14. Janji Rinai

124 51 36
                                    

Hay, Assalamu'alaikum. Terima kasih sebelumnya sudah memilih "Rinai Terakhir" sebagai bacaan. Kalau teman-teman merasa karya ini layak untuk dibaca banyak orang, bantu aku share karya ini ke kawan temen-temen semua yang suka baca juga boleh, dooong?

Oh, ya, yang belum follow akun author, dipersilakan follow dulu, ya. Jangan lupa tambahkan "Rinai Terakhir" ke perpustakaan temen-temen atau ke reading list-nya temen-temen.

Kasih tau aku kalau ada typo, ya.

Jangan lupa berikan komentar juga untuk karya ini. Votenya juga jangan lupa, ya. Tinggal pencet bintang sampai berubah orens kurasa nggak syulit, ya, hihihi

***

Ariel mencengkeram kuat setir, mendengar Rinai bicara seperti barusan, jelas pikirannya berkelana ke mana-mana. Apa yang sebenarnya Rinai sembunyikan.

"Bohong apa? Lo emang bohong, kan, soal kehamilan ini? Baru nyadar lo?" gertak Ariel sambil melirik sinis Rinai.

"Bisa kita menepi dulu, Kak? Cari tempat buat ngobrol," usul Rinai yang merasa cara menyetir Ariel sudah tidak enak.

"Kalo ada hotel, gue mampir," seru Ariel dengan mata melirik ke kanan dan kiri.

What, hotel? Bisa kafe, kan? Rinai mencengkeram sabuk pengaman yang dirinya kenakan. Ariel terlihat marah padahal Rinai belum bicara apa-apa soal kebohongannya.

Kekhawatiran Rinai baru terurai mana kala Ariel tidak benar-benar mampir ke hotel. Pria itu membawa kendaraan menepi ke sebuah kedai kopi.

Tanpa patahan kata, Ariel turun dari mobil. Rinai kira, Ariel akan pergi meninggalkannya, tetapi justru ia yang membukakan pintu mobil untuk Rinai.

"Kita ngobrol di rooftop kafe ini," cetus Ariel sambil menarik pergelangan tangan Rinai.

Rinai tak berontak, meski ia harus bersusah payah menyamakan langkah dengan Ariel yang berjalan tergesa. Apalagi ketika menaiki tangga, Rinai cukup kikuk bergerak. Tangan Ariel sangat kuat memegang pergelangannya, sakit dirasakan Rinai di sana.

"Duduk!" kata Ariel ketika mereka tiba di rooftop.

Ada meja bulat dengan empat kursi kayu yang dinaungi payung besar di sana. Rinai duduk di salah satu kursi. Selanjutnya Ariel melakukan hal sama, caranya menyeret kursi sungguh memekakkan telinga Rinai.

"Kebohongan apa yang lo buat?" tanya Ariel, ia menghunus Rinai dengan tatapan tajam.

Kedua tangan Ariel mengepal di atas meja, gigi dalam mulutnya saling beradu kuat. Napas Ariel memburu, jelas dia sedang menahan gejolak amarah.

"Aku sebetulnya nggak hamil, Kak," kata Rinai memberanikan diri bicara.

Perempuan itu bingung harus memulainya dari mana, Rinai berusaha tenang saja. Meski ia sungguh takut akan respons yang Ariel berikan.

"Maaf aku udah seret Kak Ariel ke dalam permasalahan aku, Kak. Yang hamil itu kakak aku, aku terpaksa melakukan ini karena orang tua kami pasti nggak mau nerima," kata Rinai lagi lantang.

"Beraninya lo jadiin gue tumbal, Rinai?" kata Ariel dengan suara pelan, tetapi penuh tekanan.

"Lo tiba-tiba datang ke hidup gue bikin kacau semuanya. Gue punya cewek, Rinai dan karena ulah elo ini, gue terjebak sama hubungan rumit. Potensi gue nyakitin Kania gede banget dan semua gara-gara elo, Rinai!"

Ucapan penuh penekanan dari Ariel membuat Rinai menunduk. Ia jelas salah, meski menyesal pun kini tidak ada gunanya. Hari itu Rinai benar-benar kalut, diajak bekerja sama oleh Bu Rosmia bagaikan oase yang Rinai temukan ketika terjebak di gurun pasir gersang.

"Lo pengen jadi pahlawan buat kakak lo, tapi lo ancurin idup dua orang. Gue dan Kania, Rinai!"

Ariel membentak kasar Rinai. Ia bahkan menggebrak meja dan ulahnya itu membuat mata Rinai terpejam erat dan tubuh terperanjat.

"Elo, tuh, tampang lugu, tapi taunya penipu!" teriak Ariel sambil berdiri kemudian mengacak rambutnya. Pria itu benar-benar frustrasi.

"Dari awal, tuh, gue nggak percaya kalau elo hamil. Apalagi hamil sama gue, tapi bisa-bisanya mamah malah mihak elo dan nyeret gue ke dalam bencana ini," kata Ariel, kali ini dengan suara lirih.

Di bawah sana, sebetulnya ada Bu Rosmia. Hari ini, tepatnya setelah zuhur nanti, akan ada pengajian di sini. Kegiatan tersebut diadakan satu bulan sekali.

"Beneran, Tante. Tadi Ariel bawa istrinya naik ke rooftop. Orin nggak salah lihat," kata salah satu karyawan kafe yang bernama Orin.

Bu Rosmia sedang ke toilet ketika Orin melihat Ariel bersama istrinya jalan menuju tangga. Namun, bisa dengan jelas Orin lihat raut wajah Ariel sungguh dihias amarah.

"Ya, sudah. Tante mau coba naik ke atas. Tante mau memastikan semuanya," ujar Bu Rosmia lantas berjalan dengan kaki terasa berat menaiki anak tangga.

"Kalau udah gini mau elo gimana, Rinai? Semua udah telanjur. Hubungan gue sama Kania jadi nggak jelas, padahal dia minta waktu empat bulan buat gue nikahan. Tapi, kalau udah kayan gini, gimana?"

Teriakan Ariel bisa didengar oleh Bu Rosmia kali ini. Wanita itu tebak, Ariel sudah mengetahui apa yang dirinya dan Rinai sembunyikan dari pria itu.

"A, Aa jangan pukul Rinai!"

Bu Rosmia berteriak ketika melihat tangan Ariel terangkat. Namun, Ariel sebetulnya bukan mau menampar Rinai, ia hanya ingin meninju udara di hadapannya sebagai pelampiasan rasa kesal.

Bu Rosmia lekas memeluk Rinai yang badannya gemetaran. Rinai sering dimarahi oleh Adli dan Rieke, tetapi entah kenapa mendapati Ariel marah padanya, membuat Rinai sungguh takut.

"Mamah nggak usah belain dia lagi, Mah. Dia udah nipu kita!" Ariel kembali bicara. Kesal rasanya melihat sang mamah begitu perhatian pada Rinai.

"Dia nggak hamil, Mah. Dia udah bohongin kita, dia udah hancurin hidup Aa," kata Ariel lagi puas.

"Mamah, A. Mamah yang suruh Neng Rinai melakukan ini!"

Bu Rosmia balas berteriak. Ia mendekati Ariel dan berdiri di hadapan putranya itu.

"Rinai sebenarnya sempat menolak saat Mamah tawarkan rencana ini, tapi Mamah yang bujuk dia. Mamah cuman ingin anak Mamah punya istri yang baik dan Rinai memenuhi semua itu menurut Mamah."

Bu Rosmia lantas menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk ketakutan dirinya akan kelakuan Ariel yang suka coba-coba dengan kaum hawa.

"Rinai nggak dapat perlakuan baik dari mama papanya. Dia selalu dipandang sebelah mata. Rinai hanya ingin menjadi tameng bagi sang kakak. Karena Rinai merasa dirinya nggak bisa jadi kebanggaan mama papanya sementara kakaknya bisa.

"Di sini Rinai yang justru jadi korban. Dia korban ambisi mama papanya, juga korban atas keinginan Mamah yang mau Aa fokus sama satu perempuan dalam ikatan pernikahan. Mamah yang memanfaatkan keadaan Rinai, dia hari itu justru menolak karena nggak mau bawa-bawa Aa ke dalam kehidupan rumitnya," jelas Bu Rosmia dengan suara makin pelan di akhir kalimatnya.

Rinai sendiri yang masih duduk di kursinya, kini tengah tertunduk lesu dengan tangisan hebat. Dia tidak akan menyalahkan Ariel, karena pria itu memang tidak salah. Ariel bahkan harusnya berhak marah lebih besar dari ini.

Aku pantas mendapatkan ini semua, kan? Aku emang dari awal udah ngambil jalan salah.

"Aku tau, Kak, kata maaf aku udah nggak ada gunanya lagi sekarang. Tapi, aku  tetep pengen bilang itu. Maafin aku, Kak Ariel. Aku janji, aku akan pergi dari hidup Kak Ariel setelah kakakku melahirkan. Aku nggak akan ada lagi di sekitar Kak Ariel setelah itu. Aku akan hilang dari jangkauan Kak Ariel. Kak Ariel nggak akan nemuin aku di mana pun nantinya."

Rinai pada akhirnya bicara meski suaranya terbata-bata. Ia hanya berpikir, selama beberapa bulan ini, dia bisa menebus kesalahannya pada Ariel sambil menunggu Raisa melahirkan. Nanti dia akan bilang pada Adli dan Rieke kalau dia dan Ariel bercerai dan Raisa yang menolong dirinya dan bayi itu. Hanya itu tujuan Rinai.

Mama sama papa nggak boleh kecewa lagi, apalagi sama Kak Raisa. Kasian mereka.

"Gue sekarang makin yakin, baik sama bego itu beda tipis!" teriak Ariel membuat lengannya dipukul Bu Rosmia.

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) Where stories live. Discover now