2. Sekilas Rinai

252 59 56
                                    

Punya klien masih anak sekolah memang tantangan besar untuk Ariel. Selain banyak mau, mereka juga terlalu mudah terbawa perasaan. Ariel yang gemar menggoda, salah-salah bisa diartikan benar-benar oleh mereka. Repot.

Maka untuk kali ini, Ariel tidak banyak bicara. Terlebih kini sudah ada Kania yang harus dijaga hatinya.

"Ri, giliran kamu foto sendirian di kasur. Buka satu aja kali, Ri, kancing kemejanya," seru Tabita pada Rinai.

Anak-anak itu melakukan pemotretan untuk acara pentas seni nanti. Kelompok mereka memilih fotografi dengan model mereka sendiri. Entah apa yang mereka jadikan tujuan sebenarnya.

"Kalau nggak dibuka emang kenapa, Bita. Aku nggak nyaman buka-bukaan," ujar Rinai yang merasa risi kalau harus berpakaian terbuka di depan Ariel. Dia tidak terlalu suka akan kelakuan Ariel.

Sedari awal pemotretan, Ariel tangannya mudah sekali memegang-megang pinggang dan pinggul kawan-kawan Rinai. Ariel juga ucapannya sungguh meresahkan. Padahal andai Rinai tahu, biasanya Ariel bisa lebih parah dari ini.

"Udalah, terserah Rinai aja mau gaya kayak gimana. Lagian muka dia itu fotogenik. Dia diem aja hasilnya jadi bagus," ujar Ariel yang sudah siap dengan kameranya.

"Aaaa, cie Rinai dipuji Kak Ariel!" seru kawan-kawan Rinai ramai.

Rinai sendiri tak tersanjung sedikit saja. Dia malah meminta Ariel lekas memotret dirinya agar kegiatan hari ini bisa cepat selesai.

Setelah pemotretan berakhir, mereka semua langsung menuju halaman rumah Tabita. Di sana mereka pesta barbeque dengan bd Ariel yang juga diajak turut serta.

Rinai menjadi satu-satunya orang yang tidak antusias. Dia lebih banyak diam dan ketika makan pun seadanya saja. Gadis itu sedang bingung harus memberikan penjelasan apa nantinya pada kedua orang tuanya. Rinai kali ini tidak diikutsertakan dalam Olimpiade Matematika. Padahal ketika SMP, gadis itu selalu menjadi bintangnya.

"Nggak kebayang gimana murkanya mama sama papa ke aku. Aku udah capek banget kalau harus dipukulin, dicaci maki. Udah capek banget dengernya," jerit Rinai dalam hati.

Rinai anak pasangan Aldi dan Rieke, sosok-sosok yang mempunyai peranan penting di kursi DPR saat ini. Rinai pastikan dirinya adalah anak kandung Aldi dan Rieke, tetapi mengapa perlakuan kedua orang tua Rinai padanya sangat kasar dan dingin.

"Masa nggak ada kegiatan ekstrakurikuler yang kamu ikuti, sih, Rinai? Apa yang mau kami banggakan nanti di hadapan saudara-saudara kalau kita kumpul?"

Protes dari Rieke masih selalu terdengar jelas di telinga Rinai. Padahal ucapan itu Rieke lontarkan saat Rinai kelas tujuh. Kala itu Rinai bilang tidak mau ikut ekstrakurikuler sebab lelah hanya dengan kegiatan sekolah juga.

"Kamu disekolahkan di tempat mahal itu artinya kamu harus beda sama anak yang sekolah di sekolah negeri biasa, Rinai. Kamu harus beda sama anaknya Tante Anggara, kamu juga harus beda dari anaknya Om Irwin. Jangan biasa-biasa saja."

Kali ini, Rinai seolah-olah mendengar sang papa bicara. Ah, kenapa berat rasanya jadi anak dari mereka berdua. Rinai tidak boleh melakukan kesalahan, nilai Rinai tak boleh B, harus selalu A. Sampai-sampai, Rieke dan Aldi lebih mementingkan Rinai masuk les sana sini ketimbang memperhatikan kesehatan putrinya. Mereka tidak tahu kalau Rinai kerap kejang-kejang. Atau mereka justru tidak mau tahu.

"Hey, kok, nggak ikut temen-temennya berenang?"

Suara Ariel memecah lamunan Rinai. Pria itu duduk di samping Rinai sambil menyerahkan segelas syrup leci.

"Makasih, Kak," ujar Rinai sambil mengambil gelas yang Ariel sodorkan.

"Kenapa nggak ikut mereka nyebur, Rinai?" tanya Ariel lagi ketika Rinai tak kunjung menimpali ucapannya yang pertama.

"Males, Kak. Lagi haid juga." Rinai lantas menyeruput syrup lecinya. Hanya sedikit, bahkan tidak sampai ke tenggorokan sepertinya.

"Ya udah, gue balik, ya. Bilang ke temen-temen lo nanti kalo fotonya udah jadi gue kabarin," kata Ariel lantas berdiri lalu mengulurkan tangan pada Rinai. "Gue Ariel, btw. Nyapa, ya, kalau nanti kita ketemu di jalan," sambung pria itu membuat Rinai menyambut uluran tangannya.

"Iya, Kak Ariel. Sampai ketemu lagi," sahut Rinai lantas melepaskan tangan Ariel.

Ariel tersenyum, ia tepuk bahu Rinai beberapa kali lantas melesat pergi membawa serta ransel dan kameranya.

"Pantes tadi anak-anak nyaman banget deket-deket dia, ramah banget orangnya. Terlalu ramah, bahaya," gumam Rinai lantas merapikan ponsel dan ikat rambutnya ke dalam tas. Gadis itu berniat untuk pulang saja.

Rinai pamit pada Tabita dan yang lain, ia merasa lebih baik tidur siang di rumah sebelum nanti sore disidang oleh Aldi dan Rieke perihal dirinya yang tidak terpilih sebagai peserta Olimpiade. Sampai rumah, keadaan tentu sepi. Kakak perempuan Rinai, Raisa, sedang kuliah. ART di rumah tersebut juga sedang di ruangan belakang di jam-jam seperti ini.

Sebelum ke kamarnya, Rinai lebih dulu mengambil apel dari atas meja makan. Baru saja dia akan cuci buah tersebut, lengannya lebih dulu dijegal seseorang.

"Bisa-bisanya kamu nggak dipilih jadi peserta Olimpiade di sekolah, Rinai? Siapa yang nilainya lebih besar dari kamu, hah?" Aldi menepis kasar dan kuat lengan Rinai setelah barusan dia pegangi cukup erat.

Rinai sampai terjerembab, perutnya menghantam meja makan. Sakit, sudah tentu.

"Apa kamu nggak mencontoh kakak kamu, Rinai? Kamu ini sebenarnya sekolah ngapain aja, hah? Untuk apa Mama kasih kamu fasilitas mewah, makanan bergizi kalau untuk Olimpiade aja kamu nggak bisa ikut?" Rieke ikut bicara.

Sumpah, ya, mereka sebenernya kenapa, sih? Kenapa jahat banget sama aku? Kenapa seolah-olah aku harus kasih timbal balik ke mereka. Padahal aku ini anak mereka. Mereka yang lahirin aku ke dunia ini.

"Nggak bisa jawab, kan, kamu?" Aldi teriak sambil menjambak rambut Rinai.

"Kamu pacaran, ya, Rinai? Iya, kamu main laki-laki?" tanya Aldi dengan nada merendahkan. "Sekali Papa tau kamu punya pacar, Papa usir kamu dari rumah," sambung pria itu lantas melepaskan kepala Rinai dengan kasar.

Rinai luruh ke atas lantai. Cacian seperti ini bukan sekali dua kali Rinai terima. Perlahan kaki Rinai keram, kaku hingga ke perut. Untuk selanjutnya Rinai merasa mengantuk. Matanya terpejam, tetapi tak lama kemudian dia merasa tubuhnya diguncang hebat. Gadis itu kejang, kejang untuk ke sekian kalinya.

"Akting terus sampai mampus."

Rieke melihat keadaan Rinai itu, tetapi sedikit saja dia tak merasa kasihan. Baginya melahirkan Rinai adalah petaka, yang Rieke dan Aldi harapkan adalah seorang putra, tetapi yang hadir ke dunia malah Rinai, si anak perempuan. Sungguh di luar rencana dan hanya menyusahkan. Begitu pikir keduanya.

***

Jangan lupa vote sama komennya, ya, Gais. Biar aku makin semangat up date di sini. Sampai jumpa di bab selanjutnya.

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang