21. Ulah Kania

117 42 22
                                    

Hay, Assalamu'alaikum. Terima kasih sebelumnya sudah memilih "Rinai Terakhir" sebagai bacaan. Kalau teman-teman merasa karya ini layak untuk dibaca banyak orang, bantu aku share karya ini ke kawan temen-temen semua yang suka baca juga boleh, dooong?

Oh, ya, yang belum follow akun author, dipersilakan follow dulu, ya. Jangan lupa tambahkan "Rinai Terakhir" ke perpustakaan temen-temen atau ke reading list-nya temen-temen.

Kasih tau aku kalau ada typo, ya.

Jangan lupa berikan komentar juga untuk karya ini. Votenya juga jangan lupa, ya. Tinggal pencet bintang sampai berubah orens kurasa nggak syulit, ya, hihi

***

Selesai bernyanyi, Rinai jelas kembali ke kursinya. Ariel memberinya tepuk tangan meriah lantas refleks bangkit dari duduk kemudian memeluk Rinai.

"Kan, apa kata gue, suara lo itu, bagus. Tadi orang-orang sampe vidioin elo, tau. Curiga besok vidio lo nyanyi bakal fyp, deh, di sosial media," kata Ariel pada Rinai setelah melepaskan pelukan atas diri perempuan tersebut.

"Dih, jangan ngaco. Lagian mana ada aku jadi fyp, siapalah aku ini, Kak?"

Rinai mengambil gelas es kopinya. Ia minum sebagai peralihan dari gugup sebab Ariel barusan memeluknya.

"Jadi orang itu harus percaya diri, Hujan. Jangan ragu sama diri sendiri. Kata mamah, kalau kamu merasa diri kamu nggak mampu, itu sama kayak dengan ngeraguin kebesaran Allah," tutur Ariel so bijaksana.

"Ngomongin apa, sih?" gumam Rinai kembali menyeruput es kopinya. "Lagian mana itu klien yang mau pemotretan? Katanya tadi ke sini karena mau pemotretan?" tanya Rinai selanjutnya membuat Ariel tepuk jidat.

"Lupa, klienku minta pindah tempat dadakan. Katanya mau di studio Madera aja. Kita jalan ke sana sekarang, yuk?"
Ariel duduk, ia seruput lebih dulu kopi dalam cangkirnya sampai tandas lantas kembali berdiri dan melihat ke arah Rinai yang geming.

"Ayo, Hujan. Ntar gue telat motret kalau elo malah diem gini," kata Ariel menyeru pada Rinai membuat perempuan itu lantas berdiri.

"Aku pulang aja naik ojol, ya, Kak?" kata Rinai sambil memakai tasnya.

"Lah, ngapa malah minta balik? Siapa juga yang bakal izinin lo balik? Lo pergi sama gue, kalau mamah liat lo balik sendiri, bisa digantung gue di poon jambu kristal si mamah,"

"Tapi, Kak, apa nggak malu, Kak Ariel kerja bawa-bawa aku?" Rinai merasa nanti dirinya akan mengganggu kegiatan Ariel dalam bekerja. Ia juga tak enak pada kawan-kawan Ariel di studio nantinya.

"Ngapain malu? Kan, yang gue bawa istri sah. Istri sendiri bukan istri orang lain," sahut Ariel membuat Rinai memukul lengannya.

"Kak Ariel kalau ngomong suka asal. Ya, udah, ayo kita pergi," kata Rinai.

Perempuan itu bahkan berjalan lebih dulu membuat Ariel tertawa dan lekas melangkah juga. Selama perjalanan, mereka tak saling bicara sebab Ariel sibuk mengobrol dengan seseorang lewat telepon. Rinai sendiri asik menikmati air hujan yang sedang mengguyur bumi.

Bagi Rinai, hujan selalu menjadi kawan yang paling baik. Gemuruhnya terasa dapat menyamai getar hatinya yang kerap banyak merindu. Merindu kasih sayang nyata dari kedua orang tua. Pun merindu keluarga ramai nan hangat.

"Hujan, mau makan apa dulu nggak, gitu. Sebelum kita sampe ke studio. Takutnya nanti gue sibuk motret dan lupa kasih lo makan," kata Ariel setelah selesai berbincang dengan kawannya via telepon barusan.

"Belum laper, Kak. Nanti lagian kalo laper aku bisa cari makan sendiri, Kak. Kakak nggak usah khawatir," sahut Rinai yang duduk nyaman bersandar pada kursi.

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) Where stories live. Discover now