15. Kesepakatan

136 50 38
                                    

Hay, Assalamu'alaikum. Terima kasih sebelumnya sudah memilih "Rinai Terakhir" sebagai bacaan. Kalau teman-teman merasa karya ini layak untuk dibaca banyak orang, bantu aku share karya ini ke kawan temen-temen semua yang suka baca juga boleh, dooong?

Oh, ya, yang belum follow akun author, dipersilakan follow dulu, ya. Jangan lupa tambahkan "Rinai Terakhir" ke perpustakaan temen-temen atau ke reading list-nya temen-temen.

Kasih tau aku kalau ada typo, ya.

Jangan lupa berikan komentar juga untuk karya ini. Votenya juga jangan lupa, ya. Tinggal pencet bintang sampai berubah orens kurasa nggak syulit, ya, hihihi

***

Bu Rosmia pada akhirnya meminta perjalanan Ariel dan istrinya ke Malang ditunda saja, sebab pria itu masih dalam keadaan emosi. Bu Rosmia takut nanti Ariel lebih jauh lagi berkata di luar kendali pada Rinai.

"Aa pulang ke kontrakan aja, ya, Mah. Rinai sama Mamah dulu di sini. Nanti kalau pengajian udah beres, Aa ke sini lagi jemput kalian," kata Ariel pada akhirnya mengambil keputusan.

Sebelum Ariel benar-benar pergi, Rinai beranjak dari duduknya dan berdiri di samping kursi yang Ariel duduki.

"Maafin aku, ya, Kak. Kak Ariel hati-hati nyetirnya," ujar Rinai dengan tangan yang mengusap-usap kaku pundak Ariel.

"Di bawah ada cewek namanya Orin, nanti  minjem kerudung sama rok ke dia. Lo nggak mungkin pake baju kayak gitu saat pengajian nanti."

Ariel berdiri setelah bicara seperti itu, ia selanjutnya pamit pada Bu Rosmia dan mencium punggung tangan wanita yang melahirkannya tersebut.

Gue harus temuin Bang Alka mumpung dia lagi di rumah Teh Lala.

Tak jadi ke kontrakan, Ariel memilih mendatangi rumah Lala. Perkiraannya benar, Alka masih ada di sana tentu dengan anak dan istrinya.

"Gue dibohongin mamah sama Rinai, Bang," kata Ariel langsung mengadu pada Alka begitu sampai di sana.

"Bohong mereka demi kebaikan, Riel. Apa, sih, yang lo harepin dari cewek lo?" sahut Alka dengan santainya.

Hal tersebut membuat Ariel yang awalnya duduk bersandar pada sofa, beralih jadi tegak badannya. Ia melihat ke arah Alka dengan tatapan memicing.

"Jadi, lo juga udah tau, Bang?" Ariel memekik keras.

"Tau, dari awal bibi udah kasih tau gue sama ayang gue," jawab Alka datar.

"Bjiiir, Bang. Tega lo sama gue, Bang!"

"Justru gue pengen hidup lo makin terarah, Riel!"

Itu juga tadi yang diucapkan Bu Rosmia pada Ariel. Ya, Ariel selama ini memang selalu melakukan hal-hal baru. Ia penasaran dengan apa pun itu. Termasuk coba-coba dengan para gadis yang kerap menggodanya.

"Kasian mamah lo, Riel. Dia degdegan terus tiap lo keluar rumah. Takut anaknya yang mezum ini sam__"

"Atulah, Bang!" Ariel berteriak memotong ucapan Alka. "Gue, nih, lagi berusaha jadi baik, kalian tolong dukung, lah!" pekiknya kemudian.

Alka tertawa, ia baru kali ini melihat Ariel nelangsa. Setelah selama ini dirinya selalu jemawa setiap kali habis menaklukkan kaum hawa.

"Mau tobat ceritanya? Alhamdulillah kalau gitu. Hidup yang bahagia sama Rinai, itu bisa jadi jalan lo buat bahagia," usul Alka membuat Ariel menendang kaki pria itu.

"Ngomong emang gampang banget. Itu Kania mau gue kemanain, Bang? Dia nggak mau gue putusin. Plis, lah, kalian itu harusnya kalau mau bikin sandiwara dipikir dulu dampak jangka panjangnya apa?"

Ariel menggasak rambutnya dengan perasaan frustrasi. Dia benar-benar bingung kali ini.

Sorenya pria itu meninggalkan rumah Lala, tentu dirinya menjemput Rinai dan Bu Rosmia. Selama perjalanan pulang, tak ada patahan kata dari ketiga manusia itu.

Hingga malamnya Rinai masuk ke kamar Ariel karena merasa harus bicara dengan pria itu. Rinai benar-benar merasa bersalah.

"Aku sama mamah udah ngobrol, A. Mamah sepenuhnya menyerahkan solusi dari masalah yang aku buat ini ke kita," ujar Rinai yang duduk di tepi tempat tidur Ariel atas izin si empunya.

"Apa solusi yang lo punya?" tanya Ariel yang duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Sekilas pria itu melihat ke arah Rinai.

"Aku bakal pergi dari Kak Ariel setelah kakakku melahirkan, Kak. Aku butuh Kak Ariel sampai bayi itu lahir. Minimal kita bisa foto dulu bertiga biar nantinya mama sama papa yakin bayi itu anak kita. Maaf, Kak, di sini aku terlalu banyak ngambil keuntungan. Bahkan mungkin Kak Ariel sama sekali nggak dapet untung apa-apa," tutur Rinai sangat tahu diri.

"Itu artinya sembilan bulan?" Ariel tertawa sambil geleng-geleng.

"Nggak sampe sembilan bulan, Kak. Mungkin tujuh bulan aja," sahut Rinai sambil melihat ke arah Ariel.

Ariel diam sejenak, seberapa pun ia berusaha menolak, Rinai pasti menang sebab perempuan itu dapat dukungan penuh dari keluarganya. Jadi, buang-buang tenaga saja sepertinya mendebat Rinai saat ini.

"Lo atur aja, Ri. Gue nggak bisa mikir," kata Ariel menjambak sendiri rambutnya.

"Makasih, Kak. Oh, iya, soal kepergian kita ke Malang, aku naik kereta aja, ya, Kak. Kakakku keadaannya memburuk lagi. Aku bener-bener khawatir sama dia," cetus Rinai selanjutnya.

"Besok kita pergi, naik mobil. Gue bukan cowok yang suka ingkar janji. Gue tetap tanggung jawab sama ucapan gue," kata Ariel dan Rinai hanya bisa mengatakan terima kasih.

Esoknya, Ariel mngajak Rinai pergi setelah subuh. Pikiran Ariel sudah jauh lebih tenang. Dia marah-marah sebesar apa pun tidak akan mengubah keadaan. Ariel hanya perlu bersabar hingga waktunya tiba nanti.

Setiap waktu salat, Rinai selalu meminta Ariel berhenti. Rest area tentu jadi pilihan mereka beristirahat sejenak.

Tak ada obrolan selama mereka dalam perjalanan meski Rinai sudah berusaha mengajak Ariel bicara. Hingga dua belas jam berlalu, mereka tiba di tempat yang dituju.

"Kontrakannya bebas banget gini, pantesan," gumam Ariel ketika masuk ke indekos Raisa tanpa melihat tulisan pria dilarang masuk.

Indekos Raisa terbilang mewah. Memiliki kamar mandi di dalam meski hanya ada satu ruang sebagai kamar, tetapi cukup luas hingga bisa disekat menggunakan lemari.

Dari balik lemari, Ariel bisa mendengar Rinai dan kakaknya menangis saling bersahutan. Ariel sampai mengurut dada kirinya sendiri membayangkan seberat apa jadi Rinai.

"Kasian gue lama-lama sama dia," gumam Ariel.

Tak lama, Rinai mengajak Raisa bertemu Ariel. Di hadapan Ariel, Raisa minta maaf juga. Rinai melakukan semua ini akibat kesalahannya juga.

"Lo juga harus sad__"

"Kak Ariel, beli makan dulu, yuk?"

Rinai memotong ucapan Ariel. Dirinya hanya takut pria itu bicara kasar dan melukai hati Raisa.

"Tadi kayak udah ada tukang bubur atau apa, ya, di depan. Kayak sate gitu."

Rinai bicara lagi membuat Ariel mengangguk. Ia dan Rinai pun pamit pada Raisa.

"Lo alasan doang, kan, ngajak gue pergi? Lo takut gue ngomong kasar ke kakak lo, kan?" tanya Ariel ketika berjalan pada sebuah lorong gang dengan Rinai di belakangnya.

"Wanita hamil itu gampang stress, Kak. Dampaknya akan sangat buruk ke bayi yang dikandungnya. Aku nggak mau baby ikutan sedih, Kak."

Ariel menghentikan langkah, kepala Rinai yang sedang tertunduk sampai membentur punggung Ariel.

"Ri, lo juga berhak bahagia. Lo nggak mesti ngorbanin diri lo buat kebahagiaan orang lain. Kebahagiaan mereka bukan tanggung jawab elo."

Rinai tertawa masygul sambil mengusap-usap jidatnya. "Seandainya bisa kayak gitu, Kak."

"Gue ajarin kalau mau."

Rinai Terakhir (Terbit Cetak) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora