4. Keputusan Rinai

241 55 48
                                    

"Bukan, Ma

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bukan, Ma. Itu bukan punya Rinai. Itu puny__"

"Iya, itu punya aku. Tespek itu punya aku!"

Satu kalimat pendek dari Rinai itu mampu membuat Rieke membabi buta. Ia hajar Rinai habis-habisan mulai dari menendang perut gadis itu hingga tersungkur kemudian rambut Rinai dirinya jambak sampai akhirnya kepala Rinai dibenturkan ke lantai oleh Rieke.

Adli diam saja, matanya sedari tadi hanya menatap nyalang pada perbuatan sang istri. Adli rasanya sudah kehabisan energi sekadar untuk mengumpat Rinai.

"Saya beri waktu satu minggu sampai kamu pertemukan saya dengan pria brengsek itu, Rinai!" seru Adli pada akhirnya lalu mengajak Rieke pergi saja.

Rinai yang ujung bibirnya berdarah, tetap tersenyum ketika Raisa meraih tubuhnya untuk beranjak. Raisa papah Rinai untuk masuk ke kamar, tanpa patahan kata, Raisa bersihkan darah di ujung bibir Rinai dengan kapas basah.

"Kenapa kamu malah ngakuin semua itu, Ri? Aku, tuh, pulang mau ngejelasin semua ini ke mama papa, kamu kenapa malah mau-maunya jadi kambing hitam?" tanya Raisa dengan suara lirih.

"Kasian mama papa, Kak. Mereka menaruh harapan besar sama Kakak. Sedang sama aku, sejak pertama aku lahir ke dunia aja mereka anggapnya aku sebuah kesalahan.

"Kalau harus menoreh benci, biarkan mama papa membenci aku sebanyak-banyaknya saja. Biar mereka nggak makin merasa gagal jadi orang tua, Kak." Rinai raih tangan Raisa yang sedang mengusap pipinya. "Dia berapa week, Kak?" tanya Rinai sambil melihat ke arah perut Raisa. "Hey, Sayang. Baik-baik di sana, ya." Rinai kemudian mengusap perut Raisa.

Si calon bayi dalam perut Raisa tidak salah. Dia berhak disayang semua orang yang ada di sekelilingnya.

"Dia masih sebesar biji kacang tanah, Ri. Aku belum USG, baru berani tespek setelah sadar nggak datang haid bulan kemarin," ujar Raisa pelan.

Rinai tersenyum, ia genggam tangan Raisa dengan erat. "Jangan benci sama diri Kakak sendiri, ya, Kak. Jangan hukum diri Kakak. Aku bakal terus nemenin Kakak, juga Peanuts."

"Aku takut, Rinai. Aku tadinya mau gug__"

"Kakak, please jangan diterusin. Peanuts nggak boleh denger kata-kata itu. Dia bakal lahir ke dunia ini. Dia bakal punya aku sama Kakak yang sayang sama dia."

Bukan, Rinai bukan membenarkan kelakuan Raisa. Jelas saja Raisa sudah menyalahi norma dan agama, tetapi apa harus Rinai memaki Raisa. Biar saja dosa Raisa dia urus dengan Tuhan, sebagai sesama makhluk-Nya, Rinai hanya ingin menjadi sandaran bagi Raisa saat ini.

"Kuliah aku gimana, Ri? Aku takut ngelanjutin ini semua," kata Raisa yang belakangan ini sangat stress.

"Kuliah Kakak harus tetap lanjut, Kak. Aku bakal nemenin Kakak, kita bisa, Kak. Mama papa juga jarang, kan, telpon Kakak. Mereka juga jarang minta Kakak pulang, kita bisa sembunyikan ini semua, Kak. Aku jamin," kata Rinai membesarkan hati Raisa.

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) Where stories live. Discover now