09

3.5K 61 5
                                    

[Silahkan follow dulu untuk membuka seluruh bab yang tersedia]

"Bisa aja, colokan USB itu dengan kabel data." Aku segera meraih smartphone dan memasang USB.

Setelah selesei, aku kembali melihat foto diriku layaknya model majalah. Setelah kulihat, memang benar tubuhku sudah menyerupai wanita dewasa. Bahkan wanita dewasa saja lebih seksi daripada aku. Pipiku memerah ketika menatap foto diriku sendiri.

"Ok, sekarang kita mulai bekerja!" Sejenak ucapan Doni mengalihkan perhatianku. Doni berdiri dari kursinya. Lalu, "sini! Kamu duduk disini."

Aku langsung berdiri dan duduk di kursi empuk milik Doni. Aku rasa meja itu terlalu pendek atau aku yang terlalu tinggi. Dilayar tertampil dokument MS Word yang susah kumengerti. Asal kamu tahu, nilai akademisku selalu buruk karena aku selalu ketiduran dikelas. Doni berdiri dan bersandar di mejanya sembari memegang beberapa lembar kertas berisi coretan Essai kami. "Nah, sekarang aku yang baca kamu yang ketik."

Tanganku bergetar ketika mulai memeganh mouse dan keyboard. Tak ada komputer dirumahku, hanya laptop usang milik ayah yang tak pernah digunakan.

"Essai ini berisi." Doni mulai mengeja.

Tanganku mulai bergerak. Namun, "mnnn,,, huruf I nya dimana ya?"

Tangan Doni menekan tombol I dengan cekatan. "Hehehe,,, aku jarang pegang komputer soalnya." Aku cengengesan.

"Tapikan, smartphone-mu menggunakan keyboard Querty, sama kok dengan keyboard komputer." Kata Doni yang keheranan karena ke-gaptek-an diriku.

"Punyaku kusetel dengan model lama." Ucapku sembari menunjukan angka satu sampai sembilan. Dengan begitu aku lebih mudah mengetik daripada menggunakan keyboard Querty.

"Hmn,,, baguslah, jadi bisa sambil belajar mengetik juga." Ucap Doni menjelaskan. Lalu Doni kini duduk disamping kursi. Ia mengeja pelan sembari menahan emosinya karena aku terlalu lama mengetik. Jemariku yang panjang membuatku kesusahan mencari huruf-huruf yang membuatku pusing.

"Huruf Q-nya mana ya?" Gumamku sembari memutar mataku menyusuri keyboars yang membuatku pusing lima belas menit terakhir. Doni menjulurkan tangannya melewati ketiakku. Karena huruf itu terletak di ujung paling kiri. Tanpa sengaja, tangannya menyentuh buah dadaku. Cukup kencang karena aku sampai menjerit walau pelan, "auuuhhh!"

"Eh, maaf!" Kali ini Doni meminta maaf. Padahal kemarin dia memelukku erat dan menanamkan wajahnya di belahan dadaku. Apalagi ketika wajahnya tepat menekan buah dadaku, saat itu kesadaranku seakan menghilang begitu saja. Tubuh seakan ingin pingsan dan pandanganku memburam.

"Gimana kalau kamu yang baca." Ujarnya sembari berdiri disebelahku.

"Huaaahhh,,, capek banget!" Kataku sembari meregangkan tanganku keatas. Sebenarnya, aku lebih suka duduk di kursi seperti ini. Apalagi kursinya empuk dan nyaman.

"Apaan, belum setengah jam udah capek. Awas minggir!" Ungkapnya.

"Bentar donk, ngelurusin tanganku dulu. Huaahhhh,,, lagian kursimu enak banget, empuk, pasti harganya mahal." Kuregangkan tangan ke samping agar otot bahuku nyaman.

Namun, Doni tiba-tiba duduk diatas pangkuanku. "Yaudah duduk aja disini!"

"Auggghhh,,, iiihhh,,, berat tauuu!" Keluhku. Namun sebenarnya Doni tak terlalu berat. Badannya yang kurus dan kecil membuatku seperti memangku adikku.

"Ini, baca teksnya." Ungkapnya sembari memberikan kertas berisi coret-coretan yang sulit kubaca.

"Tunggu, berdiri sebentar." Aku meminta Doni untuk berdiri sebentar, lalu kuregangkan kedua kakiku. Kursi kerja Doni cukup lebar sehingga cukup untuk kita berdua, walau Doni duduk di bagian paling ujung. Yang paling kusuka adalah sandarannya yang empuk dan terdapat bantalan seperti telinga, layaknya kursi pengemudi mobil balap.

Aku mulai membaca. Namun aku kesulitan karena tulisan Doni sangatlah buruk. Seharusnya cowok pintar seperti Doni mempunyai tulisan yang bagus. Ini hampir tidak bisa membaca. Aku mencoba menerka dan menebak setiap huruf yang membentuk kata di lembaran itu.

"Eh,,, ink bacanya apa!" Aku menyodorkan kertas itu ke Doni yang duduk tepat di depanku. Untuk itu, aku harus maju kedepan. Tanpa sadar, aku menyentuhkan buah dadaku yang kelihatan lebih besar dari sebelumnya ke punggung bagian atasnya. Ditambah lagi, aku mencium aroma tubuh Doni yang tak pernah berubah. Aroma lemon mint yang menyegarkan hidungku. Daguku menyentuh rambut belakang Doni karena perbedaan tinggi antara kami berdua yang sangat signifikan.

"Mnnn,,, ituhhh,,, Kidal." Ucap Doni dengan nada bergetar. Entah kenapa, suara Doni berubah secepat itu.

Apakah mungkin?
Ah, tak mungkin ia memikirkan hal seperti itu disaat seperti ini.
Batinku merapal.

"Kidal, maksudnya?" Tanyaku.

"Ya, kamukan Kidal! Kamu sering berada di sebelah kanan, sehingga lebih mudah memukul bola silang dengan tangan kiri." Ungkap Doni.

Aku barutahu, selama ini aku tak begitu memperhatikan posisiku. Aku hanya melihat bola yang melambung dari jemari Tosser, lalu berlari, melompat, dan memukul bola sekeras mungkin. Padahal dengan tangan kanan juga bisa kulakukan.

"Eh, kamu kok tauu aku kidal!?" Tanyaku penasaran karena Doni bisa memperhatikanku sedetail itu. Apakah ia termasuk cowok-cowok sekolah yang memperhatikanku ketika latihan pagi.

"Heeh, Ayo teruskan! Sudah siang ini, aku sudah lapar!" Doni menyentakan punggungnya kebelakang. Ia tak sadar bahwa posisi punggungku tegak, sehingga mau tak mau punggungnya kembali menyentuh buah dadaku lagi.

Entah kenapa, setelah itu aku menjadi sering-sering menegakkan tubuhku. Aku penasaran dengan lima jemari Doni yang dapat bergerak bersamaan. Belum lagi, aroma tubuhnya membuatku betah. "Don, kamu pintar ngetik ya?" Pujiku.

"Iyalah, akukan belajar." Ucapnya singkat.

"Eh, ajarin aku donk." Aku tak sadar bahwa tanganku memeluk leher Doni dari belakang. Daguku tepat berada di sebelah kiri kepalanya. Doni bagaikan adik kecilku yang sedang kutimang.

"I—iya nanti, se—selesin dulu." Suara Doni bergetar lagi. Aku kembali menghenyakan punggungku ke sandaran kursi. Aku terpikir dengan suara Doni yang bergetar itu. Apakah yang dipikirkannya? Tetapi ketika aku menyentuhkan buah dadaku kepunggungnya, ia seperti salah tingkah.

Sepertinya, rasa penasaran membuat pikiranku terasa janggal. Apalagi aku masih belum menemukan jawaban atas segala pertanyaanku kemarin. Untuk membuktikannya, punggungku kembali tegak dan sengaja menyentuhkan buah dadaku ke punggungku Doni.

"Eh, ini bacanya apa ya!?" Aku semakin berani mengalungkan tanganku dan menyodorkan kertas itu di hadapan Doni. Buah dadaku semakin tertekan oleh punggungnya.

"Mnnn,,, ituh,,,otot trisep." Ujarnya dengan suara bergetar. Beberapa kali juga aku pura-pura bertanya dengannya. Bahkan sesekali kusandarkan daguku di pundaknya. Getaran suaranyapun semakin menjadi-jadi.

Bukannya risih atau apa? Aku malah semakin mendekati tubuh Doni. Terkadang ia menghentakan tubuhnya ke arahku. Sehingga aku harus menahan jeritanku. Satu lagi yang tidak aku mengerti, tubuhku bergerak ke kanan dan kekiri—seakan mencoba untuk menggesekan buah dadaku ke punggungnya. Wajahku memerah dan kini suaraku yang bergetar karena sentuhan itu.

Oh, tidak! Aku merasakan hal yang sama ketika ditaman itu. Wajahku seakan mengeras, tubuhku memanas, dan pandanganku memburam. Mataku sayu menatap kertas teksnya yang tulisannya mendadak kabur.

Tiba-tiba,

MIRAMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang