19. Ancaman Baru

137 48 41
                                    

Hay, Assalamu'alaikum. Terima kasih sebelumnya sudah memilih "Rinai Terakhir" sebagai bacaan. Kalau teman-teman merasa karya ini layak untuk dibaca banyak orang, bantu aku share karya ini ke kawan temen-temen semua yang suka baca juga boleh, dooong?

Oh, ya, yang belum follow akun author, dipersilakan follow dulu, ya. Jangan lupa tambahkan "Rinai Terakhir" ke perpustakaan temen-temen atau ke reading list-nya temen-temen.

Kasih tau aku kalau ada typo, ya.

Jangan lupa berikan komentar juga untuk karya ini. Votenya juga jangan lupa, ya. Tinggal pencet bintang sampai berubah orens kurasa nggak syulit, ya, hihihi

***

Ariel membuktikan ucapannya, pada waktu di mana Rinai harus menjalani pemeriksaan EEG atau rekam otak, pria itu siaga membersamai Rinai. Tindakan ini menggunakan sensor khusus yaitu elektroda yang dipasang di kepala dan dihubungkan melalui kabel menuju komputer.

Ariel yang ikut masuk ke dalam ruangan EEG, bisa bebas melihat ketika seorang perawat memasangkan kabel berwarna-warni ke kepala Rinai.

"Sejak kapan sering kejang, Kak?" tanya perawat tersebut sambil terus melakukan kegiatannya.

"Lupa, Mbak. Sebetulnya nggak sering, hanya akhir-akhir ini aku emang lagi kurang baik aja jaga kesehatan," jawab Rinai.

Semalaman sesuai saran dokter, Rinai begadang. Ia benar-benar tidak tidur untuk syarat melakukan rekam otak hari ini.

"Berapa lama, Mbak, direkamnya?" tanya Ariel yang begitu setia berdiri di dekat kaki Rinai.

"Dua jam, Mas. Kalau Masnya mau pergi nggak apa nanti bisa ke sini dua jam lagi," sahut sang perawat.

"Iya, Kak. Kalau mau pergi, pergi aja. Dua jam, loh, Kak." Rinai ikut bicara.

"Nggak, gue tetep di sini. Dua jam nggak lama, kok," timpal Ariel.

Jujur saja, di saat Rinai tampak tenang, justru Ariel yang bimbang. Ia takut nanti Rinai malah kejang-kejang saat prosesi rekam otak berlangsung.

"Nanti kalau ngantuk, tidur aja, ya, Kak. Jangan ditahan. Yang penting Kakak jangan gerak-gerak agar nggak ada kabel yang lepas dari kepala," tutur sang perawat selanjutnya pada Rinai.

"Memangnya nggak apa-apa, Mbak, kalau tidur. Nggak akan bahaya?"

Bukannya Rinai yang menyahut, malah Ariel yang bertanya demikian. Rinai sampai melihat ke arah Ariel sambil tertawa.

"In Syaa Allah nggak akan kenapa-kenapa, Mas. Malah kalau Kakaknya tidur jadi lebih rileks," jelas sang perawat.

"Tapi, kalau tidur jangan lama-lama, ya, Hujan. Cepetan bangun lagi," celetuk Ariel sambil mengusap kaki Rinai yang terbungkus jins kulot.

"Kak Ariel mending duduk aja, deh. Atau mau sekalian direkam otaknya?" ujar Rinai membuat Ariel tertawa lantas ia kembali ke kursinya.

Dua jam menunggu Rinai, Ariel benar-benar hanya duduk dengan pandangan terus tertuju pada Rinai. Perempuan itu tidur, sementara sang perawat terus bolak-balik dari kursinya menuju layar komputer yang menampilkan sesuatu yang tidak Ariel mengerti apa.

"Kakak ini sering kejang kayaknya, ya, Mas," seru sang perawat dengan mata tertuju pada layar komputer, selanjutnya tangannya menuliskan sesuatu pada sebuah buku besar.

"Iya, Mbak. Lumayan sering," jawab Ariel.

Beruntung ia tahu dari Bu Rosmia bahwa Rinai memang sering kejang selama ini. Meski tidak sampai membuatnya terluka.

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) حيث تعيش القصص. اكتشف الآن