Part 29

1.2K 97 0
                                    

"Pagi, Bibi," sapa Leonard pada Bibi Adelin yang sudah duduk dengan anggun di kursinya.

Leonard duduk di kursi kepala keluarga yang memang berada di paling ujung, ia menatap menu sarapan dengan tak berselera. Hal itu di ketahui oleh Adeline, sehingga wanita paruh baya itu berdehem sedikit keras.

"Dimana tunanganmu?"

"Masih di kamarnya," balas Leonard dengan datar. Wajahnya bahkan menampilkan ekspresi tak berselera tiap menyuap sarapan, membuat para koki yang menyiapkan sarapan itu ketar-ketir di ujung ruangan.

Kerutan di dahi Adeline muncul. Merasa sedikit kesal dengan tunangan keponakannya, meski gadis itu terlihat baik dimata Adeline. Namun tetap saja, tindakan Lovanna yang membiarkan Leonard sarapan sendiri sedangkan Lovanna asik di kamar tidak bisa dibenarkan.

Adeline memanggil salah satu pelayan yang berada di belakang punggungnya. "Panggil Lady Lovanna untuk segera turun," titahnya.

Pelayan itu hendak pergi, namun urung ketika tangan kiri Leonard terangkat di udara. Tanda berhenti. Sontak pelayan itu kembali di tempatnya untuk menunggu instruksi sang tuan.

"Kembali ke tempatmu," titah Leonard bersifat mutlak. Lalu pelayan itu mundur dan kembali ke barisan para pelayan.

Meja makan menjadi sangat hening, jika tadi ada suara dentingan sendok, kali ini benar-benar hening. Para pelayan bahkan tidak berani bernapas dengan keras.

Mengingat laporan Isak semalam dan tidak adanya sosok Lovanna di kediamannya hingga pagi, amat sangat mustahil Leonard mengatakan yang sebenarnya pada Adeline. Bisa-bisa pesta pernikahannya terancam batal, jadi jalan satu-satunya adalah dengan berbohong.

"Bibi, biarkan Lovanna istirahat untuk hari ini. Semalam benar-benar melelahkan." Meski terdengar aneh, Leonard tidak peduli. Ia membiarkan orang lain berspekulasi yang tidak-tidak antara dirinya dan Lovanna.

Semua pelayan dan koki yang berada di ruang makan sontak semakin menunduk malu, terlihat dari telinga mereka yang memerah. Namun Leonard seakan pura-pura bodoh, ia tak malu sedikitpun dan malah dengan santai meneguk minumannya.

Keadaan Adeline tak jauh berbeda, adik dari mendiang duchess sebelumnya itu berusaha mempertahankan ekspresinya. Ia tersenyum seperlunya dan mengangguk pelan, meski dalam hatinya bingung harus sedih atau bahagia.

"Sudah sejauh itu? Wah, pernikahan kalian harus dipercepat. Jangan sampai keturunan kalian hadir sebelum kalian menikah!"

Leonard mengangkat sebelah alisnya bingung, namun tidak mengatakan apapun untuk menyangkal. Wajahnya terlihat lebih berseri tanpa semua orang tahu.

Suasana di kediaman D'Axelo bertolak belakang dengan mansion sederhana milik Jordie, pagi ini ruang makan di mansion Jordie mendadak ramai karena ada Lovanna, Jemie, dan Belle yang baru datang. Jordie tampak tak mengeluh akan suasana kediamannya yang biasanya sepi, berubah menjadi sangat cerah karena celotehan sahabat-sahabatnya itu.

Para pelayan memasak banyak makanan untuk teman-teman tuan mereka, mulai dari kue-kue kering hingga daging panggang sudah tersedia di meja makan. Hal itu membuat jiwa-jiwa rakus Jemie menggelora.

Dari raut wajahnya saja, semua sudah tahu seberapa bahagianya Jemie saat ini. Pria itu memang punya nafsu makan yang besar, tidak heran lagi jika dua paha ayam sudah tergeletak manis di piringnya bersama makanan lain.

"Ah, aku jadi ingin punya rumah!" teriak Jemie dengan keras setelah menelan habis satu paha ayam, menyisahkan tulangnya yang ia buang sembarang arah.

Tentunya hal itu mengundang pukulan kipas dari belle yang memang duduk di sebelah Jemie, gadis itu menatap jijik pada sahabatnya.

"Beli saja, kau kan kaya raya."

Jemie menoleh, ia menggeleng tak setuju. "Tapi itu merepotkan, aku harus bulak-balik dari kerajaan ke mansion, buang-buang tenaga. Lebih baik tinggal di istana."

Jordie menggeleng tak habis pikir. "Aku harap kau tidak menyesal, bung."

Jemie hanya tertawa mendengar ucapan Jordie, baginya itu bukanlah apa-apa. Tak lama ia menunduk, menatap piringnya yang semula penuh kini kosong dan bersih. Lalu kembali mendongak, kali ini bukan menatap Jordie melainkan menatap Lovanna yang berada di sebelah Jordie.

"Sekarang bisa kau jelaskan pada kami apa yang terjadi, Vava?"

Suara tawa Lovanna dan Belle mendadak senyap, Jordie yang asik menyimak bahkan sampai menegang kaku. Saking asiknya bercengkrama, mereka sampai lupa dengan tujuan utama kedatangan mereka pagi-pagi buta ke kediaman Jordie.

"Jemie," peringat Jordie.

Pria itu menatap penuh peringatan pada Jemie, mereka masih berada di ruang makan. Tempat yang sangat tidak cocok dengan topik sensitif tersebut. Terlebih wajah Lovanna tak secerah beberapa detik lalu, gadis itu membuang wajah ke sembarang arah dan enggan menatapnya.

Lalu Belle yang tidak tahu persis apa yang terjadi berusaha mencairkan suasana. "Guys, tenang oke. Kita akan bahas ini setelah sarapan, jangan terburu-buru. Ayo, lanjutkan sarapan kalian."

Ketika melihat wajah Lovanna tidak semendung tadi, barulah Belle bernapas lega dan kembali duduk. Ia memukul kepala Jemie dengan sendok saking kesalnya, tidak peduli dengan Jemie yang melotot tak terima.

"Dimana kita akan bicara?" balas Jemie

Belle yang hendak memakan rotinya sontak kembali meraih sendok dan memukul Jemie, sayangnya pria itu sudah memprediksi hal tersebut, jadi bisa dengan mudah mengelak.

Mata semua orang langsung menatap ke arah suara kursi yang berderit, Lovanna berdiri dari duduknya. "Aku sudah selesai," ujarnya lalu pergi.

Semua orang masih terdiam, melihat kearah perginya Lovanna.

Kali ini bukan hanya Belle yang menyerang Jemie, tapi juga Jordie. Ketiga orang dewasa itu berlarian memutari ruang makan, yang satu berusaha lari, dan dua lainnya mengejar.

"Ampuuuun!"

Be Duke Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang