22. Semoga Hanya Mimpi

131 43 39
                                    

Tiba di rumah, Rinai disambut histeris oleh Ariel. Pria itu membawakan Rinai handuk dan membantu perempuan tersebut mengeringkan rambut dan badannya.

"Siapa suruh hujan-hujanan, hah?" sentak Ariel sambil terus menggasak rambut Rinai dengan handuk.

"Kan, bisa naik taksi. Atau chat gue, kek. Kenapa malah naik ojek begini? Gue marahin, deh, nanti ojeknya. Kalau ujan, tuh, harusnya nggak usah narik," sungut Ariel beralih mengusap pipi Rinai. "Bibir lo sampe biru gini. Lupa sama sakit, hah?"

Selanjutnya Ariel mengeringkan badan Rinai juga. Ia lap seluruh tubuh berbalut seragam yang basah itu dengan handuk yang sudah tak kering sempurna.

"Mandi sana pake aer anget. Nanti gue bikinin minuman anget," kata Ariel lantas meninggalkan Rinai begitu saja.

Bukan apa, Ariel hanya ingat kejadian tempo hari saat Rinai datang padanya dengan keadaan seragam basah kuyup. Ia takut dirinya lepas kontrol seperti hari itu.

Rinai sendiri masih bingung, bukannya barusan Ariel bilang dia sedang dengan Kania. Kenapa sekarang tiba-tiba ada di rumah dan marah pada Rinai sebab perempuan itu hujan-hujanan. Sepertinya ada yang harus Rinai selidiki setelah ini.

Ariel sendiri sibuk di dapur membuat teh manis. Hanya satu gelas minuman yang dia buat itu, tetapi kegiatannya mampu membuat dapur berantakan. Ariel memang tak berbakat mengerjakan semua itu.

"Semoga cocok di lidah Hujan," gumam Ariel lantas pergi dari dapur menuju kamar Rinai dengan nampan berisi teh manis di tangan.

Setelah Ariel mengetuk beberapa kali pintu bercat putih itu, si empunya kamar lantas membuka benda tersebut dari dalam. Rinai kini sudah berganti pakaian. Perempuan tersebut memakai kaus lengan panjang dengan celana kargo yang juga panjang. Di kepalanya masih ada handuk sebagai penutup rambut basah.

"Jangan lagi diulang buat hujan-hujanan, Ri. Meski dengan alasan lo suka hujan, bukan berarti lo bisa tahan sama dinginnya. Nggak usah so kuat," kata Ariel sambil berjalan ke arah meja rias di kamar Rinai dan menaruh nampan berisi teh manis di sana.

"Kenapa juga tadi lo ga chat gue? Kan, bisa, minimal bilang lokasi lo di mana. Kalau gue nggak bisa jemput, nanti gue pesenin taksi buat lo. Nggak usah so independen, deh. Lo tuh punya suami," cecar Ariel membuat mata Rinai membulat sempurna.

"Tadi aku udah chat Kak Ariel sebenernya, Kak," kata Rinai dengan suara pelan.

"Nggak ada, nggak usah membela diri. Salah, ya, salah aja. Udah, minum sana teh manisnya. Gue ada kerjaan ngedit foto, kalau lo udah selesai minum nanti temuin gue di kamar gue. Ada sesuatu yang mau gue kasih ke elo," kata Ariel langsung pergi tanpa memberi Rinai kesempatan untuk menimpali ucapannya.

"Kok, aneh, ya? Tadi Kak Ariel bilang lagi sama Mbak Kania. Ini sebenarnya ada apa, sih?"

Rinai geleng-geleng lantas segera meraih gelas berisi teh manis buatan Ariel. Sungguh, rasanya terlalu manis. Akan tetapi, Rinai mencoba menghabiskan semua itu. Bagaimana pun dirinya harus menghargai usaha Ariel.

Selesai menghabiskan teh manisnya, Rinai pergi menemui Ariel. Pria itu tampak sedang fokus dengan laptopnya.

"Kak, aku masuk, ya," kata Rinai yang melongok dari daun pintu.

"Iya, sini masuk aja," teriak Ariel sambil melihat sekilas ke arah Rinai.

Rinai lantas berjalan ke arah Ariel yang duduk di atas karpet. Di hadapan pria itu ada meja yang di atasnya terdapat laptop tentu saja.

"Sebenernya ada apa, Kak, nyuruh aku ke sini?" tanya Rinai jadi sangat penasaran.

"Wait, gue save editan bentar, Hujan," kata Ariel yang kembali fokus ke layar laptopnya.

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) Where stories live. Discover now