuatu.

"Gimana!?" Tegas Doni.

"Mnnn,,, oke deh. Jam 9 kayak tadi ya!?" Tanyaku.

"Oke, sampai jumpa besok." Doni menutup telponnya tanpa sempat aku bertanya padanya. Apakah yang terjadi padanya? Disana masih hujan? terus dengan siapa dia dirumah? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya berlalu menjauh dari otakku.

MIRAMAXWhere stories live. Discover now