16. Tertawalah

130 54 46
                                    

Hay, Assalamu'alaikum. Terima kasih sebelumnya sudah memilih "Rinai Terakhir" sebagai bacaan. Kalau teman-teman merasa karya ini layak untuk dibaca banyak orang, bantu aku share karya ini ke kawan temen-temen semua yang suka baca juga boleh, dooong?

Oh, ya, yang belum follow akun author, dipersilakan follow dulu, ya. Jangan lupa tambahkan "Rinai Terakhir" ke perpustakaan temen-temen atau ke reading list-nya temen-temen.

Kasih tau aku kalau ada typo, ya.

Jangan lupa berikan komentar juga untuk karya ini. Votenya juga jangan lupa, ya. Tinggal pencet bintang sampai berubah orens kurasa nggak syulit, ya, hihihi

***

Meski saran dari Ariel terdengar sungguh mudah dilakukan, bagi Rinai semua itu tetap akan sulit. Memang terdengar klise, tetapi bagi Rinai melihat orang tua dan kakaknya tidak kesulitan justru adalah kebahagiaannya.

Mudah bagi Ariel mengatakan bahwa jadi egois itu perlu agar jiwa tetap waras. Namun, bagi Rinai yang tak biasa melakukannya akan sangat mengganjal di hati.

"Gue mau cari hotel aja, ya? Lo mau ikut atau gimana?"

Sekarang sudah pukul 08.00, kantuk mulai menggerayangi mata Ariel. Namun, ia rasa dirinya tidak mungkin tidur di indekos Raisa.

"Kalau aku di sini aja, Kak Ariel marah, nggak?"

"Kagaklah, ngapain marah. Cuman nanti pas jam makan siang dan solat zuhur, telepon gue, ya. Gue takut bablas ketiduran," cetus Ariel lantas ia pergi dari indekos Raisa.

"Ariel keliatanya kayak cowok baik-baik, Ri," ujar Raisa setelah Ariel benar-benar pergi dari indekosnya.

"Memang dia baik banget, Kak. Kukira dia bakal marah besar setelah aku bohongin, ternyata dia cuman emosi sebentar abis itu malah nyempetin nganter aku ke sini. Baik banget memang, Kak," terang Rinai sambil matanya menerawang ke langit-langit kamar. Rinai dan Raisa sedang sama-sama merebahkan diri di atas tempat tidur kini.

"Kamu nggak ada rasa suka gitu sama dia. Selain baik, anaknya juga lumayan lucu. Enak diliat juga wajahnya." Raisa melirik Rinai yang kini matanya terpejam.

"Aku nggak mau mikirin hal-hal kayak gitu sebelum sukses punya kerjaan, Kak. Mau fokus sekolah aja dulu. Sama mungkin nanti cari kerjaan yang bagus."

Ucapan Rinai laksana tamparan bagi Raisa. Di mana dulu ketika dirinya masih duduk di bangku SMP saja, Raisa sudah mulai berpacaran. Akan tetapi, Rinai malah tidak mau memikirkan hal itu.

"Kalau misal Arielnya yang suka ke kamu, gimana?"

Dengan mata berlapis selaput bening, Raisa bicara sambil menatap Rinai. Wanita itu jadi teringat, bagaimana kedua orang tuanya memperlakukan Rinai.

Ma, Pa, padahal yang harusnya kalian banggain itu, ya, Rinai.

"Ngga bakal, Kak. Kak Ariel bahkan punya pacar. Oh, ya, Kakak udah periksain dia ke dokter atau minimal ke bidan, Kak?"

Rinai membuka matanya dan menoleh ke arah Raisa. Raisa cepat-cepat buang muka, ia tak mau Rinai melihatnya dalam keadaan mata yang berkaca-kaca.

"Ya, kemarin itu aku udah ke dokter. Dia baik-baik aja."

Ucapan Raisa membuat Rinai menggerakkan tangan dan mengusap perut Raisa. Ajaibnya kekuasaan Tuhan, bisa membuat Rinai begitu mencintai sosok yang bahkan belum memiliki rupa.

"Nanti dia mau kita namain siapa, Kak?" ucap Rinai pelan.

"Hujan."

"Iya, di luar memang hujan."

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) Where stories live. Discover now