ii. ー consult

382 39 4
                                    

(Name) kembali kerumahnya dan merebahkan badannya dikasur. Ia menghela napas sedalam-dalamnya. Kenapa (Name) tidak membalas perlakuan Hiruka tadi? (Name) hanya terlalu takut, jadinya ia lebih memilih diam.

Ia melihat kearah nakas dan mengambil botol pil yang sudah menjadi sahabat (Name) sejak ia memiliki panic attack. Ia membukanya botol terdebut dan menelan satu pil.

Salah satu pembantunya mengetuk pintu kamarnya. “(Name), jangan lupa besok harus konsul lagi ke dokter, ya.” Ucapnya yang dibalas anggukan (Name).

Benar, besok jadwal (Name) untuk konsul ke dokternya.

Jika dipikir-pikir, hidup (Name) sangat membosankan, ya? Ia harus konsul ke dokternya 2 kali dalam seminggu, tentu saja (Name) harus mendapat izin juga dari sekolahnya. Tapi itu hal biasa yang dialaminya.

🥢

Keesokan harinya, (Name) sudah siap menunggu didalam mobil. Ia mengenakan cardigan berwarna lilac untuk menutupi baju yang ia pakai karena pendek. Tak lupa ia juga membawa tas selempang yang isinya hanya handphone dan satu botol pil.

“(Name)-chan, bagaimana harimu?” Tanya psikolog atau dokternya (Name) yang sudah menanganinya sejak ia masih disekolah dasar.

“Seperti biasa, lagipula ini masih pagi, aku belum benar-benar menjalaninya.” Jawab (Name) yang duduk didepan dokternya.

Dokternya terkekeh pelan. “Kudengar kau masuk SMA Karasuno? Bagaimana disana?”

“Seperti biasa, tapi mungkin aku akan bilang sekarang lebih baik karena ada seseorang yang berinteraksi denganku, walau hanya menawarkan ekskul.” (Name) mengendikkan bahunya.

“Itu kemajuan yang bagus menurutku, (Name).”

(Name) hanya mengangguk.

“Kau tidak melakukannya lagi, kan?” Tanya dokternya melihat kearah pergelangan tangan (Name) yang tertutupi cardigan lengan panjang.

(Name) langsung menurunkan tangannya dan menggeleng.

Dokternya menghela napas pelan. “(Name), kamu tau, kan tidak akan bisa berbohong padaku? Aku sudah mengenal dirimu sejak usia yang sangat muda. Rupanya pil-pil yang aku berikan masih tidak bisa mengubah kebiasaanmu juga, ya?”

(Name) hanya menunduk, karena ia sudah lelah dengan pembicaraan seperti ini.

“Aku tau, (Name). Jika sakit maka ceritakan, jangan menyakiti dirimu sendiri. Kamu tau aku menyimpan nomormu, kan? Kamu bisa menghubungiku kapan saja, saat tengah malam pun aku sedia mengangkat panggilanmu,”

“Tidak ada gunanya menyayatnya, tidak ada. Mungkin itu akan mengalihkan rasa sakit yang ada dihatimu, tapi itu sifatnya sementara. Kumohon sekali lagi, jika sakit, ceritakan saja, coba untuk membuka diri.”

“Aku lihat disini, kondisi mentalmu juga semakin buruk. Apa yang mengganggu pikiranmu? Kenapa tidak menceritakannya?”

(Name) lagi-lagi menghela napas. “Kubilang aku baik-baik saja.”

“Tidak. Disini tertulis kau tidak baik-baik saja. Aku bisa melihat keadaanmu, (Name). Kau semakin kurus. Satu tahun yang lalu kamu banyak bercerita kepadaku. Apa yang terjadi sekarang?”

Itu benar, saat (Name) menginjak kelas 3 SMP, ia banyak bercerita kepada dokternya. Tidak seperti akhir-akhir ini, (Name) lebih banyak diam.

𝐀𝐍𝐗𝐈𝐄𝐓𝐘 :: tsukishima kei [HIATUS]Where stories live. Discover now