13. Pengakuan Rinai

145 49 69
                                    

Hay, Assalamu'alaikum. Terima kasih sebelumnya sudah memilih "Rinai Terakhir" sebagai bacaan. Kalau teman-teman merasa karya ini layak untuk dibaca banyak orang, bantu aku share karya ini ke kawan temen-temen semua yang suka baca juga boleh, dooong?

Oh, ya, yang belum follow akun author, dipersilakan follow dulu, ya. Jangan lupa tambahkan "Rinai Terakhir" ke perpustakaan temen-temen atau ke reading list-nya temen-temen.

Kasih tau aku kalau ada typo, ya.

Jangan lupa berikan komentar juga untuk karya ini. Votenya juga jangan lupa, ya. Tinggal pencet bintang sampai berubah orens kurasa nggak syulit, ya, hihihi

***

Sepakat pergi bersama Ariel, Rinai lekas berkemas untuk bekal perjalanan mereka. Rencana awal mereka untuk naik kereta, akhirnya digagalkan oleh Ariel sendiri. Pria itu mengajak Rinai naik mobil saja. Ariel ingin merasakan sensasi menyetir yang jauh katanya.

Setelah memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas, Rinai jadi ingat apakah Ariel sudah berkemas juga. Perempuan itu akhirnya kembali mengirim pesan pada Ariel, ia katakan dirinya siap membantu Ariel mengepak pakaian mengingat mereka akan pergi besok siang.

Kak Ariel
[Ya udah sini ke kamar, kebetulan gue bingung mau bawa baju apa]

Rinai akhirnya ke kamar Ariel, ia dapati pria itu sedang duduk di pinggir tempat tidur dengan tas besar di atas pangkuan.

"Bingung, Ri, cara ngepak bajunya. Elo aja, deh, yang tentuin."

Begitu kata Ariel, Rinai hanya tertawa. Selanjutnya ia tapis memilah baju mana yang cocok untuk dibawa.

"Tinggal pakaian dalamnya, Kak Ariel masukin sendiri, ya. Aku balik dulu ke kamarku," ujar Rinai dan Ariel setuju.

Esoknya, Bu Rosmia cukup kaget ketika Ariel bilang akan mengantarkan Rinai ke Malang. Sikap Ariel cukup membuat Bu Rosmia terharu.

"Kita mampir sebentar ke studio nggak apa, kan, Ri? Gue mau ambil jaket sama airbuds ketinggalan di sana," cetus Ariel setelah dirinya dan Rinai pamit pada Bu Rosmia dan siap berangkat.

"Iya, Kak. Aku ok aja," jawab Rinai.

Perempuan itu tampak lucu di mata Ariel, Rinai memakai celana kargo krem dengan kaus putih yang dilapisi jaket baseball senada dengan bawahan yang dikenakan. Rambut panjangnya diikat asal dengan membiarkan beberapa helai menjadi hiasan di bagian depan.

"Jangan kaget, ya, nanti kalau temen-temen gue pada berisik," kata Ariel pada Rinai saat mereka dalam perjalanan.

"Nggak apa, Kak. Aku bisa adaptasi," jawab Rinai.

Benar apa kata Ariel, tiba di studio dengan tampilan bangunan yang sangat instagramable, Ariel dan Rinai disambut beberapa orang pria dengan heboh. Mereka sebetulnya sudah bertemu Rinai, tentu di hari akad pernikahan tempo hari.

"Tunggu bentar, ya, Ri. Gue ke atas dulu."

Ariel membiarkan Rinai menunggu di lantai bawah, dekat meja kasir tepatnya. Sementara itu, kawan-kawan Ariel yang hari ini bertugas di studio, ramai-ramai mengikuti langkah Ariel.

"Riel, imut banget istri lo. Kasian gue nggak bisa bayangin pas si Ariel menggagahi dia," celetuk salah satu kawan Ariel.

"Otak lo, San. Sekamar sama dia aja gue kagak. Mana boleh lagian gue begituan sama dia. Dia lagi ngandung bayi cowok lain, pikiran lo aneh-aneh aja!" bentak Ariel kesal.

"Tapi, Riel, kan__" Pria bernama Isan itu tak melanjutkan ucapannya sebab ingat bahwa rahasia yang dilontarkan Alka, tidak boleh diketahui Ariel.

Iya, semua tahu bahwa Rinai tidak hamil dan Ariel, kawan mereka bukan pria bejat yang tega merusak anak gadis orang sejauh itu. Dia memang kadang-kadang di luar batas, tetapi tetap tahu aturan.

"Gue nggak masuk beberapa hari, ya. Mau nganterin Rinai ke Malang. Tugas gue ngedit aja, kalau butuh bantuan kalian bisa kirim foto ke gue. Gue bawa laptop, kok," ujar Ariel setelah jaket dan airbuds-nya ia dapatkan.

Kembali ke lantai bawah, Ariel lihat Rinai sedang bicara dengan seorang cowok yang sepertinya seusia dengan perempuan itu. Rinai tampak risi ketika si cowok hendak mengusap kepalanya.

"Wow, siapa, nih?" seru Ariel langsung membuat Rinai berdiri.

Perempuan itu mendekati Ariel dan sekonyong-konyong memeluk lengan pria tersebut.

"Ini cowok aku, Gas," kata Rinai kaku.

Ariel paham, sepertinya cowok di hadapannya suka pada Rinai. Menyempurnakan akting Rinai, Ariel balas merangkul pinggang istrinya itu penuh posesif.

"Dia siapa, Yang?" tanya Ariel dengan santainya mengecup dahi Rinai.

"Temen sekolah aku, Kak," jawab Rinai dengan suara bergetar, ia tidak siap diperlakukan seperti ini oleh Ariel.

"Ada perlu apa dia sama kamu?" tanya Ariel lagi kali ini sambil beralih menggenggam tangan Rinai.

"Nggak ada, dia justru ada perlu sama salah satu fotografer di sini. Kita berangkat sekarang aja, yuk, Kak?" Rinai melihat ke arah Ariel, pupil matanya bergetar dengan wajah merah alami. Ariel tertawa gemas dibuatnya. Rinai benar-benar lucu yang sesungguhnya.

"Agas, duluan, ya. Sekali lagi, sorry," kata Rinai pada cowok bernama Agas itu.

Agas tergamam, ia kira soal Rinai yang bilang sudah punya pacar hanya bualan belaka. Ternyata hari ini Rinai membuktikan ucapannya.

"Tadi siapa? Dia naksir elo?" tanya Ariel begitu dirinya dan Rinai sudah berada di mobil, mereka siap melakukan perjalanan jauh ini.

"Temen sekolah, Kak. Nggak satu kelas, sih," jawab Rinai jujur.

"Dia suka kayaknya sama elo."

"Akunya enggak, kak." Pernah suka, tapi aku berusaha nggak mendalami semua itu.

"Kalau dia nanti di sekolah bikin ulah, kasih tau gue. Matanya penuh dendam banget kayaknya," ujar Ariel yang sudah merekam sosok Agas dalam kepalanya.

"Aku bisa jaga diri, Kak. Aku nggak akan ngerepotin Kak Ariel untuk hal-hal kayak gini. Oh, iya, Kak, Mbak Kania tau nggak kita pergi?" tanya Rinai.

Bukan apa dia membahas soal Kania, barusan saja Kania mengirim Rinai pesan. Wanita itu mengancam agar Rinai tak menggoda Ariel. Kania tidak ikhlas kalau sampai Ariel dan Rinai tidur bersama nantinya.

"Nggak penting, kita pergi juga bukan urusan dia."

"Emang Kak Ariel nggak cinta sama dia?"

"Males gue sama dia. Susah dikasih tau. Apa-apaan coba pergi ke klub sama cowok lain sampe kobam, alasannya kecewa sama gue. Bocil banget pemikirannya."

Rinai tersenyum samar, Ariel sepertinya sedang curhat padanya.

"Kobam apaan, deh, Kak?" Rinai asing dengan kosa kata itu.

"Lo balik, deh, hurufnya. Sengaja gue balikin takut elo kaget."

Rinai langsung mengucapkan kata kobam itu, "Kobam, mab__"

Perempuan itu melihat ke arah Ariel sambil menutup mulutnya. Sejauh itu pergaulan Kania.

"Kaget, kan? Makanya gue juga kesel. Gue aja yang cowok nggak pernah minum-minum. Kecuali ngopi sama ngerokok."

"Ngerokok juga jangan, Kak. Kasian paru-paru kamu."

Ariel tertawa mendengar ucapan Rinai, lantas dia melihat ke arah perempuan itu.

"Dia sekarang berapa bulan, Ri? Bapaknya sebenarnya siapa?"

Rinai menelan ludah kuat-kuat, ia jelas tidak bisa menjawab pertanyaan Ariel.

Apa aku jujur aja, ya, soal Kak Raisa. Lalu nanti aku sama Kak Ariel bikin perjanjian aja. Kasian Kak Ariel kalau harus tau dari orang lain. Dia sebenarnya baik juga. Sama kayak mamah dan Danish.

"Lo nggak usah jawab kalau emang nggak nyaman. Sorry gue udah banyak nanya," kata Ariel setelah mendapati Rinai langsung menunduk barusan.

"Kak, kalau kamu dibohongin sama seseorang, kamu bakal maafin orang itu nggak?"

Rinai mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Ariel.

"Tergantung, apa dulu kebohongan yang dia lakuin."

"Aku udah bohong sama Kak Ariel."

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) Where stories live. Discover now